scentivaid mycapturer thelightindonesia

Mahmud Yunus dari Sungayang untuk Indonesia, Arsitek Pendidikan Islam Indonesia

Mahmud Yunus dari Sungayang untuk Indonesia, Arsitek Pendidikan Islam Indonesia

Prof. DR. H. Mahmud Yunus, lahir di Sungayang, Tanah Datar, Minangkabau, 10 Februari 1899. Mahmud Yunus adalah anak sulung dari tujuh bersaudara dalam keluarga petani Yunus dan Hafsyah. Besar di tengah keluarga ibunya, Yunus telah memperlihatkan minat terhadap ilmu agama sejak kecil. Ia belajar al-Qur’an di Surau Talang kepada kakeknya dan khatam dalam usia tujuh tahun. Setelah itu, ia menggantikan kakeknya mengajar di surau. Pada tahun 1908, ia masuk ke sebuah Sekolah Desa di Sungayang. Karena jemu dengan pelajaran yang sering diulang di kelas, setelah tahun keempat ia pindah ke Madras School pimpinan Muhammad Thaib Umar di Surau Tanjung Pauh. Ia belajar setiap hari dari pagi sampai siang. Namun, ia menarik diri dari mengajar di surau ketika berumur 12 tahun, dan pada umur 14 tahun ia dipercaya menjadi mudir (guru bantu) di Madras School.

Pada tahun 1917, ketika Muhammad Thaib Umar jatuh sakit, Yunus ditunjuk memimpin Madras School. Ketika berlangsung rapat besar ulama Minangkabau pada tahun 1919 di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang, ia hadir mewakili Muhammad Thaib Umar. Rapat ini meresmikan berdirinya Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), perkumpulan ulama yang bergerak di bidang pendidikan. Yunus menjadi salah seorang anggota terawal PGAI sejak didirikan. Pada akhir tahun 1919, Yunus bersama-sama guru Madras School mendirikan cabang perkumpulan pelajar Islam Sumatera Thawalib di Sungayang. Ia menggerakkan kegiatan di bidang pendidikan melalui majalah Islam Al-Basyir. Majalah ini terbit perdana pada Februari 1920 dengan Yunus sendiri sebagai pemimpin redaksinya.

Sejak ia mengenal pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha lewat majalah al-Manar, muncul keinginan Yunus untuk belajar ke Mesir. Meski sempat terjegal karena tidak memperoleh visa dari Inggris pada tahun 1920, ia akhirnya dapat berangkan lewat Penang, Malaysia pada Maret 1923. Ia mengurus visa bersama mamaknya, Datuk Sinaro Sati di Padang dan biaya yang diperlukan selama perjalanan ditanggung oleh mamaknya.

Memimpin Sekolah-sekolah Islam

Sebelum ke Mesir, Mahmud Yunus terlebih dahulu menunaikan ibadah haji di Makkah. Usai melaksanakan haji, Yunus menuju Kairo dan mendaftar sebagai mahasiswa di Universitas Al-Azhar. Ia menghabiskan satu tahun untuk memperoleh ijazah Syahadah Alimiyah (setara dengan magister). Ia tercatat sebagai orang Indonesia kedua yang lulus di Al-Azhar setelah Janan Thaib. Mengikuti saran gurunya di Al-Azhar, ia melanjutkan kuliah ke Darul Ulum (kini berada dalam Universitas Kairo). Ia diterima sebagai sebagai mahasiswa di kelas bagian malam; seluruh mahasiswanya berkebangsaan Mesir kecuali ia sendiri. Selama di Darul Ulum, ia mendapatkan pengecualian membayar uang kuliah atas amaran Menteri Pendidikan Mesir. Ia lulus setelah empat tahun di Darul Ulum dan memperoleh diploma guru di bidang ilmu kependidikan pada Mei 1930. Yunus adalah mahasiswa asing pertama yang tamat dari Darul Ulum. Pada bulan Oktober 1930, ia bersiap kembali ke Indonesia.

Tiba di kampung halamannya pada awal tahun 1931, Yunus mulai memusatkan perhatian pada peningkatan mutu sekolah-sekolah agama. Tahun-tahun pertama, ia memperbarui Madras School di Sungayang dengan menerapkan sistem klasikal sebagaimana lazimnya sekolah-sekolah pemerintah. Lewat Madras School, ia mengenalkan pembagian jenjang madrasah yang dikenal di Indonesia saat ini: Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah. Namun, sekolah ini terpaksa ditutup pada tahun 1933, setahun setelah pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan kebijakan pembatasan sekolah Islam atau dikenal dengan Ordonansi Sekolah Liar.

Pada tahun 1932, Yunus meninggalkan Sungayang dan disibukkan dengan aktivitas mengajar. Ia memimpin sekolah umum KMI (Kulliyyatul Muallimin Al-Islamiyyaah) di Padang yang didirikan PGAI pada 1 April 1931. Sekolah ini merupakan sekolah lanjutan tingkat atas yang dimaksudkan untuk mendidik calon guru; murid yang diterima di sekolah ini adalah lulusan madrasah minimal tujuh tahun. Yunus mengajarkan bahasa Arab, masukkan mata pelajaran agama Islam ke dalam kurikulum, dan menambahkan beberapa cabang pengetahuan umum seperti ilmu alam, tata buku, dan kesehatan. Sebagian buku yang dipakai untuk keperluan pengajaran adalah tulisannya sendiri yang ia susun sewaktu belajar di Mesir. Ia memimpin NIS sampai tahun 1938 dan kelak kembali memimpin pada tahun 1942 sampai 1946.

Pada 1 November 1940, ia dipercaya memimpin Sekolah Tinggi Islam (STI) di Padang. Didirikan oleh PGAI, STI tercatat sebagai perguruan tinggi Islam paling awal di Indonesia. Pada 9 Desember 1940, STI membuka dua fakultas: Fakultas Syariat dan Fakultas Pendidikan & Bahasa Arab. Namun, SIT hanya berjalan kurang dua tahun. Setelah Padang diduduki tentara pendudukan Jepang pada 1 Maret 1942, perguruan tinggi ini dilarang dan ditutup oleh pemerintah pendudukan.

Baca Juga: Pusat-pusat Keilmuan Islam di Pedalaman Minangkabau pada Abad 19 dan 20

Pendudukan Jepang dan Sekutu

Pada masa pendudukan Jepang, Yunus terlibat dalam pendirian Majelis Islam Tinggi (MIT) Minangkabau. Ketika Jepang mendirikan PETA di Jawa untuk membantu tentara Jepang menghadapi serangan balasan tentara Sekutu, Residen Kenzo Yano yang berkedudukan di Padang mengambil inisiatif membentuk satuan tentara Gyugun. Pembentukan Gyugun segera mendapat dukungan dari para ulama Minangkabau. Mereka mendorong para pemuda untuk mendapat pelahitan militer dari Jepang. Bersama-sama Chatib Sulaiman dan Ahmad Datuk Simarajo, Yunus ditunjuk untuk merekrut keanggotaan Gyugun. Para pemuda Gyugun kelak terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan menjadi laskar-laskar rakyat bentukan partai-partai dan organisasi di Minangkabau.

Pada tahun 1943, Yunus ditunjuk mewakili Majlis Islam Tinggi Minangkabau sebagai penasihat residen (Syu Cho Kan) di Padang. Melalui kedekatannya dengan Jepang, ia mengusulkan kepada Kepala Jawatan Pengajaran Jepang untuk memasukkan pendidikan agama Islam ke sekolah-sekolah pemerintah di Minangkabau. Usulan ini diterima oleh pemerintah dan diterapkan sampai berakhirnya pendudukan Jepang atas Indonesia seiring proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Seiring dengan kedatangan Sekutu melalui Pelabuhan Teluk Bayur pada penghujung tahun 1945, Normal Islam School terpaksa ditutup karena sebagian besar guru dan muridnya mengungsi ke daerah lain. Pada September 1946, Yunus menginisiasi berdirinya Sekolah Menengah Islam (SMI) di Bukittinggi. Semua alat-alat pembelajaran yang digunakan seperti kursi, meja, peta, dan alat-alat praktikum diangkut dari Padang. SMI kelak dijadikan sekolah negeri di bawah Jawatan Agama Sumatera Barat dan berubah menjadi Sekolah Guru dan Hakim Agama (SGHA) pada 1951.

Memperkenalkan Mata Pelajaran Agama

Upaya untuk memasukkan mata pelajaran agama Islam ke dalam kurikulum sekolah-sekolah pemerintah kembali diperjuangkan oleh Mahmud Yunus setelah kemerdekaan. Usul ini diterima oleh Jawatan Pengajaran Sumatera Barat, yang pada waktu itu dikepalai oleh Saaduddin Jambek, dan mulai diterapkan 1 April 1946 di seluruh Sumatera Barat. Oleh Jawatan Pengajaran Sumatera Barat, ia dipercaya menyusun kurikulum dan menentukan buku-buku pegangan untuk keperluan pengajaran.

Pada November 1946, ia dipindahtugaskan ke Pematangsiantar dan diangkat sebagai Kepala Bagian Agama Islam Jawatan Agama Provinsi Sumatera. Pada Januari 1947, Yunus kembali mengusulkan hal yang sama kepada Jawatan Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Provinsi Sumatera. Usul ini mendapat persetujuan pada Maret 1947 dan sejak saat itu, pendidikan Islam masuk secara resmi ke dalam kurikulum sekolah-sekolah pemerintah di seluruh Sumatera. Seiring dengan itu, pemerintah provinsi mengadakan kursus untuk guru-guru agama di Pematangsiantar selama sebulan penuh. Kursus ini dikuti oleh utusan dari seluruh daerah di Sumatera dan sebagai pimpinan kursus dipercayakan oleh Mahmud Yunus.

Pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), Yunus membuka sekolah-sekolah darurat. Ia sempat mengemukakan rencana mendirikan Madrasah Tsanawiyah untuk seluruh Sumatera. Rencana ini mendapat persetujuan dari Menteri Agama PDRI. Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada pemerintah RI, Madrasah Tsanawiyyah yang pada waktu itu bernama Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) dibuka di Sumatera Barat. Madrasah ini diselenggarakan secara swasta meskipun Yunus telah memperjuangkannya untuk dijadikan sebagai sekolah negeri.

Pada tahun 1950, Yunus mengusulkan kepada pemerintah untuk mengompromikan kurikulum yang diterapkan di Sumatera dengan kurikulum nasional. Usul ini dibahas bersama dalam panitia yang dipimpin Mr. Hadi dari Departemen Pendidikan dan Pengajaran dan Yunus sendiri dari Departemen Agama. Pada 20 Juanuari 1951, pendidikan agama mulai diajarkan untuk setiap jenjang pendidikan sekolah-sekolah negeri dan swsata, mulai dari sekolah rendah, sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas, hingga sekolah kejuruan dengan lama dua jam dalam seminggu. Ini masih diterapkan sampai sekarang di Indonesia dan pada tahun 2013, lama pelajaran agama ditambah menjadi empat jam.

Pada 8 Juli 1945, Sekolah Tinggi Islam (STI) didirikan di Jakarta. Pada 1946, STI dipindahkan ke Yogyakarta mengikuti kepindahan ibu kota negara. STI berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) pada 22 Maret 1948. Setelah Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1950 dikeluarkan, Fakultas Agama UII ditingkatkan menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Ketika itu, Yunus mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk mendirikan PTAIN di Jakarta. Namun, usulan ini ditolak karena berdasarkan ketetapan yang dikeluarkan, PTAIN hanya satu dan berada di Yogyakarta.

Baca Juga: 5 Mei, Hari Pendidikan Islam (Tarbiyah Islamiyah)

Pada 1 Juni 1957, Departemen Agama mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta. Mahmud Yunus diangkat sebagai rektor pertama ADIA dan sebagai wakil rektor ditunjuk Bustami Abdul Gani. Pada waktu Yunus menjabat sebagai Kepala Lembaga Pendidikan Agama pada Jawatan Pendidikan Agama, ia mengusulkan kepada Menteri Agama agar ADIA di Jakarta terintegrasi dengan PTAIN di Yogyakarta. Setelah mendapatkan persetujuan Mentri Agama Wahib Wahab, presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor Tahun 1960 tentang pendirian Institut Agama Islam Negeri (IAIN), yang mengintegrasikan ADIA dan PTAIN menjadi satu perguruan tinggi agama di bawah Departemen Agama. IAIN terdiri dari empat fakultas, dua fakultas di antaranya terletak di Jakarta. Berikutnya, berdasarkan keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 49 Tahun 1963 tertanggal 25 Februari 1963 dibentuk IAIN kedua di Indonesia yang berkedudukan di Jakarta. Kelak, IAIN di Yogyakarta kelak bersalin nama menjadi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta sedangkan IAIN di Jakarta diteruskan menjadi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sepanjang hidupnya, Yunus menulis tak kurang dari 80 judul buku. Ia mulai dalam usia 21 tahun. Sebagian besar buku-bukunya saat ini masih dipergunakan untuk keperluan pengajaran madrasah dan perguruan tinggi. Kamus Arab-Indonesia yang disusunnya masih mudah didapatkan saat ini. Beberapa judul bukunya yang dijadikan buku pegangan pendidikan agama di antaranya tiga jilid al-Fiqh al-Wadhih dan tiga jilid at-Tarbiyah wa at-Ta’lim. Karyanya yang berpengaruh adalah Tafsir Qur’an Karim yang diterbitkan pada tahun 1938. Tafsir ini tercatat sebagai pionir karya tafsir berbahasa Indonesia sejak dijadikan bahasa persatuan. Dua cetakan pertama terjual dalam beberapa bulan saja. Tafsir ini telah dicetak sebanyak 200.000 eksemplar hingga tahun 1983 dan telah mengalami cetak ulang sebanya 23 kali. Dalam otobiografinya yang terbit setelah ia meninggal, Yunus mengatakan bahwa ia mulai menulis tafsir ini sejak tahun 1921.[]

Zulhamdi Malin Mudo
Ketua MUI Kota Padangpanjang