scentivaid mycapturer thelightindonesia

Lelaki Minang Tak Berjodoh dengan Kampungnya (Bagian 1)

Lelaki Minang yang Tak Berjodoh dengan Kampungnya
Cover

Lelaki Minang Tak Berjodoh dengan Kampungnya Bagian 1#

Halangan yang amat besar bagi saya, niscaya akan datang dari pihak kaum keluarga saya, dan adat istiadat negeri saya, dalam hal perkawinan. Sebagai orang Minangkabau, saya harus kawin dengan perempuan disana, bukan sekali saja,melainkan beberapa kali; lebih banyak lebih baik. Jika tak saya turuti adat ini, niscaya tidaklah saya akan dapat hidup disana dengan baik. –Hamli (Memang Jodoh, hal 451)

Lagi-lagi adat Padang (baca; Minangkabau) ditampih. Nirunya berwujud sebuah Novel. Ditulis oleh seorang yang telah tiada, Marah Rusli si Keras Hati. Dan pikiran saya sebagai salah seorang pembaca berdarah Minang terasa digoncang-goncangkan, layaknya beras diatas niru tersebut. Ada masalah besar dalam adat istiadat masyarakat Minangkabau..!

Baca Juga: Dalam Masa-masa Gelap Pancasila

Seperti halnya Adi novel Sitti Nurbaya, karya fiksi ini diangkat dengan tema seputar percintaan dalam kehidupan dan romansa pernikahan. Kedua poin itu diikat dengan kondisi sosial masyarakat Minangkabau pada khususnya, dan nusantara pada umumnya. Dan seperti halnya Novel Nurbaya, novel ini dapat kita katakan pelengkap sikap Rusli, sebagai penulis, pada adat atau tatanan hidup masyarakat kampungnya. Ia kritisi dan ia anggap perlu ditinggalkan, setidaknya soal tata hidup pernikahan.

Bedanya, novel ‘Memang Jodoh’ ini adalah sebentuk biografi bagi si penulis. Biografi, yang lebih banyak bercerita pada liku dan terjal pernikahannya, ini adalah kado untuk istrinya, atas pernikahan mereka yang setengah abad. Pernikahan yang sebagaimana diceritakan dalam novelnya ini sebagai ketetapan Tuhan dan telah tertulis di Lauhul Mahfudz. Kekal, abadi dan tak tergoyahkan di tengah banyaknya rintangan sertanya cobaan. Dan yang paling keras cobaan itu, adalah dari adat dan perilaku masyarakat Minangkabau.

……………………….

Hamli adalah tokoh utama kisah ini. Cerita bermula dari keinginan ayahnya yang menginginkan Hamli melanjutkan sekolah ke Belanda. Tapi Ibunya, Siti Anjani, tak menginginkananaknya kesana. Takut kalau anaknya akan hidup dan berpikiran layaknya orang-orang barat. Terlebih lagi, takut jika anak semata wayangnya itu menikah dengan perempuan bule. Tentu pernikahan yang demikian akan menjahui anaknya itu dengan keluarganya, adatnya, juga dengan kampungnya.

Baca Juga: Pelajaran Hidup dari Mohammad Hatta

Saking takutnya itu,ia mengancam akan bunuh diri jika anaknya tersebut berangkat jua. Hamli getir juga dibuatnya. Maka diurungkannya niatnya belajar ke negeri Belanda. Ia akan melanjutkan sekolah ke Jawa saja, masuk sekolah pertanian di Bogor. Untungnya sang ayah tak bekeras hati memaksanya ke sana, meskipun ia telah menyiapkan uang dan rencana keberangkatan.

Pada mulanya Anjani cukup kesal.  Ia, sebagai ibu, tak dimintai pendapat oleh ayah Hamli atas rencana sekolah anaknya ke tanah penjajah itu. Memang, Anjani dan suaminya tak lagi serumah. Suaminya menikah lagi dan mendapat perintah kerja sebagai Hop Jaksa Medan. Sedangkan Anjani tinggal di Padang, hidup mengurusi keluarga besarnya, adik dan keponakannya. Tentang alasan kenapa Anjani tak ikut suaminya ke Medan akan diceritakan nanti seiring dengan cerita dan tekad Hamli.

Hamli sadar sabab kekesalan ibunya itu. Ia pun tak ingin menambah sakit hati ibunya dengan keras hati ingin menuruti keinganan ayahnya belajar ke Belanda. Sebenarnya ia pun sangsi apakah belajar ke Belanda itu adalah keputusan yang tepat untuk dirinya. Ia memang menginginkan melanjutkan pelajaran setelah sekolah enam tahun diBukittinggi. Tapi yang lebih diinginkannya lagi adalah merantau, keluar dari tanah Padang kampung halamannya. Maka itu, ia pun tak terlalu bermasalah jika tak ke Belanda.

Hingga muncul opsi melanjutkan pelajaran di tanah Jawa. Tarik-ulur hingga muncul solusi ini sangat menarik dicermati, antara Hamli dan ibunya.

Baca Juga: Tarekat sebagai Tradisi Madrasah Tarbiyah Islamiyah

“Li, cobalah ceritakan kepada ku, apa gunanya kau ke negeri Belanda itu?”

Maka dijawablah oleh Hamli bahwa melanjutkan pelajaran ke negeri Belanda akan menjadikan dirinya seorang yang berpangkat tinggi. Dan otomatis dalam perkerjaan, ia akanmendapatkan gaji yang lebih besar jumlahnya daripada orang yang hanya lulusan sekolah pribumi. Perbedaan gaji tersebut cukup besar, Rp. 25,- dan Rp. 175,-

“Lihatlah saudara sepupumu si Hasan! Berapa gajinya sebagai seorang juru tulis? dari tak bergaji sedikit pun setelah beberapa tahun bekerja, barulah dapat gaji Rp. 7.5 sebulan. Tetapi dapat juga dia hidup dengan sempurna bersama anak dan istrinya. Pergi ke Kantor memakai jas dan bersepatu pula. Mengapa kau takkan dapat senang dengan gaji permulaan yang banyaknya lebih dari tiga kali itu?

Dan jika benar terbukti kelak gajimu itu hanya cukup untuk kau sendiri, janganlah kau pikirkanaku. Dengan keadaan sekarang ini, akau telah senang dan kau tak punya saudara perempuan. Apalagi yang akan kau pikirkan?” Anjani menelisik.

Baca Juga: Dialek Madrasah Tarbiyah Islamiyah

Hamli kemukakanlah alasannya. Ia tak bisa seperti Hasan. Sepupunya itu dapat hidup “bahagia” dalam keluarganya karena istri dan anak-anaknya ditanggung biaya hidupnya oleh keluarga istrinya, mamak dari anak-anaknya. Sedangkan ia tak ingin seperti itu. Baginya, istri dan anak-anaknya adalah tanggungan suaminya. Maka hendaklah seorang suami yang juga seorang ayah bertanggungjawab atas kebutuhan bini dananaknya.

“Ajaib”, demikian sontak ibunya mendengar penjelasan anaknya.

Sangat aneh seorang laki-laki Padang -keturunan bangsawan pula- yang mempunyai pikiran demikian. Sudah jadi adat bagi masyarakat Minangkabau: Laki-laki dipinang oleh keluarga perempuan, yang juga bertanggung jawab atas membiayai kebutuhan keluarganya.Tapi ini, dihadapannya, anaknya sendiri berpikiran lain. Barangkali inilah buah pikiran barat, akibat bersekolah didikan Belanda.

Tak sampai disitu, Hamli lanjutkan katanya bahwa adat yang demikian telah pincang dan tak sesuai lagi dengan kehendak zaman sekarang. Kenapa?

Baca Juga: Lapau Maota dan Adakah Teater di sana?

“Pertama, karena perkawinan dipandang sebagai perkara ibu, bapak, dan mamak, bukan perkara anak yang akan dikawinkan; sehingga anak yang akan menjalani dan akan merasakan buruk-baik perkawinan itu seumur hidupnya, tanpa tahu apa-apa, harus menurut saja kehendak orang tua atau mamaknya.

“Karena orang tua telah mempunyai pengalaman dalam perkawinan. Anak-anak belum,” Anjani siap menjawab argumen anaknya.

“Oleh sebab, itu tak baik anak-anak itu dikawinkan muda-muda, tatkala mereka belum tahu, apa perkawinan itu, apa maksudnya dan bagaimana caranya. inilah sebabnya, anak sekarang tak suka kawin lekas-lekas, karena mereka hendak mempelajari dulu perkawinan itu; ya, setidaknya hendak mengetahui pula siapa yang akan menjadi pasangannya, supaya dapat menyaring dengan sebaik-baiknya.

Kedua, karena suami dipandang sebagai orang semenda, orang datang, yang tak punya hak apa-apa atas istri dan anaknya, sehingga dia tidak punya tanggung jawab atas anak dan istrinya itu,” Hamli tak terjungkal dengan argumen ibundanya.

Bertambah paniklah ibunya dengan jawaban itu. Panik karena, dalam pembicaraan ini sebenarnya, terselip keinginan agar anaknya menikah. Telah sampai umurnya (pada kebiasaan ketika itu) dan juga telah banyak orang yang datang kepadanya untuk meminang. Mendengar jawaban anaknya ini tentu surutlah keinginan Anjani untuk memaksa anaknya dalam hal kawin ini.

Baca Juga: Fiksi Motivasi di Gerbong Neoliberal

Lagi pula, dalam hatinya, ia mengakui kebenaran dalam omongan anaknya. Memang pada adat masyarakat Padang, seorang laki-laki –apalagi ia seorang bangsawan dan terpandang- melengkapi hidupnya dengan pernikahan dengan perempuan Minangkabau.Seorang ibu akan dibuat malu karenanya jika anaknya tak menikah, dianggap “tak laku” anaknya. Seorang laki-laki Minangkabau berhak menikah dengan perempuan yang meminangnya. Tak apa juga jika yang meminang itu lebih dari satu. Jika ia suka, ia bisa menikah lebih dari satu orang istri. Bahkan hal yang terakhir ini akan lebih baik rasanya dilakukan oleh bangsawan Padang, sebagai bentuk kemuliaan atas kebangsawanannya.

Anjani sebenarnya tak pula suka dengan pernikahan yang demikian, dan karena itulah ia menolak bercampur lagi dengan suaminya. Ayah Hamli telah dipaksa menikah lagi oleh keluarganya, dan tak dapat menolak. Anjani lebih memilih berpisah dengan lakinya itu daripada dimadu. Dan membiarkan suaminya pergi bekerja di Medan. Tapi ia tak mau berpisah dengan anaknya. Dan mengetahui anaknya akan meneruskan belajar ke Belanda, adalah alamat luka untuk hatinya. Belum lagi luka yang disebabkan oleh Hidup kepadanya.

“Sungguhpun demikian,ku pinta juga kepdamu, dengan sepenuh-penuh permintaan, batalkanlah niatmu hendak pergi ke negeri Belanda itu. Takkan mungkin kau dapat menyenangkan hatiku jika kau pergi juga. Aku takut, aku jadi sakit atau gila karena memikirkan dirimu disana. Bagaimana jika malang disebut, mujur yang datang, terjadi apa-apa atas dirimu disana? Bagaimana aku akan dapat melihatmu? Sebab kesana,bukan perjalanan sehari dua hari. Di laut berbulan, di daratan entah berapa lama pula, dengan tak tahu tempat dan tujuan, tak tahu adat dan bahasa.

“Jika kau hendak pergi juga meneruskan sekolahmu, pergilah ke tanah Jawa. Di sana kabarnya banyak sekolah, yang lebih tinggi dari di sini. Jika ada apa-apa, dalam tiga hari, dapat aku bertemu dengan kau,” kata Anjani.

Baca Juga: Hatta dan Kelompok Muda pada H 1 Kemerdekaan

Telah menjadi jalan hidupnya, Hamli menuruti ingin ibunya. Ia tak jadi berangkat ke tanah berkincir angin, memutar kemudi rantau ke tanah Jawa, ke Bogor. Kota, dimana ia akan bertemu dengan Din Wati, jodoh hidupnya itu. Dan dari sinilah dimulai drama: bahwa ini “memang, dan memang jodoh” setelah diketahui dikemudian hari bahwa Din Wati pun sebenarnya hendak belajar ke negeri Belanda, namun tak jadi. Arus hidup mengalir ke muara yang sama.

……………………..

Ada yang bosan membaca novel ini? Ya, saya adalah salah seorang diantaranya. Saya bosan karena kebodohan dan keledoran saya dalam memperhatikan pesan dan semangat penulisnya. Kebodohan itu pula yang telah memaksa saya menyusun standar-standar tertentu dalam membaca sebuah novel.

Pada mulanya, ketika mengetahui bahwa roman ini adalah roman bernuansa Minangkabau, dalam batok kepala saya bertumpuk harapan akan bertemu dengan ‘kekayaan’ bahasa, ‘kenyamanan’ rima, alur yang ‘mengejutkan’ dan hal-hal intrinsik lainnya dari sebuah karya fiksi. Saya tahu Minangkabau dan Melayu cukup mahir dalam hal terakhir ini. Juga barangkali karena Diri, saya mengharapkan –setidaknya- akan menjumpai novel ini sebagai bentuk ‘pulang kampung’ yang belum kesampaian.

Otak yang bodoh, biasanya paralel dengan hati yang dangkal. Keduanya menjelma jadi ketidakcermatan dalam berpikir dan kemarahan yang tak berasalan. Hampir setengah dari novel ini dibaca, saya tak juga “pulang kampung”. Saya kesal. Properti berbau Minangkabau, semisal saluak, domino, kalamai, rendang, gulai pangek,dendeng berlada (balado), gulai paku dan hal-hal lain hanya datang sesekali menyelingi, seperti iklan di televisi. Saya malah berpikir Rusli gagal menghadirkan seorang pemuda Minangkabau bernama Hamli.

Dan karya yang baik adalah karya yang menelanjangi kebodohan pembacanya. Saya malu, karena Rusli ingin hadirkan tema yang lebih besar dari keinginan saya untuk ‘pulang-kampung’ tersebut. Seolah-olah ia, dengan novelnya ini, hidup dan memukul kepala saya tiga kali. Pukulan pertama karena kebodohan saya yang tidak melihat bagaimana novel ini mampu hadirkan masalah pelik “zaman peralihan”, dimana semangat baru telah berkobar dihati para pemuda, dan segala yang tua –baik orang yang umurnya sudah tua atau adat itu sendiri yang telah tua- mesti dipikirkan, kalau perlu ditinggalkan (setidaknya dalam persoalan perkawinan).

Baca Juga: Apa Itu Kiri Islam

Pukulan kedua karena kelancangan saya, sebagai makhluk zaman ini, yang anggap novelnya ini sebagai opium, penerbit gairah, dan hiburan. Seolah ia yang tetap hati dan sikap–seperti halnya di dalam novel- berujar dengan mengejek, “Inilah anak zaman dua-ribuan.” Dan, plaakkk..!! datang pukulan ketiga. Ini pukulan agar saya ingat dengan pukulan pertama dan kedua.

Semoga Anda tidak seperti saya.

Robi Kurniawan
Santri UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta