Pada dekade akhir abad ke-20 Indonesia berhasil melewati gelombang reformasi dengan berhentinya Soeharto sebagai Presiden Indonesia setelah tiga puluh dua tahun berkuasa. Dalam proses kejatuhan Soeharto tahun 1998, tidak bisa dilepaskan dengan dominannya intelegensia Muslim yang berperan aktif dalam dunia politik. Hal ini disebabkan kepedulian Soeharto terhadap Islam politik tahun 1990-an mengalami perubahan dibandingkan dasawarsa sebelumnya. Misalnya, Penggunaan jilbab yang menjadi tabu sebelumnya mulai diperlonggar, didirikannya Yayasan Amal Bhakti Pancasila, Bank Muamalat dan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) serta jargon-jargon Islam yang disimbolkan secara ekstrim mulai memudar—sebagai bentuk terbukanya ruang politik bagi intelegensia Muslim.
Berangkat dari sejarah kelam hubungan Islam dan negara. Perkembangan Islam yang dibawa intelegensia Muslim Indonesia memberikan warna tersendiri bagi perpolitikan Indonesia. Pasalnya, Islam yang tidak mendapatkan ruang publik berpolitik era Orde Lama dan Orde Baru—menjelang kejatuhan Soeharto, intelegensia Muslim terdidik, misalnya, Habibie, Amien Rais, Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid berperan membangun kekuatan masyarakat sipil.
Baca Juga: Membaca Kemunculan Jamaah Shalahuddin, Lembaga dakwah Kampus (LDK) Tertua di Indonesia
Perkembangan intelegensia Muslim Indonesia dekade akhir abad ke-20 berbeda dengan pendahulunya intelegensia Muslim awal abad ke-20. Misalnya, keberadaaan Serikat Islam (SI) tahun 1900-an, hanya sedikit diisi intelegensia Muslim Indonesia, kaum terdidik Muslim lebih memilih bergabung dengan organisasi yang berkaitan dengan kaum priyayi seperti Budi Utomo dan Indische Partij.
Sebenarnya tidak bertemunya hubungan Islam dengan negara, bukan hanya bagian dari penolakan Islam terhadap demokrasi sebagai produk barat. Tesis ini akan saya bandingkan dengan pendapat sarjana Indonesianis lainnya seperti Herbert Feith, Herry J. Benda dan Anderson yang lebih mendefenisikan ketidakcocokan demokrasi di Indonesia karena persoalan kepemimpinan, budaya kerajaan dan Jawa.
Jadi, literatur kajian hubungan Islam dan negara di Indonesia tidak banyak, meskipun Islam sebagai Agama mayoritas pengikutnya. Hubungan Islam dengan Negara baru muncul secara jelas saat gelombang reformasi hampir mendekati kejatuhan Soeharto. Adanya transformasi pendekatan Soeharto terhadap Islam tahun 1990-an dari represif ke akomodatif, menunjukkan adanya perbedaan tokoh intelegensia Muslim itu memaknai hubungan Islam dengan negara sehingga pemerintah melunak terhadap Islam.
Sehubungan dengan itu, intelegensia Muslim seperti Yudi Latif memberikan pemetaan menarik tentang geneologi intelegensia Muslim Indonesia dekade akhir abad ke-20, perubahan pendekatan Muslim yang dulu berada di pinggiran akar rumput, tahun 1990-an mulai berubah drastis menjadi perhimpunan-perhimpunan terdidik. Organisasi-organisasi mahasiswa seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
HMI sebagai organisasi mahasiswa tertua yang berdiri 5 Februari 1947, secara kajian akademik membahas tentang gagasan intelektual HMI bukan lagi sesuatu yang baru. Tokoh HMI seperti Nurcholish Madjid, Islam Yes, Partai Islam No,1970-an merupakan sikap yang ditunjukkan HMI melalui tokohnya Cak Nur. Begitu juga dengan tokoh HMI lainnya, Ahmad Wahib, dalam catatan hariannya, Pergolakan Pemikiran Islam, Wahib menunjukkan kesegaran pemikirannya menghadapi globalisasi dan modernisasi tentang hubungan Islam dan negara.
Ihwalnya, saya tidak membaca tentang intelegensia Muslim HMI, seperti yang diuraikan di atas, secara geneologis HMI sudah lama berperan sebagai kekuatan politik mahasiswa di Indonesia. Dari beberapa kekuatan politik yang ada, saya lebih memandang KAMMI sebagai organisasi mahasiswa yang menggerakkan Islam politik pasca reformasi. Organisasi yang berdiri pada 29 Maret 1998 adalah perhimpunan intelegensia Muslim Indonesia yang lahir sebagai kelas menengah baru setelah NKK/BKK ditelurkan Orde Baru dengan munculnya Lembaga Dakwah Kampus.
Lembaga Dakwah Kampus intelegensia yang berkembang di perguruan tinggi sekuler (baca: umum). Gerakannya sampai ke daerah perkotaan serta kemunculan intelegensia Muslim ini mengalahkan perhimpunan akar rumput pinggiran—kota yang identik dengan keberadaan perguruan tinggi—menjadi fenomena baru intelegensia Muslim Indonesia pasca reformasi untuk menunjukkan “politik identitas”nya sebagai Muslim secara individu ataupun kelompok.
Sarjana seperti Abdul Gaffar Karim (2006) menyebut “kelas menengah Muslim ini sebagai “santri baru” sebagai sebuah varian baru dari tesis terkenal tentang masyarakat Jawa, Clifort Geertz (1952): Priyayi, Santri, Abangan. Santri Baru adalah kelompok masyarakat muslim yang umumnya berangkat dari latar belakang keluarga non santri lalu mengalami Islamisasi ketika mereka memasuki bangku perkuliahan.
Perkembangan “santri baru” sebagai bagian intelegensia Muslim Indonesia mengalami perkembangan dari 1970-1980-an. Awal munculnya golongan santri baru sebagai bentuk perlawanan terhadap gerakan represif Orde Baru. Masjid kampus dijadikan sarana ”menguzlahkan” diri aktivis dakwah kampus untuk tetap bisa mengkaji/mengaji pemikiran Islam, dibalik kuatnya doktrin “asas tunggal” yang tidak memberikan ruang berpikir dan berkumpul bagi intelegensia Muslim kampus.
Perkembangan dakwah kampus di perguruan tinggi umum memiliki sejarah panjang yang tidak bisa dipisahkan dengan sejarah politik Partai Masyumi yang “kelam” dengan dinamika politik Orde Lama dan Orde Baru. Singkatnya, gerakan Masyumi pasca-dibubarkan diambil alih Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), merujuk Yudi Latif, DDII kemudian memosisikan dirinya sebagai sumber utama dan agen konsultasi bagi dakwah Islam yang efektif di masyarakat modern. Pasalnya, pasca dibredel pemerintah gerakan keislaman dikomandoi DDII untuk tetap memperjuangkan nilai-nilai keislaman.
Selain Orde Baru tidak memberikan kesempatan Islam politik untuk bangkit, Orde Baru lebih takut komunis lahir kembali dibandingkan gerakan Islam meskipun sama bergejolak dengan Orde Baru. Makanya, Orde Baru mewajibkan pendidikan Agama di sekolah-sekolah umum dan perguruan tinggi. Sebab, hubungan komunis dan Islam politik era Orde Lama juga kurang baik, di sinilah Orde Baru memanfaatkan kelompok Islam politik saat penumpasan komunis secara permanen. Dengan berpedoman kepada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPRS) Nomor II/1967, para siswa wajib mengikuti pelajaran Agama di sekolah umum mulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi. Jadi, merujuk sejarah latar belakang kemunculan dakwah kampus di perguruan tinggi sekuler. Keberadaan pendidikan Agama Islam memberikan kesempatan DDII untuk memperkuat basisnya, terutama adanya pendirian Masjid Kampus serta perkumpulan jamaah Masjid Salman ITB yang dalam sejarah selanjutnya menjadi awal berdirinnya Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Setelah berkembang di ITB, dakwah kampus berkembang di perguruan tinggi Indonesia lainnya seperti UI, IPB dan UGM. Nama-nama perhimpunan dakwah kampus yang berkembang saat itu adalah Jama’ah Al-Ghifari di IPB, Arif Rahman Hakim di UI dan Salahudin di UGM. Saat ini Lembaga Dakwah Kampus (LDK) menjadi “santri baru” yang memiliki jejaring yang besar di seluruh Perguruan Tinggi Indonesia.[]
Leave a Review