Syekh Hasan Maksum
Dalam literasi Islam, setidaknya sebuah kitab memiliki jenjang keilmuan yang sasaran objeknya berbeda. Jenjang tersebut biasanya dimulai dengan bentuk matan, kemudian syarh (penjelasan atas matan) dan terakhir hasyi’ah. Secara umum jenjang tersebut sudah pasti melalui tiga bentuk di atas. Matan, adalah tulisan yang bentuknya pendek dan dalam bentuk natsr (tulisan bukan syair) dan syair. Tujuan dari matan tersebut adalah agar lebih mudah dihapal dan biasanya bagi pembaca pemula. Sebuah matan tersebut akan membutuhkan syarh (penjelasan) lanjut, seperti memperjelas bagian-bagian yang sebenarnya butuh penjelasan. Apabila syarh tersebut masih membutuhkan penjelasan lanjut, maka tulisan tersebut diperjelas lagi secara lebih luas dan mendalam yang disebut dengan hasyiah.
Sebuah kitab tauhid karya seorang ulama terkenal di Sumatera Utara awal abad 20 yang bergelar Imam Paduka Tuan, Syekh Hasan Maksum (1880-1937 M) yang berjudul Durar al-Bayan Syarh Hidayah al-Ikhwan dalam aksara Arab Melayu (Jawi) adalah contoh di atas. Seperti yang diketahui dari judulnya, kitab ini merupakan syarah penulisnya dari kitab sebelumnya yang berjudul Hidayah al-Ikhwan yang berbentuk syair. Hal tersebut terlihat jelas dalam mukadimahnya sebagai berikut:
كمدين بركات فقير يغلات # حسن معصوم نما دكات
اينله كارغن ببراف فرمات # عقائد الايمان فداث يات
فرمولائن كتهوئ سنق سسودارا # حكم عقل تيكا فركارا
واجب مستحيل هارس بركيرا # فراتى بلاغن تيكا فركارا
برغيغ تيدق بوله تيداقث # دكاتكن واجب مستحيل لاوانث
يغ تأبوله ادا يات معناث # هارس برسمائن فيهق كدواث
حكم يغ تيكا دنماكن معلومات # واجب دان هارس برنما موجودات
هارس نن ساج برنما ممكنات # اصطلاح اين هندقله ايغات
Kalau dilihat matan yang berbentuk syair di atas di-syarah lagi oleh Syekh Hasan Maksum secara lebih lengkap dan mendalam. Ketika menjelaskan bait pertama – kemudian berkata faqir yang lata, Hasan Maksum nama dikata. Untuk penggalan pertama, Syekh Hasan Maksum mengatakan bahwa penulisnya merupakan seorang yang fakir yang berarti sangat membutuhkan Allah SWT. Ia mengatakan bahwa sifat tersebut merupakan benar tersemat bagi penulisnya, dengan memberikan argumentasi bahwa selain Allah SWT yang Maha Kaya, adalah fakir dan selalu membutuhkan. Sementara sifat yang lata yang dimaksudkan dengan hina dan rendah. Sebab, makna tersebut dalam bahasa Melayu berarti tidak dipedulikan, seperti kata “binatang melata” yang biasanya tidak dipedulikan oleh orang. Penggalan kedua, penulisnya menyebutkan bahwa nama aslinya adalah Hasanuddin bin Muhammad Maksum bin Abubakar bin Baris al-Dali al-Sumaterawi, di mana dua kata terakhir menjelaskan bahwa ia adalah orang Deli dan di Sumatera.
Meskipun nama tersebut yang tertulis, namun menurutnya, nama yang dikenal luas oleh masyarakat adalah Syekh Hasan Maksum. Nama popular ini yang kemudian dikenal oleh masyarakat luas, bukan hanya di Sumatera, tetapi sampai ke kerajaan Malaysia. Sewaktu masih sebagai santri di Makkah, ia sudah dikenal oleh masyarakat Nusantara di sana. Bukti yang menunjukkan akan hal tersebut karyanya yang tentang polemik hangat terkait persoalan hukum mengucapkan “ushalli” yang berjudul Al-Quthufat al-Saniyah li Man’i Ba’dh ma fi Al-Fawa’id al-Aliyah al-Talaffuzh bi al-Niyah (selesai ditulis tahun 1332 H/ 1914 M) yang merupakan bantahan atas kitab Al-Fawa’id al-A;iyah fi Ikhtilaf al-Ulama fi Hukm al-Talaffuzh bi al-Niyah (selesai ditulis tahun 1328 H/ 1910 M) karya Syekh Abdul Karim Amrullah yang merupakan ayah Buya Hamka yang terkenal. Karya ulama kerajaan Deli tersebut dipuji oleh gurunya di Makkah yang bernama Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Dalam penjelasannya dalam kitab tersebut, gurunya mengatakan bahwa kedua yang berpolemik merupakan anak muridnya di Makkah, namun dalam persoalan tersebut, justru pendapat Syekh Hasan Maksum yang dianggap tepat. Sementara Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, sebelum dua karya anak muridnya, telah menulis sebuah kitab yang sama berjudul Al-Khittah al-Mardiyah fi Radd Syubhah Man Qala bi Bidah al-Talaffuzh bi al-Niyah (selesai ditulis tahun 1327 H/ 1009 M).
Bukti kedua adalah ucapan gurunya asal negeri Mandailing dan mengajar di Makkah yang bernama Syekh Abdul Qadir bin Shabir Mandailing. Pada tahun 1925 M, gurunya tersebut berkunjung ke Medan dan menetap di kediaman Syekh Muhammad Yaqub Mandailing yang merupakan ayah Syekh Abubakar Yaqub. Ulama Mandailing tersebut memanggil Syekh Hasan Maksum dan mendudukkannya di dekatnya. Di depan para yang berhadir, ia mengatakan sebagaimana yang disebutkan oleh Matu Mona: “Deli ini telah kedjatoehan seboetir bintang jang gilang gemilang, akan tetapi pendoedoek beloem mengetahoeinya. Tambah lama bintang Zahra itoe akan bertambah memantjarkan sinarnja, dan moedah-moedahan dapatlah keradjaan Deli ini seorang poedjangga Islam jang jarang didapati.” Pernyataan ulama Mandailing tersebut tidak akan dapat dimaknai kecuali bahwa Syekh Hasan Maksum sudah dikenal di Makkah oleh masyarakat Nusantara di sana.
Bukti ketiga adalah kesaksian Syekh Muhammad Jafar bin Abdul Qadir Mandailing yang disebutkan dalam kitab Al-Tibyan al-Kafi fi al-Shuwar wa al-Tashwir al-Futugrafi tentang polemik hukum gambar, ia menyebutkan bahwa Syekh Hasan Maksum adalah ulama terkenal di kerajaan Deli yang pernah berguru kepada ayahnya di Makkah, terutama ilmu kaidah bahasa Arab. Menurutnya, Syekh Hasan Maksum juga pernah meminta beberapa penjelasan beberapa tema fikih saat gurunya tersebut berada di Medan Petisah mengunjungi iparnya.
Untuk bait kedua – inilah karangan beberapa permata, aqaid al-iman padanya nyata, Syekh Hasan Maksum menjelaskan bahwa karya ini layaknya seperti sebuah permata, dimana setiap orang pasti berkeinginan mempercantik dan memperindah dirinya supaya menjadi sempurna dengan batu permata. Tetapi, kesempurnaan tersebut hanyalah bersifat duniawi dan sementara. Oleh karenanya, karya yang berisi akidah ini, menurutnya, merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk memperindahnya agar mencapat kesempurnaan dunia-akhirat.
Dalam pengamatan saya, di awal abad 20 di Sumatera Utara (dulu Sumatera Timur), hanya ada dua ulama yang karyanya ditulis dalam bentuk Syair, salah satunya adalah Syekh Hasan Maksum. Sebab, keahlian dalam bidang ini merupakan seni tersendiri dalam dunia penulisan. Oleh karenanya, terbukti ucapan gurunya, Syekh Abdul Qadir bin Shabir Mandailing bahwa Syekh Hasan Maksum adalah seorang pujangga Islam asal Deli.
Yang menarik dari kitab ini adalah tradisi menulis seperti catatan pinggir di setiap pojoknya. Kitab yang ada di tangan saya aslinya merupakan milik Syekh Ahmad Maksum, anak Syekh Hasan Maksum. Saya memperoleh fotokopi kitab ini dari (alm) H. Zamhir Maksum yang merupakan anak Syekh Ahmad Maksum dan cucu Syekh Hasan Maksum. Saya menemukan hampir setiap pinggirnya ditemukan tulisan atau catatan pinggir yang merupakan penjelasan panjang atas kitab tersebut; baik ditulis dalam bahasa Arab atau Arab Melayu. Beberapa catatan tersebut juga disertakan dengan rujukan kitab karya ulama-ulama yang populer di bidang tauhid, seperti Syekh Syarqawi, Syekh Hudhudi, Syekh Dusuqi dan lainnya.
Untuk memperjelas pernyataan di atas, berikut beberapa yang saya kutip:
1. Pada halaman 9 yang merujuk kepada kitab Al-Hudhudi tertulis dalam bahasa Arab (terjemahannya): “sisi pentaklifan (pembebanan hukum Syariat) hanya terkhusus untuk golongan manusia saja, tidak bangsa malaikat dan jin. Sebab, kedua makhluk tersebut tidak jelas kapan ‘masa baligh’ menurut definisi syariat. Juga, bangsa jin secara fitrah asal sudah mukallaf, sementara malaikat tercipta dalam keadaan sudah bermakrifah dan taat, sehingga mereka tidak menjadi mukallaf menurut pendapat yang ditahkik. Adapun, pengutusan Nabi Muhammad SAW kepada bangsa malaikat adalah dalam bentuk tasyrif (mereka mulia karena keberadaan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan kepada mereka), bukan taklif (pembenanan hukum taklif yang lima).
2. Pada halaman 15 terkait tema sifat Mukhalafah li al-Hawadis tertulis dalam bahasa Arab (terjemahan): “yang maujud terkait “mahal” (dzat) dan “mukhassis” (pencipta) ada empat: a) maujud yang tidak membutuhkan keduanya yaitu Dzat Allah SWT, b) maujud yang membutuhkan keduanya yaitu sifat makhluk, c) maujud yang membutuhkan pencipta dan tidak membutuhkan dzat yaitu benda, dan d) maujud yang berdiri pada Dzat dan tidak membuthkan pencipta yaitu sifat Allah SWT.
3. Pada halaman 13 yang ditulis dalam bahasa Melayu: “pendapat Imam al-Razi yang mengatakan bahwa sifat wujud itu bukan Dzat Yang Maujud adalah pendapat lemah.”
Saya menduga bahwa catatan-catatan pinggir tersebut merupakan tulisan Syekh Ahmad Maksum. Ia membaca dan mengajar karya ayahnya di Masjid Kampung Mayar pada tanggal 15 Desember 1955 M/ 29 Rabiul Akhir 1375 H atau setelah meninggal Syekh Hasan Maksum. Saya tidak mempunyai data yang lengkap apakah kitab Durar al-Bayan Syarh Hidayah al-Ikhwan ini merupakan buku diktat yang dipakai oleh masyarakat awam saat itu atau santri di madrasah Al-Hasaniyah pimpinan Syekh Hasan Maksum yang dulu pernah ada dan melahirkan para ulama dan pendiri ormas Al-Wahsliyah dan Al-Ittihadiyah, seperti Syaeh Abdul Rahman Shihab, Syekh Muhammad Arsyad Thalib Lubis, Syekh Adnan Lubis dan lainnya. Mudah-mudahan ada yang meneliti. Semoga!
Medan, 3 April 2021
STIT Ar-Raudlatul Hasanah
Leave a Review