Baca Sebelumnya: Lelaki Minang Tak Berjodoh dengan Kampungnya (Bagian 2)
Urang Kampung yang Begis
Singkat cerita, Hamli memang menikah dengan Din Wati. Pernikahan mereka pada mulanya tak mendapat restu dari kedua belah pihak keluarga besar. Memang ada kesalahan informasi yang diterima kedua belah pihak. Keluarga Hamli menyangka Din Wati adalah seorang Nyai Belanda yang hina. Keluarga Wati pun meragui Hamli sebagai bangsawan dari Sumatera. Yang menjadi benteng pertahanan Hamli dan Wati cuma nenek, bibi dan ibu Wati. Ayah Hamli menyetujui, bahkan mengirimkan ongkos perkawinannamun tak hadir dalam pernikahan mereka. Pernikahan dilangsungkan diam-diam dan sederhana.
Baca Juga: Lelaki Minang Tak Berjodoh dengan Kampungnya (Bagian 1)
Sedangkan Anjani, setelah tahu bahwa menantunya bukan Nyai Belanda tak mempermasalahkan pernikahan anaknya. Berbeda dengan mamak Hamli yang murka ketika megetahui pernikahan tersebut. Ia kecewa Hamli lebih memilih Wati, orang luar Minang,daripada anaknya sendiri. Kemurkaannya berujung pada pemutusan hubungan keluarga. Ia tak lagi mengganggap Hamli sebagai kemenakannya, Anjani sebagai saudaranya, dan Khodijah –nenek Hamli- sebagai ibunya karena telah menerbitkan malu bagi dirinya dan keluarga besarnya yang ‘melepaskan’ Hamli kepada orang luar. “Manggadangkan kabau urang”.
Malu itu benar-benar terasa bagi keluarga dan adat Hamli. Ketika Hamli pulang kampung, ia dihadapkan pada rapat adat niniak mamaknya. Ia diminta menceraikan Din Wati atau –kalau tidak mau menceraikan- mengambil lagi seorang/lebih istri berdarah Minang. Maka terjadilah perdebatan dan sambut-menyambut argumen antara para niniak mamak dan Hamli.
Perdebatan ini menarik, karena Rusli menghadirkan perdebatan antara dua perbedaan cara pandang dalam menjalani kehidupan, khusunya dalam persoalan perkawinan. Disinilah kita dapat melihat, Hamli sebagai anak muda mengedepankan paham baru dalam berkeluarga: Monogami. Sebuah pandangan yang sudah “wajar” di zaman sekarang.Tapi masih dianggap “aneh” ketika itu, apalagi bagi keluarga bangsawan.
Dalam novel ini, sebuah karya yang terlambat terbit, kita dapat melihat bahwa sebuah ide yang dahulunya dianggap “aneh” ternyata hari ini malah dijunjung tinggi, bahkan sebagai sesuatu yang sudah semestinya pula. Dewasa ini orang malah dianggap hina beristri banyak. Kehidupan sosial kita tidak menjamin lagi kelangsungan hidup keluarga yang berpoligami tersebut.
Novel ini menggambarkan akibat seorang yang beristri banyak sebagai kecelakaan hidup,yang menyesengsarakan dirinya hingga kuburan. Adam, seorang sahabat Hamli d iSekolah Raja Bukittinggi, meninggal muda karena empat orang istrinya. Adam “diobati” oleh mertua istrinya agar suka pada anaknya daripada madunya lain. Begitu juga istri yang lain itu melakukan hal yang sama kepadanya. Maka jadilah ia seorang yang makan banyak “obat” dari istrinya-istrinya. Bahkan ketika dia meninggal pun, istri-istrinya berebut mengambil harta-hartanya, sampai kemenakannya mengusir semua istri Adam. Harta itu pun habis karena biaya penguburan dan kenduri pengajian.
Paham monogami yang dibawa Hamli dalam masyarakat Padang ketika itu bukannya diterima dengan baik-baik saja. Dalam kelangsunga keluarganya Hamli tak hentinya dipinta untuk menikah lagi. Permintaan itu dengan berbagai cara, dari pinangan baik-baik sampai pada cara buruk dengan mencelakakan Din Wati. Sempat pula Din Wati coba diguna-gunai hingga meninggal. Ini terjadi dengan mengirimkan seorang dukun yang sakti juga sangar ke rumah Wati. Meskipun tak berhasil, cerita mengguna-gunai ini memperlihatkan kepada kita buruknya cara dan usaha masyarakat Minangkabau dalam mencapai keinginan mereka. Bagi pembaca yang berasal dari Minangkabau bisa dipastikan mengenal cara ini, terlebih lagi dalam percintaan.
Rapat adat itu tak berakhir bahagia, seperti bahagianya akhir novel ini. Hamli dikeluarkan dari Adat. Keras hatinya menolak tuntutan para tetuah adat, dan mungkin juga karena kuat cintanya pada Din Wati. Ia terima putusan itu, meninggalkan adat dan pikiran Minangkabau bahkan tanpa penyesalan sedikit pun.
Baca Juga: Bung Hatta: Pendidikan Politik
Dengan kuat hati ia katakan,
“Lebih-lebih yang telah cerdik pandai, karena tak sesuai lagi pikirannya dengan pikiran orang di Padang ini. Dengan demikian, sekalian kepandaiannya tak dapat dicurahkannya di negerinya sendiri, melainkan akan jatuhlah ke tangan orang lain, yang lebih dapat menghargai kepandaian itu. Yang akan tinggal di padang ini, hanyalah yang tua-tua, yang masih terikat oleh aturan negerinya. Tetapi, mereka ini pun tak lama pula akan hidup; segera akan meninggalkan bangsa dan negerinya. Siapa lagi yang akan mengurus negeri? ataukah akan menjadi seperti yang dikatakan orang Padang sendiri sekarang ini: Apabila dari ‘Minangkabau’ minangnya telah keluar dari Padang ini, dan yang tinggal hanya ‘kabaunya’ lagi di negeri kita ini, untuk mempertahankan adat lembaga mereka, yang kian lama kian tak dapat lagi disesuaikan dengan peraturan dunia, yang akan menyerbu juga ke dalam Kota Padang ini, walau ditahan bagaimanapun. Karena, orang Padang pun akan terseret oleh arus dunia yang amat kuat itu. Tak dapat mereka menentang atau menyingkirkannya sendiri. Jika dipaksakannya juga kemauannya itu, niscaya akan tercecerlah dia tinggal di belakang seorang diri dan akhirnya lenyap dari dunia ini tanpa meninggalkan bekas.” (Memang Jodoh, hal 357) []
Lelaki Minang Lelaki Minang
Leave a Review