scentivaid mycapturer thelightindonesia

Madrasah Kunang-Kunang

Madrasah Kunang-Kunang
Ilustrasi/Dok. Paris Wyatt Llanso Art https://fineartamerica.com/featured/fireflies-over-the-susquehanna-paris-wyatt-llanso.html?product=greeting-card

Madrasah Kunang-Kunang

I

Langkahku dihentikan kedipan kunang-kunang. Puluhan atau mungkin ratusan titik cahaya mungil terbang-hinggap di daun tingkap. Berlalu-lalang; keluar-masuk, menembus celah jendela yang terbuka sebelah.

Aku ayun langkah dalam gerakan lambat. Mendekat ke tumpuan tingkap. Berhati-hati, supaya kunang-kunang itu tidak terkejut dan terbang ke lain tempat. Aku sudah tidak begitu ingat, kapan terakhir melihat kunang-kunang dalam jarak dekat? Jangankan melihat, mendengar orang menyebut kunang-kunang pun, rasanya, sudah lama sangat.

Aku berdiri mematung. Sedikit menengadah menatap dengan dada berdegup dan bulu-bulu di tengkuk mulai berdiri. Kunang-kunang itu seperti menyemuti bingkai tingkap yang kehitaman karena lapuk. Tumbuhan rambat mirip kerakap menjalari bendul. Sebuah pelepah kelapa tersandar begitu saja ke dinding. Azan Isya berkumandang. Embusan angin dari arah perbukitan meraba tubuhku. Daun-daun pisang seperti menggeleng-geleng menyambutnya. Angin dingin itu sampai di wajahku, membangunkan ingatan masa lalu. Tubuhku serasa diputar dan ditarik ke belakang, ke puluhan tahun silam, di saat kata kunang-kunang itu pernah sangat berkesan di pendengaran.

II

“Periksa mata Buya, Nak. Ada apa di dalamnya? Sedari tadi, Buya seolah melihat sekawanan kunang-kunang menyamun pandangan,” pinta Buya setelah terhuyung dan berusaha menahan keseimbangan tubuh dengan tongkatnya yang terbuat dari manau. Aku raih bahunya. Aku pandu badannya duduk di pangkal pohon pinus. Ia tampak merespons siul daunan pinus dengan tarikan napas yang dalam.

Aku berikan tabung air minum yang sengaja kami bawa sebelum berangkat. Aku ambilkan handuk kecil untuk mengusap matanya yang kulihat berkaca-kaca. Di dalam mata itu, aku hanya melihat garis kelabu melingkari tepian bulatan hitam. Lalu, di kedua sudutnya ada urat-urat kecil kemerahan seperti akar rumput yang lunak. Tidak ada kunang-kunang.

Aku tahu, ia hanya sedang letih dan ingin beristirahat. Kami hendak menghadiri undangan majelis pengajian di perkampungan tertinggi di kecamatan kami. Aku sebut tertinggi, karena dari tempat perhentian bus, kami mesti berjalan kaki ke lokasi pengajian sekira satu jam.  

Setelah meneguk air putih, Buya mengeluarkan gula merah dan mengemutnya. Gura merah yang terbuat dari air nira bisa membantu stamina ketika kelelahan atau lapar menyerang di tengah perjalanan. Apalagi bila berjalan di tengah hutan. Kalori dalam tubuh bisa cepat terhisap oleh energi pohon-pohon.

Pertengahan Agustus waktu itu. Tidak lama setelah usia Buya yang ke 75 kami rayakan. Pengajian yang akan kami hadiri diselenggarakan untuk menghayati bulan kemerdekaan. Masyarakat di sana memang terkenal memiliki semangat berbangsa yang berbeda dari kampung lain.

Diceritakan Buya, di sela napasnya yang mulai sesak, bahwa dari kampung yang akan kami tuju itu, lahir seorang pelajar yang gigih. Namanya Ibrahim bergelar Datuk Tan Malaka. Melihat kepintarannya, para Datuk rela beriuran, menggalang belanja perjalanan Ibrahim menunaikan ibadah belajar ke Eropa. Para Datuk itu rindu memiliki seorang tokoh terpandang yang akan membahagiakan masa depan kampung mereka.

“Bila kampung sudah tidak memiliki orang disegani, ibarat ijuk tak bersagar; bagai lurah tak berbatu. Kawan dan lawan akan bersilantasangan kepada kita,” terang Buya. Ia susun daun pinus gugur untuk menaruh sebungkil gula aren. Katanya, gula aren itu akan ditinggalkan sebagai sedekah untuk makhluk penyuka manisan, semisal semut dan kunang-kunang.

“Sebelum dikirim bersekolah ke benua biru itu, Ibrahim juga sudah menjadi guru muda, mengajari anak-anak kampung mengaji di madrasah milik ayahnya. Perbedaan tikus dan tupai sudah bisa diketahui sejak masih kecil hanya dengan memperhatikan bentuk ekornya. Kalau yang diperhatikan kepalanya, kita berpeluang salah duga,” nyaris pada setiap kali Buya berkata-kata, selalu terselip ibarat dan perumpamaan. Sebagian bisa kupahami langsung ketika mendengarkan. Sebagian lagi, kuketahui maksudnya justru setelah dewasa.

“Tetua di kampung itu, agaknya, sangat paham tafsir surat at-Taubah: 122. Ketika para pemuda bangga bisa berperang melawan kezaliman dan mati sebagai syahid, ayat itu turun: Mengapa kalian berduyun-duyun memanggul senjata ke medan pertempuran? Mengapa tidak ada yang memangku pena ke madrasah atau halaqah pengajian, lalu kembali lagi ke masyarakatnya memberikan pencerahan?” Begitulah. Bila sudah terlanjur membahas sebuah topik, Buya sulit dihentikan. Ada saja rangkaian pikirannya yang tak terduga dan bagiku itu meninggalkan kesan yang dalam.

“Bagaimana keadaan matamu, Buya? Apakah kunang-kunangnya masih di situ?” tanyaku, menyela.

“Sudah mulai berkurang. Perjalanan kita baru separuh. Mari kita lanjutkan. Tapi, sekarang coba perhatikan, dari mana sebenarnya napas saya keluar, dari hidung atau dari telinga?” tanyanya pula sambil tertawa. Sepanjang sisa perjalanan, ia lebih banyak mengingatkanku untuk tetap melatih daya sabar dalam diri. Keadaan boleh saja buruk. Keadaan boleh saja tidak ramah dan gelap gulita. Tapi, pesan Buya, jangan mengeluhkan kegelapan. Nyalakan suluh!    

Baca Juga: Tak Ada Kunang-kunang di Kampungku

III

Secara bergantian, di antara kami para santri laki-laki akan dipilih Buya mendampingi dirinya pergi ke majelis-majelis pengajiannya. Entah karena apa, aku paling sering mendapat giliran. Kadang, gara-gara ada temanku yang berhalangan dan meminta aku saja yang mendampingi Buya. Bagi Buya tidak ada masalah. Siapa pun santri di madrasah ini, adalah anaknya. Anak-anak yang setelah menamatkan studi, menurutnya, harus punya kemampuan mendampingi masyarakat. Karenanya, Buya mengajak kami secara bergantian menemaninya menyampaikan pesan-pesan agama ke tengah masyarakat.

Kami sering diminta Buya untuk tidak berpisah dari masyarakat, di mana kami berasal. Di hari penobatan kelulusan, kami diarak dan diantarkan sampai ke kampung kami. Kepada orang-orang di kampung, Buya menyerahkan kami kembali. Bangunlah kampung kelahiran. Jayakan kampung. Sesulit apa pun, bertahanlah. Jangan merantau.

Harapan itu, berseberangan dengan kebiasaan orang-orang di kampung kami. Banyak orang terdidik lahir di sini, tetapi semuanya berjaya di rantau orang. Jika perantauan mereka di dalam negeri, masih melegakan hati. Yang mengiris perasaan, mereka merantau justru ke luar negeri dan biasanya enggan untuk kembali pulang.

Dan jika antara harapan Buya itu kusandingkan dengan harapan almarhum Ayahku, terdapat pula persilangan. Ayah justru ingin, setelah tamat madrasah, aku melanjutkannya ke pendidikan militer. Akibatnya, tentu, aku harus meninggalkan kampung kelahiran. Mau Ayahku, di masa depan, aku menjadi seorang tentara yang menguasai ilmu agama. 

IV

“Menamatkan madrasah misi pertama. Menjadi tentara misi kedua,” demikian arahan Ayahku yang seorang veteran tentara pejuang.

“Setelah tamat madrasah mau jadi apa? Penceramah atau pendoa? Penceramah yang punya jadwal tetap setiap malam? Atau pendoa yang selalu diundang ke rumah-rumah; ke kantor camat membacakan doa? Tidak. Ayah tidak suka cara hidup anak Ayah seperti itu. Menguasai ilmu agama, iya, wajib. Membiayai hidup semata dari upah mengajarkan agama seperti menjadi penceramah atau pendoa tidak berkah! Kita dikarunia tubuh dan tenaga yang kuat. Engkau sadari itu,” kata Ayah.

“Abdikan karunia itu untuk bangsa ini. Engkau bacalah doa Nabi Ibrahim. Setelah sadar bahwa anak cucunya akan meneruskan kehidupan di tanah yang tandus, ia berdoa: ya, Tuhan kami, jadikanlah negeri kami ini, negeri yang aman. Ini anjuran untuk memikirkan negeri….” panjang lebar Ayah mengataiku. Aku tak punya alasan untuk menolak permintaannya. Ayah orang baik. Cita-cita tentu juga baik. Meskipun dalam diam, aku menyimpan cita-cita yang lain. Cita-cita yang tujuannya juga sama dengan harapan Ayah: mengabdi untuk negeri sebagai ciri dari iman. Namun, entah apakah yang salah dalam cara yang kupilih? beginilah jadinya. Aku dicurigai berpotensi mengacaukan negara. Oh!

V

Sungguh benar, apa yang Engkau cemaskan dulu itu, Buya. Mengutip sebuah hadits, Engkau berwasiat: di zaman yang jauh dari Nabi, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, orang-orang yang mengaku umat Muhammad akan digiring ke lubang biawak. Jadi santapan biawak. Orang-orang itu tiada menolak. Apakah karena orang-orang itu sedikit jumlahnya? Tidak! Ketika itu, mereka justru sangat banyak.

VI

Buya, aku melihat diriku kini sedang berada di antara orang-orang yang sangat banyak itu.

VII

Gelap sudah sempurna menyungkup cakrawala. Aku masih tertegun memandang kunang-kunang menyamun pintu rumah yang bersisian dengan madrasah. Rumah yang dulu menjadi kediaman Buya. Setelah 20 tahun beliau mendiang, keadaan madrasah ini kini seperti kerangka benteng sehabis kalah berperang.

Sebelumnya aku berharap bisa sampai sebelum magrib, namun kemacetan di perjalanan menunda rencana itu. Ditambah lagi urusan pemulanganku rupanya tidak sebentar. Aku mesti menandatangai surat pernyataan bersedia tidak melakukan perjalanan ke luar negeri selama kepastian hukum atas kasusku belum jelas. Sebelumnya, aku sempat ditahan penyidik selama dua minggu.

Aku ditahan karena aktivitasku dinilai berpotensi mengacaukan keamanan karena diduga terkait dengan tindakan teror yang belakangan mengancam negara. Semula, aku minta diberhentikan dari satuanku karena menilai aktivitas pengajianku sudah tidak serasi lagi dengan tugas pokok dan fungsiku sebagai abdi negara. Aku terus menerima gaji, sementara pikiran dan perbuatanku sudah tidak sepenuhnya lagi berada di dalam amanah tugas itu. Aku khawatir, jangan-jangan inilah yang orang sebut dengan memakan gaji buta.

Setelah diberhentikan, aktivitas pengajianku bertambah tinggi. Selama seminggu aku harus melakukan penerbangan ke luar negeri setidaknya tiga kali. Catatan penerbangan itu rupanya dinilai sudah tidak elok lagi. Ada sejumlah kode etik bahkan hukum yang terlanggar karenanya. Dan, aktivitas itu, memancing kecurigaan. Aku tidak tahu persis, apa yang dicurigai dari diriku. Apakah karena aku lulusan madrasah? Atau karena aku mantan aparatur negara?

Ketika diinterogasi, aku sudah jelaskan, bahwa sejak dari madrasah, aku diajarkan mencitai negeri ini. Tidak ada potensi mengacau keamanan dalam diriku maupun kegiatan pengajianku. Andaikata cinta bisa diukur, cintaku pada negeri ini lebih matang dari mereka yang memeriksaku dengan raut wajah penuh selidik itu. Mereka tetap tidak percaya dan terus mendesak dan kadang terkesan menjebak dengan sejumlah bukti-bukti yang mereka dikemukakan.

“Perlu saya ingatkan, saya ini dahulu, sama dengan Bapak-Bapak sekalian,” aku mencoba menjelaskan, namun dipotong.

“Justru karena itu. Banyak agenda negara yang Anda ketahui. Anda telah dicurigai membocorkannya ke pihak asing dan pihak pembuat teror!”

“Itu tidak benar!” Aku membela diri. Karena aku memang tidak melakukan itu.

“Kami juga punya bukti, rekaman ceramah Anda yang mengatakan bahwa negara ini direbut oleh pejuang-pejuang agama Anda. Anda juga menasihati pemimpin negara ini dengan bahasa yang tidak sopan! Anda katakan, pemimpin tidak boleh lupa pada cita-cita awal pendirian negara. Pemimpin, jika tersesat, harus segera kembali ke pangkal jalan atau ubah haluan. Ketika rekaman ceramah seperti itu ditonton seluruh rakyat, apakah itu tidak mengganggu pikiran orang tentang negara?” tanya salah seorang dari mereka.

“Akan saya jelaskan. Yang harus berubah itu bukan bentuk atau haluan negara ini. Tetapi mentalitas yang dipakai dalam pengelolaannya. Ini sesuai dengan revolusi mental, bukan?” Aku membalas. Mereka membalas lagi. Saling balas dan bersitegang. Perdebatan yang tak terelakkan itu berhenti ketika moncong sepucuk senapan melekat di jidatku. Aku dianggap tidak bisa bekerjasama dengan memberikan keterangan yang berbelit.  Karenanya aku ditahan.

Selama dalam kurungan jeruji besi itu, setiap kali bertafakur, aku coba menimbang, apa yang salah dari perbuatanku? Sering, di tengah kemelut pikiran, wajah teduh Buya melintas. Aku mulai merasa, ada jalinan yang telah terputus antara aku dan Buya. Setelah tamat madrasah, pulang kampung dan melanjutkan pendidikan di kemiliteran aku memang tidak punya kontak lagi dengan Buya.

Kami dipisahkan jarak dan rutinitasku pada tahun-tahun awal kedinasan sudah berada di jalur yang berbeda dengan jalur yang ditempuh Buya. Hingga pada tahun ke tiga, aku dapat kabar, beliau sudah berpulang. Ketika itu, aku sedang bertugas di ujung pulau Sumatra. Aku tidak sempat ikut melepasnya. Aku sedang di tengah hutan ketika itu. Aku hanya bisa berkirim doa dalam teriakan tangis yang tertahan. 

Sejak kabar itu aku terima, meskipun doa-doa terus kukirim untuknya, namun tak sekali pun aku sempat berkunjung untuk berziarah ke makamnya. Makanya, setelah dibebaskan dengan perjanjian bersedia tidak pergi ke luar negeri itu, aku tidak kembali ke kota tempat aku selama ini berkegiatan. Aku memutuskan langsung pulang ke madrasah, berziarah ke makam Buya.

Baca Juga: Jatah           

VIII

Ziarahku di sambut kunang-kunang. Kilatan cahaya mungil yang berterbangan itu seolah menjadi selaksa kenangan yang selama ini terkurung di pangkal ingatan. Kenangan yang menumpuk di tubir zaman yang curam.

Setelah sekian lama terkesima, aku abaikan kunang-kunang itu. Aku papah langkah menuju batu nisan Buya yang sebagaimana wasiatnya dulu, jasadnya ditanam di tanah yang sudah ia siapkan di samping madrasah.

Saat bersimpuh di sisi nisannya, entah bagaimana mulanya, tekanan darah di wajahku seperti mengerucut. Otot-otot mataku menyipit dan geraham bergetaran.

“Aku ingin mengadu, Buya,” bisikku dalam hati. Aku bayangkan Buya mendekat. Bagai dulu itu, saat keraguan menguasaiku, aku akan mendatanginya minta nasihat. Ia akan mendekatiku, menampar bahuku, dan mengguncang tubuhku.

“Ananda, berwuduklah. Air wuduk bisa membubarkan airmata duniamu. Setelahnya kamu akan bisa melihat jalan kehidupan dengan terang. Air suci itu juga akan menumpas segala pedih hati yang kamu derita. Lalu, masuklah ke dalam khusuk inabah. Dua rakaat pun cukup. Setelah salam kautolehkan ke kanan dan ke kiri, airmata itu akan berjatuhan lagi. Tapi, itu bukan lagi airmata yang jatuh karena diusik dunia. Itulah air mata yang akan membimbingmu mencari ridha-Nya. Setiap tetesannya nanti akan berganti menjadi kunang-kunang bercahaya terang,” begitu ketika itu ia menasihatiku.  

IX

Entah sudah berapa lama, aku bersimpuh di sisi nisan Buya, mengumamkan zikir dan doa. Ketika berusaha bangkit, berdiri, dan memandang berkeliling, aku lihat kunang-kunang itu semakin banyak jumlahnya. Semula hanya mengitari tingkap. Selanjutnya memadati atap gedung bekas asrama santri.

Kakiku kaku. Aku tidak bisa bergerak dan mengelak ketika kunang-kunang itu mengerubungi kepalaku. Mereka tebarkan cahaya hangat di atas ubun-ubunku. Cahaya itu kemudian berjatuhan menuruni pipi.

X

Kunang-kunang itu kini bergantian memasuki mataku, Buya, tapi aku ingat pesanmu: aku tidak boleh mengeluh, bukan?

Ya, aku tidak akan mengeluh, Buya. Tidak akan mengeluh.[]

*Cerpen ini Pernah dimuat di Jawa Pos, 21 Mei 2017 . Dimuat ulang di website ini untuk pendidikan.

Zelfeni Wimra
Lahir di Sungai Naniang, Luak Limopuluah Koto Minangkabau, Sumatra Barat, 05 Oktober 1979. Alumni MTI Pasia, Tahun Tamat 1999. Menamatkan pendidikan di IAIN Imam Bonjol Padang (S1-2004 dan S2-2011). Bergiat di kelompok kajian Magistra Indonesia dan Mantagi Institute Padang. Buku kumpulan cerpennya: “Pengantin Subuh” (LPPH, 2009); Yang Menunggu dengan Payung (GPU, 2013); Abu [Kisah Pertarungan dan Peruntungan Para Jantan di Tanah Betina], (Perpustakaan Daerah Sumbar, 2016). Sekarang sedang menyelesaikan Studi Doktoral di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.