Tulisan ini semacam surat cinta bagi Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Organisasi yang sejak tahun 2015 membuat saya terpanggil kembali untuk belajar bersamanya. Terpaksa di sini saya pilih sebagai diksi bukan karena tak suka. Tapi justru karena saya cinta, saya harus betul-betul sadar diri, bahwa hubungan saya dengannya, benar-benar sebuah keinsafan sejarah. Madrasah sengaja saya angkat sebagai tema utama. Hal ini untuk menegaskan bahwa dasar organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah adalah madrasah. Tanpa madrasah, niscaya tiada PTI, PERTI atau Tarbiyah. Apalagi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Tarbiyah-PERTI).
Saya sengaja tegaskan sebab sayang kepada madrasah sebagai yang dasar, sebagai yang pokok, sebagai yang berfungi menjadi fondasi kebangunan organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Bukan hanya bagi organisasi tetapi lebih dari itu. Bagi negeri ini, negeri yang melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ya, madrasah merupakan lokomotif transformasi negeri ini. Tidak sekadar wujud nyata peralihan perguruan umat Islam dari bentuk sebelumnya yaitu surau. Tapi menjadi instrumen bagi tradisi untuk bergerak lebih berterima bagi tuntutan kekinian dan kedisiniannya. Tanpa meninggalkan nilai utamanya yang populis dan humanis.
Sebab Lahir Madrasah
Tuntutan kekinian yang membuat madrasah muncul sebagai solusi adalah pemberlakuan sistem pembelajaran model sekolah yang menjadi trend dunia kala itu. Dimana masuk ke Nusantara melalui tangan penjajah Belanda yang mewajibkan sekolah sebagai institusi pendidikan yang mengajarkan huruf Latin. Sampai mengkampanyekan gerakan pemberantasan buta huruf. Yang secara langsung atau tak langsung menyatakan bahwa pribumi tanah jajahan adalah masyarakat buta huruf secara umum. Padahal, buta huruf di sini hanya huruf Latin. Tetapi huruf tradisional yang hidup dalam benak masyarakat pribumi Nusantara adalah huruf lokal seperti Bali, Batak, Jawa, Kawi, Lampung, Lontara, Makassar, Pallawa, Rejang, Rencong, Sunda dan lainnya serta Arab Melayu (Jawi atau Pegon).
Dalam konteks ini, madrasah hadir tidak hanya sebagai solusi populis bagi mayoritas pribumi yang tidak lolos seleksi masuk sekolah-sekolah yang notabene milik pemerintah Belanda yang penjajah. Yang hanya terbuka bagi pribumi keturunan bangsawan semata. Yang selain otomatis juga membuat mereka belajar huruf Latin dan sebagian sedikit atau banyak pelajaran seperti di sekolah-sekolah pemerintah Belanda itu, juga membuat mereka dapat tetap nyaman meneruskan tradisi pembelajaran literatur beraksara dan bahasa lokal Nusantara dan global yang Arab itu dalam bentuk kitab-kitab kuning. Ini tentu saja bukan mengenai madrasah dengan orientasi budaya Barat atau mengadopsi mutlak apa yang dipakai di sekolah-sekolah Belanda yang penjajah itu yang terinspirasi dengan semangat modernisasi yang kapitalis kolonialis.
Ini tentu saja madrasah yang berkarakter Timur. Yang orientasi pelayanannya adalah penerusan tradisi pendidikan yang sudah lama berjalan secara penuh dengan memodifikasi beberapa aspek teknis dalam rangka menjaga keberlangsungan proses yang telah teruji baik selama berabad-abad silam. Madrasah seperti ini adalah perguruan yang memilih merubah bentuknya dari surau sebagai lembaga pendidikan kemasyarakatan tradisional menjadi baru demi menjawab tuntutan untuk dapat menjaga keberlangsungan proses pendidikan.
Baca Juga: 5 Mei, Hari Pendidikan Islam (Tarbiyah Islamiyah)
Karakteristik Madrasah
Madrasah ini sebagaimana disinggung oleh KH. Abdurrahman Wahid, Presiden Republik Indonesia IV, lahir dari tradisi keilmuan Islam yang khas Nusantara yang mempunyai karakter gerakan literasi fikih sufistik. Yang angkatan terdekat adalah kelompok ilmuwan Nusantara yang konsen di bidang fikih (yurisprudensi Islam) berjaringan global yang memungkinkan mereka menjadi lebih cakap dalam menghadapi persoalan modern termasuk pendirian negara. Yang meneruskan angkatan sebelumnya berupa generasi ulama tarekat sufi yang dengan kapasitasnya membuat Islam menjadi lebih diterima di Nusantara sebagai sesuatu yang lokal secara kebudayaan. Kualitas inilah yang memungkinkan kemunculan kosmopolitan pada peradaban masyarakat Nusantara hingga kemudian membuat generasi belakang yang membentuk negara dapat mengusulkan Pancasila sebagai dasarnya.
Ya, madrasah ini adalah perguruan pembentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan dasarnya Pancasila. Sebagai bagian dari transformasi bentuk perguruan umat Islam di Nusantara baik secara sedikit ataupun banyak. Minimalis maupun maksimalis. Yang menurut Gus Dur diinisiasi di Sumatera dan Jawa. Di Jawa, madrasah-madrasah itu melahirkan Nahdlatul Ulama. Di Sumatera, madrasah-madrasah itu melahirkan Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Hal menarik terkait ini adalah pola berbeda secara teknis yang, mungkin, sangat terkait dengan latar historis dan kultural masyarakat pembentuk madrasah di Jawa dan Sumatera. Madrasah di Jawa yang tumbuh dari pesantren sebagai produk kearifan lokal setempat relatif memposisikan pesantren sebagai induknya. Ini mengingat pesantren sebagai sebuah perguruan milik masyarakat yang bercorak integratif. Yang mempunyai sistem terpadu dari masjid sebagai tempat sholat sekaligus mengaji, asrama tempat tinggal santri, kitab sebagai bahan ajar dan kiai sebagai tokoh pendidik. Sehingga ketika madrasah dibutuhkan, ia dapat tumbuh dengan cukup menjadi subsistem dari pesantren.
Sementara madrasah di Sumatera yang lahir dari peradaban surau di Minangkabau, dapat mengalami perubahan yang paling maksimal dari akarnya itu. Yaitu memunculkan madrasah sebagai lembaga pendidikan utama yang kurang lebih setara dengan makna pesantren dalam kesadaran masyarakat Jawa. Madrasah sebagai institusi utama pendidikan tradisional Islam ini di Minangkabau adalah Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Canduang yang didirikan oleh Syekh Sulaiman Arrasuly. Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Tabek Gadang yang didirikan oleh Syekh Abdul Wahid. Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Jaho yang didirikan oleh Syekh Muhammad Djamil. Juga Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Batu Hampar yang didirikan oleh Syekh Arifin.
Lokomotif Pendidikan Nasional
Keempat madrasah utama di Sumatera ini awalnya adalah surau. Seperti MTI Canduang yang didirikan oleh Beliau Inyiak Canduang, Maulana Syekh Sulaiman Arrasuli. MTI ini merupakan perubahan dari Surau Baru yang didirikan Inyiak Canduang pada tahun 1908. Setelah Inyiak Canduang pulang dari menunaikan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu di Makkah. Sebelumya, Inyiak Canduang mengajar di surau yang didirikan oleh ayahnya, Inyiak Haji Muhammad Rasul. Yang dikenal sebagai Surau Tuo. Namun, karena kebutuhan pengembangan langkah perjuangan, Inyiak Canduang mendirikan surau sendiri yang dikenal dengan Surau Baru. Surau Baru inilah yang pada tahun 1928, atas dorongan Maulana Syekh Abbas.
Syekh Abbas sendiri merupakan pendiri Arabia School di Gobah, Banuhampu, pada tahun 1918. Sosok yang disebut Djohan Effendi dalam bukunya “Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi” (2010) sebagai “ulama tradisionalis pertama yang mendirikan lembaga pendidikan dengan sistem sekolah”. Alasan Syekh Abbas yang membuat Syekh Sulaiman berkenan merubah bentuk suraunya hingga menjadi madrasah adalah keberlangsungan pendidikan lulusan Arabia School. Dimana kurikulum yang berlaku di Arabia School baru sebatas dasarnya. Belum jenjang menengah sehingga Syekh Abbas bergerak mendorong Syekh Sulaiman mendirikan perguruan yang dapat menampung kebutuhan lulusan dari sekolah yang didirikannya. Akhirnya Syekh Sulaiman mengajak keempat tokoh pendiri MTI utama di atas bermusyawarah hingga ditemukan kesepakatan bersama merubah surau-surau mereka menjadi MTI pada tahun 1928.
Praksis transformasi perguruan Islam di Minangkabau dari surau ke madrasah secara maksimal bentuknya ini tentu saja menjadi daya tarik tersendiri. Terutama dengan kemunculan Canduang sebagai titik temunya gerakan transformatif ini. Mulai dorongan Syekh Abbas kepada Syekh Sulaiman. Kemudian gerak Syekh Sulaiman memanggil jaringannya untuk membahas kemungkinan perubahan surau ke madrasah. Lalu kehadiran para tokoh ke Canduang dan bersepakat merubah surau mereka menjadi madrasah. Kesepakatan itu tidak hanya dalam wujud kesamaan bentuk madrasah, tetapi juga kesamaan nama yaitu Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Yang pada tahap lanjut memunculkan organisasi Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (PMTI). Lalu disingkat menjadi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PTI). Lalu berkembang lagi menjadi Persatuan Pendidikan Islam Indonesia (PPII) pada tahun 1935. Persis sepuluh tahun setelah Tan Malaka yang kelahiran Suliki menulis buku berjudul “Naar de Republiek Indonesia”. Buku perdana yang secara terang-terangan mengenalkan konsep Republik Indonesia. Namun, langkah PPII ini tidak maju. Setahun setelah itu tekanan terhadap organisasinya datang dari penjajah Belanda. Pernyataan pemerintah Belanda bahwa PPII bukanlah organisasi sosial kemasyarakatan tetapi merupakan partai politik hanya karena adanya kata Indonesia itu, membuat para anggota PPII mengundurkan diri. Mereka khawatir bahwa langkah perjuangan pengembangan pendidikan dan kegiatan terkait lainnya akan berhenti seiring penahanan mereka sebagai tokoh politik.
Hal tersebut lumrah sebab tokoh-tokoh partai-partai politik yang menyuarakan perintisan perjuangan kemerdekaan nasional telah lebih dahulu ditahan bahkan diasingkan di tempat yang jauh. Tentu saja bukanlah hal yang positif bagi mereka sebagai penggerak pendidikan umat. Uniknya, sebagai salah satu sosok sentral, Inyiak Canduang, adalah satu-satunya tokoh yang tidak menyatakan dirinya keluar dari PPII. Secara kualitatif, keberanian Inyiak Canduang ini tampaknya sangat terpengaruh dari kedekatannya dengan sosok guru yang melahirkan para tokoh pendiri organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam nasional semisal Al Washliyah, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yaitu Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Sosok ulama Nusantara yang menjadi mufti di Mekkah ini tidak hanya aktif mendiskusikan peralihan zaman dengan murid-muridnya terkait kemungkinan terbuka lebarnya bagi upaya perjuangan kemerdekaan nasional yang terinspirasi dari dinamika sosial global yang terakses di Makkah dan sekitarnya. Lebih dari itu, Syekh Ahmad Khatib berasal dari Ampek Angkek yang tak jauh dari Canduang. Namun, karena kalah jumlah dengan yang lainnya, Inyiak Canduang tak mungkin untuk menggerakkan PPII.
Sementara itu, di Suliki, tempat lahirnya Bapak Republik Indonesia, Ibrahim Datuk Sutan Malaka atau dipanggil akrab dengan Tan Malaka, telah berdiri organisasi lokal bernama Al-tarbiyah Al-shufiyyah Al-islamiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah, mamak dari Syekh Abdul Wahid Tabek Gadang, pada tahun 1929. Karena Beliau mulai udzur, maka Beliau mengarahkan murid, kemenakan dan menantu Syekh Abdul Wahid yaitu Abuya KH. Rusli Abdul Wahid untuk memimpinnya. Direstui pula oleh Syekh Abdul Wahid, H. Rusli pun merubah organisasi menjadi Persatuan Tarbiyah Islamiyah dengan singkatan PERTI. Pada tahun 1937, organisasi ini mengadakan kongresnya di Suliki lalu atas usul Syekh Abbas yang ikut hadir kala itu agar PERTI juga dapat dibentuk di Minangkabau, tidak hanya lokal Suliki. Usulan ini disetujui dan dengan ini pula Buya Rusli mulai memasukkan Abuya KH. Sirajuddin Abbas sebagai bagian dari pengurus pada kongres berikutnya di Canduang di tahun 1937 itu pula.
Seperti tulis situs www.tarbiyahislamiyah.id, sebagai suatu organisasi, PERTI memerlukan Anggaran Dasar yang akan menetapkan asasnya, serta tujuan yang ingin dicapainya dan sebagainya. Ia juga memerlukan Anggaran Rumah Tangga yang mengatur urusan dalam organisasi. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga FERTI yang selesai dan disahkan oleh kerapatan besarnya daLam konferensi yang diadakan pada tanggal 11-16 Februari 1938 (10-15 Zulhijjah 1356 H), kemudian oleh kongres berikutnya di Bukittinggi pada tahun 1939 (8-15 Rabi’ul Awal 1358 H). Dalam pasal 1 Anggaran Dasar tersebut dikatakan bahwa nama Persatuan Tarbiyah Islamiyah itu boleh disingkat dengan PERTI, bukan lagi PTI, dan pusat organisasi tersebut berkedudukan di Bukittinggi.
Adapun asas organisasi ini dalam pasal 2) disebutkan Azaz perserikatan ini adalah agama Islam yang suci dalam “’itiqad menurut faham Ahlussunnah wal-Jama’ ah, dan dalam syari’at menurut mazhab Imam Syafi’i”. Mengenai maksud dan tujuan dari organisasi ini, dijelaskan dalan fasal 3 Anggaran Dasarnya, yaitu: 1) berusaha untuk memajukan pengajaran agama Islam dan memperbaiki sekolah-sekolah agama bagi bangsa bumiputera seluruhnya. 2) memperkuat dan mengukuhkan adat yang kawi, syara’ yang lazim” dalam setiap nagari. 3) memperhatikan kepentingan ulama-ulama, guru-guru sekolah agama seluruhnya, terutama Sekolah Tarbiyah Islamiyah. 4) memperkokoh silaturrahim antara sesama anggotanya. 5) empertahankan agama Islam yang suci dari segala serangan.
Jalan apa yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan itu, dijelaskan dalam pasal 2 Anggaran Rumah Tangganya sebagai berikut: 1) mengadakan sekolah-sekolah agama dengan nama Tarbiyah Islamiyah. 2) mengadakan penyiaran agama Islam dengan tabligh dan buku-buku. 3) menerbitkan, atau membantu terbit dan tersiarnya buku agama, buku pengetahuan umum dan majalah. 4) mengadakan rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan. 5) mengemukakan keperluan-keperluan itu kepada umum, kalau dirasa perlu kepada yang berwajib juga. 6) mengadakan atau memelihara satu ikhtiar yang berguna bagi kehidupan secara Islam. 7) melakukan perusahaan berdasar keuangan( ekonomi) untuk keselamatan anggota dan perikatannya. 8) membangun Studifonds guna menolong kesengsaraan umum. 9) memasuki Raad-raad pemerintah (menjadi anggota dewan-dewan pemerintahan atau perwakilan pemerintah) untuk kepentingan perserikatan dan anggota.
Mengenai struktur organisasinya, dalam Anggaran Dasar tersebut digambarkan, bahwa PERTI untuk Putera mempunyai Pengurus Besar yang didampingi oleh Dewan Penasehat yang terdiri dari ulama-ulama PERTI yang tua-tua, seperti Syeikh Sulaiman Arrasuli, Syeikh Muhammad Jamil Jaho, Syeikh Abdul Wahid dan Syeikh Arifin. Kemudian dari pengurus besar itu ditunjuk beberapa orang yang berfungsi sebagai Pengurus Besar Harian, yaitu ketua, sekretaris, bendahara yang semuanya harus berkedudukan di tempat yang sama untuk kelancaran tugas-tugas mereka. Kemudian, untuk daerah-daerah yang jauh dari kedudukan pengurus besar, diadakan Majlis Wakil Pengurus Besar sekurang-kurangnya terdiri atas lima orang dan pimpinannya disebut Konsul Pengurus Besar. Majlis wakil inilah yang akan mengkoordinir cabang.Cabang. Selanjutnya, setiap cabang mengkoordinir beberapa anak cabang.
Inspirasi Pergerakan Nasional
Transformasi institusional dari perguruan Islam tradisionalis yang berupa surau hingga menjadi organisasi Persatuan Pendidikan Islam Indonesia menunjukkan lompatan peradaban yang jauh ke depan dengan basisnya yang tradisional. Begitu juga dengan transformasi institusional dari organisasi tarekat sufi di Suliki yang merupakan salah satu kantong pendidikan tarekat terbesar dan terbaik di Minangkabau menjadi organisasi nasional sampai benar-benar menjadi partai politik modern yaitu Partai Islam (PI) PERTI yang mendudukkan tokoh-tokohnya di Konstituante maupun di Kabinet Pemerintah Republik Indonesia yaitu Buya Sirajuddin Abbas dan Buya Rusli Abdul Wahid, adalah juga langkah fenomenal. Namun, kesemuanya itu berporos pada pendidikan tradisional yaitu gerakan literasi fiqih sufistik yang mengandung nilai utama interaksi pergerakan baik internal maupun eksternal yang bersifat humanis, populis dan kosmopolitan. Otoritas dan kapasitas memadai dalam literasi fiqih sufistik yang dimiliki para tokohnya membuat organisasi ini menjadi inspirasi gerakan nasional.
Seperti pada pemberian gelar waliyyu al amri bi al dhoruri bi al syaukah bagi Ir. Soekarno pada pertemuan ulama di Cipanas Jawa Barat tahun 1945. Yang memberikan legitimasi hukum baginya selaku Presiden Republik Indonesia yang menjadi dasar penetapan status sah pernikahan warganegara Indonesia yang beragama Islam. Kala itu umat Islam tengah resah mengenai status pernikahan di dalam rumah tangganya yang dianggap tidak sah akibat pemikiran politik yang menyatakan bahwa kepemimpinan Presiden Soekarno yang dari penunjukan dan bukan dari pemilihan adalah tidak sah. Sehingga sistem dan kebijakan kenegaraan di bawah kepemimpinannya itu tidak sah. Inyiak Canduang, Maulana Syekh Sulaiman Arrasuly dengan otoritasnya sebagai qadhi dan Ketua Mahkamah Syari’ah Sumatera Tengah juga sebagai murid Maulana Syekh Ahmad Khatib Al-minangkabawi di forum itu yang mencetuskannya. Hal tersebut ditegaskannya kembali di dalam forum serupa selanjutnya yang diprakarsai oleh Nahdlatul Ulama. Mengingat sumber mata air PERTI dan Nahdlatul Ulama adalah sama dimana dirinya selaku pendiri PERTI dan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari mempunyai guru yang sama yaitu Maulana Syekh Ahmad Khatib Al-minangkabawi, maka mudahlah usulan Inyiak Canduang ini diterima oleh forum. Beliau juga di dalam forum yang dihelat oleh NU itu merasa seperti di rumahnya sendiri. Sehingga nyaris tidak ada perbedaan pemikiran dan sikap yang berarti di antara kedua organisasi ini. Demikian ditulis Khairul Jasmi dalam bukunya “Inyiak Sang Pejuang: Novel Biografi Syekh Sulaiman Arrasuli Pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah”.
Sebelumnya, melalui Inyiak Sang Pejuang ini pula Persatuan Tarbiyah Islamiyah menginspirasi gerakan moderasi adat Nusantara dan syarak Islam. Melalui fatwanya, Maulana Syekh ini menyatakan bahwa “adat basandi syarak syarak basandi kitabullah syarak mangato adat memakai” yang sesungguhnya merupakan langkah revitalisasi gerakan penerimaan Islam oleh masyarakat Nusantara yang mendapatkan kegemilangan sejarahnya. Langkah moderasi adat dan syarak inilah yang oleh salah seorang cucu dari saudara seperguruannya, Hasyim Asy’ari, mendapatkan penguatan kembali. Gus Dur, putera Menteri Agama RI pertama, KH. Abdul Wahid Hasyim, menegaskan kembali moderasi adat dan syarak itu dengan mengedepankan narasi pribumisasi Islam sebagai proses utamanya. Hal yang oleh santri-santrinya kemudian dikembangkan sebagai konsep dan gerakan Islam Nusantara. Sebuah praksis yang kini bergerak menjadi model alternatif pembangunan peradaban bagi dunia internasional.
Penutup
Melihat rangkaian narasi di atas, sungguh Madrasah Tarbiyah Islamiyah merupakan sesuatu yang benar-benar dasar sekaligus besar. Dasar dalam konteks evaluasi sejarah dan proyeksi perjuangan Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Besar dalam konteks modal sosialnya bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, sebagai generasi penerus kita sudah sepantasnya berlaku optimis dan percaya diri akan kekuatan organisasi ini. Tentu saja dengan cara memberikan ruang dan peluang paling dasar juga paling besar bagi tumbuh dan berkembangnya Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Melalui revitalisasi gerakan yang strategis bagi penguatan nilai tradisionalnya yang luhur sekaligus menjadi titik tolak bagi inovasi dirinya yang lebih akomodatif bagi kebutuhan kekinian dan kedisinian plus kesinambungan masa depan.
Revitalisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah sebagai organisasi yang paling mau dan mampu atau paling bertanggung jawab mengurus Madrasah Tarbiyah Islamiyah karenanya menjadi langkah prioritas nasional. Setidaknya dengan membentuk badan khusus di dalam institusi organisasi ini yang paling fokus dan otoritatif secara teknis untuk itu. Sebagai garansi bagi pertanggungjawaban institusional organisasi ini pada sejarahnya. Sebab, selama Persatuan Tarbiyah Islamiyah tidak mengurus Madrasah Tarbiyah Islamiyah, maka selama itulah organisasi ini akan terlarut dalam urusan-urusan non organisasionalnya yang tidak menutup kemungkinan juga urusan-urusan non konstitusional. Ketidakhadirannya bagi Madrasah Tarbiyah Islamiyah akan membuat Persatuan Tarbiyah Islamiyah semakin tersita dengan persoalan-persoalan yang remeh temeh yang justru akan membuatnya semakin tidak mampu berbuat dan semakin mengalami kekaburan eksistensial.
Namun, jika Persatuan Tarbiyah Islamiyah mulai hadir kembali untuk Madrasah Tarbiyah Islamiyah, niscaya ia akan langsung mendapatkan optimisme dan kedaulatan organisasional. Sebab ibarat anak, ia hadir untuk orangtuanya. Untuk institusi yang melahirkannya, merawat dan membesarkannya. Ia adalah modal besarnya. Ia adalah bangunan fondasinya. Ia adalah akar sejarah peradabannya. Siapa yang tak kenai mengenai akan yang akar, ia bakal tak kenai mengenai akan yang cabang selamanya. Demikian kaidah Ushulnya. Wallahu a’lam.
D.M.S. Harby
Leave a Review