Sebelum Nabi Musa as berangkat ke bukit Thur Sina untuk bermunajat dengan Allah SWT, ia berpesan kepada saudaranya Nabi Harun as : “Gantikan aku untuk memimpin kaum, lakukan perbaikan (ishlah) dan jangan ikut jalan orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Sepulangnya dari Thur Sina, Musa as mendapati kaumnya telah menyembah anak sapi (‘ijl). Bukan main murkanya Musa as. Sampai-sampai lembaran-lembaran suci (Taurat) yang berada di tangannya, ia lempar. Tidak itu saja, ia bahkan menarik kepala saudaranya; Harun as. Ia bertanya pada saudaranya dengan nada marah: “Harun, kenapa engkau tidak ikut perintahku ketika melihat mereka sesat?” Maksudnya, kenapa engkau tidak menyusulku bersama orang-orang yang masih beriman ke bukit Thur Sina? Kenapa engkau masih bertahan bersama mereka yang sudah sesat?
Apa jawaban Nabi Harun? Setelah memohon pada saudaranya untuk melepaskan kepala dan jenggotnya, ia berkata: “Aku takut engkau akan berkata, “Kau telah memecah-belah Bani Israil dan engkau tidak menjaga amanahku.”
***
Nabi Harun menempuh langkah ini ; tetap bertahan dan berada di tengah-tengah kaumnya yang sudah menyimpang, karena ia tidak ingin dituduh oleh Musa telah memecah-belah Bani Israil. Karena kalau ia pergi menyusul Musa bersama orang-orang yang masih beriman tentu kaum Bani Israil akan terpecah menjadi dua, dan ini kontraproduktif dengan pesan awal Musa kepada Harun untuk melakukan perbaikan (ishlah) serta jangan ikuti langkah orang-orang yang berbuat kerusakan. Apalagi sosok Harun tidak terlalu disegani kaumnya sebagaimana halnya Musa as. Karena itu ia lebih memilih menunggu kepulangan Musa dari Thur Sina. Biar Musa yang bertindak dengan ketegasan dan kharisma yang dimilikinya.
Imam Thahir bin ‘Asyur berkata:
هَذَا اجْتِهَادٌ مِنْهُ فِي سِيَاسَةِ الْأُمَّةِ إِذْ تَعَارَضَتْ عِنْدَهُ مَصْلَحَتَانِ مَصْلَحَةُ حِفْظِ الْعَقِيدَةِ وَمَصْلَحَةُ حِفْظِ الْجَامِعَةِ مِنَ الْهَرَجِ. وَفِي أَثْنَائِهَا حِفْظُ الْأَنْفُسِ وَالْأَمْوَالِ وَالْأُخُوَّةِ بَيْنَ الْأُمَّةِ فَرَجَّحَ الثَّانِيَةَ، وَإِنَّمَا رَجَّحَهَا لِأَنَّهُ رَآهَا أَدْوَمَ فَإِنَّ مَصْلَحَةَ حِفْظِ الْعَقِيدَةِ يُسْتَدْرَكُ فَوَاتُهَا الْوَقْتِيُّ بِرُجُوعِ مُوسَى وَإِبْطَالِهِ عِبَادَةَ الْعِجْلِ حَيْثُ غَيَّوْا عُكُوفَهَمْ عَلَى الْعِجْلِ بِرُجُوعِ مُوسَى، بِخِلَافِ مَصْلَحَةِ حِفْظِ الْأَنْفُسِ وَالْأَمْوَالِ وَاجْتِمَاعِ الْكَلِمَةِ إِذَا انْثَلَمَتْ عَسُرَ تَدَارُكُهَا
“Ini adalah ijtihad dari Nabi Harun dalam mengelola masyarakat ketika ada dua maslahat (kepentingan) yang kontradiktif ; maslahat menjaga akidah dan maslahat menjaga keutuhan masyarakat dari kekacauan. Termasuk di dalamnya maslahat menjaga jiwa, harta dan persaudaraan antar komponen masyarakat. Harun lebih memilih maslahat yang kedua. Hal itu ia lakukan karena maslahat ini jauh lebih langgeng. Adapun maslahat menjaga akidah, meskipun ditunda beberapa saat masih bisa dijemput kembali dengan kepulangan Nabi Musa. Ia sendiri yang akan membatalkan penyembahan terhadap anak sapi itu. Ini berbeda dengan maslahat menjaga jiwa, harta dan keutuhan masyakarat, yang kalau sudah rusak sulit untuk bisa diperbaiki lagi.”
Tapi apakah Nabi Harun hanya diam saja melihat kemungkaran itu? Tidak. Beliau telah mengingatkan dan menasihati dengan cara yang lembut sesuai dengan karakter beliau yang lunak dan santun.
Imam Fakhr ar-Razi berkata:
وَاعْلَمْ أَنَّ هَارُونَ عَلَيْهِ السَّلَامُ سَلَكَ فِي هَذَا الْوَعْظِ أَحْسَنَ الْوُجُوهِ لِأَنَّهُ زَجَرَهُمْ عَنِ الْبَاطِلِ أَوَّلًا بِقَوْلِهِ: إِنَّما فُتِنْتُمْ بِهِ ثُمَّ دَعَاهُمْ إِلَى مَعْرِفَةِ اللَّه تَعَالَى ثَانِيًا بِقَوْلِهِ: وَإِنَّ رَبَّكُمُ الرَّحْمنُ ثُمَّ دَعَاهَا ثَالِثًا إِلَى مَعْرِفَةِ النُّبُوَّةِ بِقَوْلِهِ: فَاتَّبِعُونِي ثُمَّ دَعَاهُمْ إِلَى الشَّرَائِعِ رَابِعًا بِقَوْلِهِ: وَأَطِيعُوا أَمْرِي .
وَهَذَا هُوَ التَّرْتِيبُ الْجَيِّدُ لِأَنَّهُ لَا بُدَّ قَبْلَ كُلِّ شَيْءٍ مِنْ إِمَاطَةِ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَهُوَ إِزَالَةُ الشُّبُهَاتِ ثُمَّ مَعْرِفَةُ اللَّه تَعَالَى هِيَ الْأَصْلُ ثُمَّ النُّبُوَّةُ ثُمَّ الشَّرِيعَةُ .
“Ketahuilah, sesungguhnya Harun as sudah menempuh cara nasihat dalam bentuk yang sangat baik. Pertama ia mengingatkan mereka bahwa apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang batil: “Sesungguhnya kalian telah jatuh dalam fitnah…”. Kedua, ia mengajak mereka untuk benar-benar mengenal Allah SWT: “Sesungguhnya Rabb kamu adalah Ar-Rahman…”. Ketiga, ia mengajak mereka untuk mengenal kenabian: “Maka ikutilah aku…”. Keempat, ia mengajak mereka untuk mengikuti syariat: “Dan patuhilah perintahku…”.
Ini merupakan urutan nasihat yang sangat bagus, karena untuk memperbaiki sesuatu terlebih dahulu mesti membuang gangguan dari jalan, dalam hal ini adalah menghilangkan syubuhat (kerancuan), kemudian mengenal Allah yang merupakan dasar segala-galanya, lalu mengenal kenabian, kemudian syariat.”
Baca Juga: Fikih Ikut Imam Syafi’i tapi Akidah Ikut Imam Asy’ari, Kok Bisa?
***
Pertanyaannya adalah apakah langkah yang ditempuh oleh Nabi Harun as dengan lebih memprioritaskan keutuhan kaum (masyarakat) –setidaknya untuk sementara waktu- daripada masalah akidah, adalah sesuatu yang sudah tepat?
Saya pribadi tidak berani memberikan penilaian. Namun sekilas, setelah menyampaikan alasan dan pembelaan tersebut, Nabi Musa as –atau lebih tepatnya Allah SWT- tidak mengomentari apapun. Dan ini bisa dikatakan iqrar.
Imam Thahir bin ‘Asyur, karena ia seorang yang sangat pakar dalam Tafsir, Lughah, Maqashid dan sederet keilmuan pokok lainnya, ia memberikan penilaian:
وَكَانَ اجْتِهَادُهُ ذَلِكَ مَرْجُوحًا لِأَنَّ حِفْظَ الْأَصْلِ الْأَصِيلِ لِلشَّرِيعَةِ أَهَمُّ مِنْ حِفْظِ الْأُصُولِ الْمُتَفَرِّعَةِ عَلَيْهِ، لِأَنَّ مَصْلَحَةَ صَلَاحِ الِاعْتِقَادِ هِيَ أُمُّ الْمَصَالِحِ الَّتِي بِهَا صَلَاحُ الِاجْتِمَاعِ
“Ijtihad Nabi Harun ini marjuh (lemah) karena menjaga sesuatu yang sangat pokok dalam syariat (yaitu akidah) jauh lebih penting daripada menjaga pokok-pokok yang menjadi cabang darinya, karena kemaslahatan akidah adalah induk segala kemaslahatan yang dengannya masyarakat akan baik.”
Sementara Imam Fakhr ar-Razi lebih menempuh cara yang lebih moderat. Ia tidak mengatakan bahwa ijtihad Nabi Harun adalah marjuh (lemah).
Menurutnya, para Nabi bisa saja meninggalkan sesuatu yang lebih utama (جَوَازِ تَرْكِ الْأَوْلَى).
Beliau berkata:
فَالْفِعْلُ الَّذِي يَفْعَلُهُ أَحَدُهُمَا وَيَمْنَعُهُ الْآخَرُ أَعْنِي بِهِمَا مُوسَى وَهَارُونَ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ لَعَلَّهُ كَانَ أَحَدُهُمَا أَوْلَى وَالْآخَرُ كَانَ تَرْكَ الْأَوْلَى فَلِذَلِكَ فَعَلَهُ أَحَدُهُمَا وَتَرَكَهُ الْآخَرُ
“Apa yang dilakukan oleh satu dari kedua Nabi mulia ini (maksudnya Musa dan Harun), dan tidak dilakukan oleh yang lain, boleh jadi salah satunya lebih utama sementara yang lain meninggalkan yang lebih utama. Karena itulah, salah satu melakukannya sementara yang lain meninggalkannya.”
Pandangan beberapa ahli tafsir kontemporer seperti Imam Musthafa al-Maraghi, Imam Abu Zuhrah, Imam al-Qasimi dan lain-lain, sepertinya cenderung menyetujui langkah yang diambil oleh Nabi Harun as.
Baca Juga: Menebak Kriteria Bid’ah Ustaz Khalid Basalamah (bagian 2)
***
Apa yang bisa disimpulkan dari uraian ini?
Pertama, masalah akidah adalah masalah pokok, bahkan induk dari segala masalah yang pokok.
Kedua, marah ketika akidah dinodai adalah tanda keimanan seperti yang ditunjukkan oleh Nabi Musa as.
Ketiga, ada saatnya -dalam beberapa kondisi dan situasi- menjaga keutuhan masyarakat lebih diutamakan daripada masalah akidah, setidaknya untuk sementara waktu sampai ada tindakan pencegahan yang lebih solutif.
Keempat, meskipun seorang Nabi, tapi Harun lebih memilih untuk menunggu kepulangan saudaranya; Musa, yang lebih kredibel dan berkompeten untuk menyelesaikan masalah yang terjadi.
Kelima, untuk kasus yang sudah jelas, pasti, terang-benderang, dan tidak diragukan lagi bertentangan dengan akidah yang benar, Nabi Harun as masih memilih sikap yang hati-hati, apalagi untuk sesuatu yang belum pasti, ada beragam sudut pandang yang argumentatif, atau sesuatu yang terjadi karena kebodohan (ketidaktahuan) dan sebagainya. Tentu semestinya lebih berhati-hati lagi.
والله تعالى أعلم وأحكم
[YJ]
Leave a Review