Baca Sebelumnya: Lelaki Minang Tak Berjodoh dengan Kampungnya (Bagian 1)
Perangai Urang Sumatera di Tanah Rantau
Singkat cerita,bertemulah Hamli dengan jodoh dari tuhannya, Seorang perempuan Sunda, juga seorang bangsawan tinggi di kota Bogor, Din Wati namanya. Pertemuan ini memang telah ditetapkan, juga telah diprediksi sebelumnya oleh Mpok Nur si tukang ramal. Mpok Nur, telah ditanyai oleh Din Wati dan bibinya perihal jodoh Wati. Tukang ramal ini dengan kartunya menunjukkan kepada mereka, jodoh Wati berasal dari negeri seberang, laki-laki dari Sumatera. Dan masa pertemuannya sangatlah dekat.
Memang dekat. Sepulang dari rumah Mpok Ramal, Din Wati rencananya akan menjemput bibi angkatnya di stasiun. Bibi angkatnya ini adalah teman karib ibunya, dan –siapa sangka-bibi kandung Hamli. Maka pertemuan mereka, karena Hamli juga menjemput bibinya di stasiun itu adalah pertemuan mereka yang berjodoh.
Baca Juga: Lelaki Minang Tak Berjodoh dengan Kampungnya (Bagian 1)
Hamli, diceritakan dalam roman ini sebagai laki-laki yang mempunyai penyakit serius: Penyakit Pilu. Penyakit ini sedikit aneh, dokter dan dukun tak bisa mengobatinya. Penyakit pilu ini yang menjadi sabab Hamli acap bersedih hati, acap meratap. Ia hendak pergi melalang jauh, merantau terus mencari “sesuatu” yang dapat mengobati sakit pilunya ini. Ia sendiri pun tak tahu apa ‘sesuatu’ itu. Ia hanya merasakan akan menemukan penawarnya dengan terus merantau, kalau perlu dengan meninggalkan sekolah pertaniannya di Bogor.
Sakit itu dialaminya sebelum bertemu dengan Din Wati. Gadis Sunda ini amat iba melihat penderitaan pemuda ‘peratap’ itu. Ia ingin mengobati sakit pilu ini. Disamping itu, ia pun telah suka dengan Hamli. Apakah lelaki Padang ini yang telah diprediksi akan menjadi jodohnya; Menjadi bapak dari titisan guru ayahnya yang telah meninggal belasan tahun silam; Menjadi laki-laki Sumatera yang diprediksi Mpok Nur.
Tentangan menjadi titisan guru ayahnya, itu juga sebuah cerita unik. Dikisahkan, ketika Wati masih kecil, ia diajak ayahnya ke pendopo pengajian gurunya. Gurunya ini adalah seorang ulama yang arif dan bijaksana. Di pendopo pengajian, telah berkumpul banyak murid sang guru, sedih. Guru ini akan mendekati ajal. Dan ketika ayah Wati menghadapkan anaknya itu kepada gurunya ini, Gurunya sangat gembira. Pasalnya pertemuannya dengan Wati, menurutnya, adalah pertemuan dengan ibunya di masa depan. Sang guru mengatakan bahwa dikemudian hari, ia akan menjadi anak Din Wati. Wati akan menikah dengan seorang laki-laki dari Sumatera yang akan menjadi ayahnya.
Maka jadilah titah gurunya itu menjadi prediksi perjodohan Din Wati dengan Hamli sebelum prediksi Mbok Nur. Tapi layaknya orang yang akan menikah, kadang ia ragu juga. Apakah Hamli akan menjadi jodohnya? Walaupun Hamli memang dari Sumatera, pulau itu kan cukup luas. Ada Padang, Medan, Lampung juga Palembang. Meskipun Hamli berasal dari Sumatera, belum tentu ia akan menjadi orang yang diprediksi tersebut. Mana tahu laki-laki yang diprediksi tersebut adalah orang Medan atau Palembang?
Maka jadilah penyakit pilu yang diderita Hamli tersebut menjadi jalan jodoh tersebut. Pasalnya ketika Hamli berkawan dekat dengan Wati, penyakit suka ratapnya ini hilang. Hamli sangat suka bergaul dengan Wati, begitu juga sebaliknya. Bibi Hamli dan neneknya yang berada di Bogor ketika itu sangat gembira dengan kesembuhan Hamli. Mereka juga suka pula dengan Din Wati. Maka pernikahan adalah jalan terbaik untuk keduanya, untuk Hamli yang suka sedih, untuk Wati yang juga suka menjadi penawar kesedihan Hamli, apalagi telah ada embel-embel prediksi itu sebelumnya.
Sebenarnya prediksi bahwa mereka akan berjodoh tidak hanya dari pihak Wati saja. Pihak Hamli pun demikian. Ibu Hamli, Anjani sebelumnya sudah memperkirakan itu bakal terjadi. Ketika Hamli dalam kandungan, bermimpilah Anjani menerima hadiah dari Ayah Hamli yang baru pulang dari Jawa. Hadiah itu adalah burung dan sangkarnya. Anjani sangat menyukai hadiah tersebut. Dan ketika sadar mimpi itu adalah sebuah pertanda, ketika dikonsultasikan dengan seorang dukun pula, ia mengetahui bahwa burung itu adalah tanda perjodohan anaknya dengan seorang perempuan yang baik pula dari tanah Jawa.
Sampai disini mungkin semua seperti sudah direncanakan oleh Yang Punya Kuasa. Dan masalah timbul pertama kali dari pihak keluarga Wati. Sebagaimana diketahui, Wati juga seorang seorang bangsawan tinggi layaknya Hamli. Wati pun telah banyak dipinang seperti halnya Hamli ketika di kampung halamannya. Apalagi yang melamar Wati bukanlah orang-orang sembarangan, bahkan seorang calon Bupati (pangkat paling tinggi yang bisa diraih oleh pribumi).
Hamli pun seorang bangsawan. Tak akan tercela jika Wati menikah dengan Hamli yang juga tinggi harkat keluarganya. Masalahnya terletak pada orang Sumatera itu sendiri. Orang-orang di bumi Andalas itu banyak meninggalkan perangai buruk di perantauan. Salah seorang keluarga Wati telah menjadi “korban” dibuatnya: Menikah dengan orang Sumatera, kemudian dibawa pulang ke Sumatera. Namun mereka tak kembali dan tak diketahui rimbanya. Mungkin sudah dijual ke Singapura, sangka hati keluarga Wati.
Terlebih lagi ketika hendak memasuki ke jenjang perkawinan, tak sedikit cobaan berdatangan. Selain dari godaan seorang mamak Hamli yang juga menyukai Din Wati, godaan datang dari pengalaman Julaiha, gadis Sunda yang telah menikah dengan seorang laki-laki Padang. Julaiha dulunya cantik dan bagus badannya. dalam waktu singkat, telah menjadi kurus kering. Tinggal kulit pembalut tulang. Pakaiannya yang dulu bagus-bagus dan perhisaannya yang mahal-mahal, tak kelihatan lagi dipakainya sekembali dari Padang.
Sutan Melano, yang jadi suaminya telah dipaksa oleh keluarganya untuk kawin kembali di tanah Minang. Keluarganya tak menganggap baik pernikahan Sutan Melano dengan Julaiha. Ketika Julaiha di tanah Minang, diperlakukanlah Julaiha layaknya orang luar yang tak tahu apa-apa. “Sebentar-sebentar saya dimarahi, salah tak salah.Dikatakan tak tahu adat istiadat, tak tahu sopan santun, tak hormat kepada yang tua-tua dan tak segan kepada yang muda-muda, terlalu bebas dalam perkataan, perbuatan dan tingkah laku,” sedih Julaiha.
Bahkan harta benda Julaiha sendiri, dipinjam namun tak dikembalikan oleh sanak famili Sutan Melano. Disangkanya itu adalah harta Sutan Melano dan Julaiha tak berhak memakai untuk dirinya sendiri. Julaiha tak tahan dengan perlakuan sanak famili suaminya, apalagi Sutan Melano pun tak kuasa menolak ketika dipaksa nikah kembali dengan perempuan Minang.
Baca Juga: Syekh Sulaiman Arrasuli Tokoh Pendidikan Islam Bercorak Kultural
Julaiha kabur. Ia pulang kembali ke Bogor seorang diri, dibantu oleh seorang tukang gadai yang kasihan dengan penderitaannya. “Karena tak tertahankan oleh saya siksaan yang telah dijatuhkan atas diri saya, hanya karena takdir saya, harus bersuami laki-laki Padang.” Cerita Julaiha pasti melecut telinga siapa saja yang mendengar, apalagi bagi Din Wati yang hendak menikah dengan laki-laki yang juga berasal dari Padang.
…………………………
Saya punya kenalan seorang perempuan. Dia pernah bercerita bahwa keluarganya sangat benci jika keturunannya menikah dengan orang Padang. Perkaranya hampir sama dengan pengalaman Julaiha. Tapi mungkin tak separah Julaiha yang kabur kembali ke rumahnya. Laki-laki Padang suka berbini dan meninggalkan bininya, tak kembali lagi. Saya kira, wajar saja keluarga itu sakit hati. Perempuan mana sih yang rela beristri seperti itu.
Perkara berbini banyak orang Sumatera –termasuk urang Padang- sudah dikenal banyak orang di perantauan, setidaknya di Jawa yang saya kenal. Saya kira letak persoalan ini berpangkal dari orang Minang yang “Ciluah” dan “ketidakmampuan mereka untuk berpikiran luas dalam memandang adat istiadat.” Orang Minang yang amat terikat dengan adat dan rasa Minangkabau akan menemukan persoalan serius jika becampur dengan kehidupan orang “Luar”. Dalam kehidupan keluarga yang banyak rintangan dan cobaannya, dua orang dengan adat istiadat yang berbeda, logika dan perasaaan yang tak sama, tentu jika tak “awas” akan menghadirkan pertikaan yang tak sedikit.
Biasanya akan ada yang mengalah, entah suami atau istri. Orang Minang dengan standar hidup dan rasa yang terlalu kaku –acap- menuntut lebih pada pasangannya. Tuntutan ini, dalam bentuk yang lebih keras, dapat menjadi hinaan atau cemoohan pada adat kebiasaan lain. Bukankah aneh rasanya Jika adat kita saja yang kita perturutkan, sedangkan kehidupan kita lebih luas dariadat itu sendiri?
lelaki minang tak berjodoh lelaki minang tak berjodoh
Leave a Review