scentivaid mycapturer thelightindonesia

Manjalang Guru: Tradisi Memuliakan Urang Siak

Manjalang Guru Sebuah Tradisi Memuliakan Urang Siak
Poto/Dokumen Penulis

Manjalang Guru

Ramadan telah berlalu dengan sendirinya. Tidak ada yang dapat menahannya pergi. Seiring bergulirnya waktu kini Ramadan telah berganti dengan Syawal. Bulan kemenangan bagi umat Islam. Setelah berpuasa di bulan Ramadan sebulan penuh, bagi sebahagian umat Islam (rata-rata yang lansia) berhari raya hanya di 1 Syawal saja, besoknya tanggal 2 syawal mereka telah berpuasa kembali. Puasa sunat bulan Syawal yang lebih akrab di lidah dengan sebutan ‘Puasa Enam’. Setelah Puasa Enam barulah mereka ‘Sabana Rayo’. Artinya, silaturrahmi, kunjung mengunjungi dan temu menemui, bahkan walimatul ‘usry pernikahanpun dilaksanakan setelah Puasa Enam.

Di Nagari Padang Laweh, Kecamatan Sungai Pua, Kabupaten Agam, tradisi “Manjalang Guru” masih dipangku dan dilaksanakan sampai saat sekarang ini. Biasanya dilaksanakan di bulan Syawal, setelah puasa enam atau saat lebarannya Puasa Enam. Masyarakat di sini lebih terbiasa menyebutnya ‘Rayo Anam’.

Baca Juga: Puasa Syawal Menyambung Ketaatan dengan Ketaatan

Di Mìnangkabau ada beberapa trasisi ‘Manjalang’ yang tak terlepas dari budaya, adat istiadat dan tradisi yang dimuliakan oleh masyarakatnya. Diantaranya; “Manjalang mintuo atau minantu” saat akan memasuki bulan Ramadan atau saat lebaran Idul Fitri. “Manjalang mamak”, “manjalang bako”, “manjalang ipa-bisan” termasuk “manjalang guru” yang akan kita bahas dalam tulisan ini.

‘Manjalang’ dalam artian harfiah dan dalam bahasa Indonesia memiliki padanan ‘berkunjung, mendatangi, atau bersilaturrahmi ke rumah orang lain’. Guru yang dimaksud di sini bukanlah guru dalam artian khusus sebagaimana yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni ‘orang yang pekerjaannya (mata pencariannya atau profesinya) mengajar’. Bukan hanya itu. Bukan pula masuk dalam kategori guru di sekolah-sekolah umum, semisal guru SD, guru SLTP, dan SLTA. Tapi guru dalam artian berdasarkan pengertian masyarakat setempat.

Guru dalam pengertian masyarakat di sini dapat digolongkan kepada 2 (dua) kategori, yaitu: Pertama, guru adalah mereka yang mengajar, baik yang mengajar anak-anak mengaji di TPA atau MDA ataupun yang mengajar ‘Kaji Tubuah’ di surau-surau. Kedua, guru adalah mereka yang senantiasa menjadi imam di surau-surau atau mereka yang senantiasa mendampingi kegiatan-kegiatan keagamaan, semisal wirid yasinan dan majelis ta’lim.

“Manjalang Guru” dalam pengertian luas adalah berkunjung ke rumah guru mengaji atau imam atau pendamping dalam kegiatan keagamaan dalam rangka bersilaturrahmi dan memulai kembali pada kegiatan-kegiatan keagamaan sehabis lebaran.

Dalam prosesnya, seiring perubahan masa, sakali aia gadang, sakali tapian barubah, “Manjalang Guru” saat ini didapati dalam 2 (dua) bentuk pelaksanaan. Pertama, untuk guru TPA/MDA dilaksanakan di TPA/MDA dimana anak-anak belajar. Hal ini disebabkan karena guru TPA/MDA lebih dari 1 (satu) orang. Kedua, untuk imam, guru kaji di surau dan guru pendamping kegiatan keagamaan tetap dilaksanakan di rumah sang guru bersangkutan. Sebab pada adatnya guru tersebut hanya 1(satu) orang.

Kegiatan “Manjalang Guru” ini adalah kegiatan yang sangat agung dan membanggakan bagi masyarakat yang telah diwariskan secara turun temurun sejak dahulunya. Kegiatan ini adalah bentuk nyata penghargaan dan pemuliaan urang siak yang berjasa dalam kehidupan mereka dalam bidang keagamaan.

***

‘Malenggang Babuah Batih, Bajalan Babuah Tangan’

Sudah menjadi tradisi pula di nagari ini setiap kegiatan kunjung-mengunjungi pasti senantiasa ada yang dibawa. Ke rumah mertua, ke rumah bako, ke rumah mamak masing-masing ada buah tangannya. Begitu juga  memenuhi panggilan ‘Mandoa Apam’ menjelang puasa ada buah tangan, bahkan pergi ‘alek kawin’ ada buah tangan. Demikian juga saat “Manjalang Guru” ini, para orang tua wali murid atau jamaah akan membawa sesuatu sebagai buah tangan untuk bersilaturrahmi di saat hari dan waktu yang telah mereka sepakati.

Biasanya, pada masa yang telah berlalu para wali murid atau jamaah akan membawa piring talam (piring besar yang terbuat dari seng) dengan dijinjing atau dijunjung berbungkus taplak meja yang di dalamnya berisi nasi dan gulai.  Nasi yang dibawa dari rumah masing-masing lengkap dengan lauk pauknya (sambal), Nantinya, nasi dan lauk pauk itu  akan dihidangkan di ruangan TPA/MDA atau di tengah rumah sang guru, lalu dimakan secara bersama-sama dengan guru setelah mendoa “salangkok ganoknyo’. Selain nasi beserta sambalnya, talam yang dibawa orang tua wali murid atau jamaah itu juga berisi beras, telur dan uang alakadarnya, nantinya akan ditinggalkan di rumah guru. Serta tak lupa pula ‘pinun aia, parabuang atau manum kawa’nya berupa pisang, pinyaram, kalamai dan lainnya.

***

Pun demikian adanya, “Manjalang Guru” ini merupakan salah satu bentuk silaturrahmi yang memiliki sejumlah manfaat. Manfaat itu sendiri berarti ‘guna, faedah, laba atau untung’. Apa faedah, guna, laba atau untungnya bagi masyarakat atau jamaah dalam kegiatan “Manjalang Guru” ini?

Selain dari beberapa keutamaan dan manfaat bersilaturrahmi yang telah banyak dibahas oleh para ulama dan akademisi yang diantaranya; 1). Diluaskan rezeki dan dipanjangkan umurnya bagi orang yang bersilaturrahmi, 2). Disediakan surga di akhirat kelak, 3). Mendapatkan pahala yang besar, dan 4). Dicintai oleh Allah, Rasulnya dan manusia.

Ada beberapa manfaat dari tradisi “Manjalang Guru” ini yang diyakini dan digenggam erat oleh masyarakat sampai saat ini, yakni; Pertama, sebagai salah satu bentuk memuliakan para guru, imam, urang siak (ulama) dan pendamping kegiatan keagamaan. Mereka meyakini jika ‘guru’ telah dimuliakan dengan sedemikian rupa, maka Allah SWT pastinya juga akan memuliakan mereka pula. Sementara hari ini kita lihat dan saksikan guru tempatnya yang seharusnya amat mulia dan terhormat itu telah tergerus di hati masyarakat secara umum.

Kedua, sebagai wujud tabarruk dari keutamaan dan kemuliaan para guru, imam, dan urang siak. Tabarruk berarti mencari berkah, yakni mencari kelebihan dan kebahagiaan. Tabarruk kepada guru atau ulama berarti mencari atau menyerap berkah dengan guru atau ulama tersebut. Ketiga, sebagai bentuk pendekatan diri secara emosional agar senantiasa disayangi guru. Artinya, mereka meyakini jika telah dekat dengan guru dan guru telah sayang padanya maka apapun yang tercurah dari guru berupa ilmu dan hikmah akan mudah diterima dan dipahami (capek tingga di kapalo).

Baca Juga: Kenangan Semasa Kecil Puasa dan Lebaran di Kampung

***

Saat ini, tradisi “Manjalang Guru” secara perlahan-lahan telah mulai terkikis oleh zaman. Barangkali tidak beberapa nagari yang tetap mempertahankan tradisi ini. Salah satu yang masih mempertahankan tradisi baik dan elok ini adalah Nagari Padang Laweh, Kecamatan Sungai Pua.

Banyak faktor memang yang menyebabkan semakin menghilang dan pudarnya tradisi ini di sebahagian tempat. Mulai dari kurangnya pengenalan kepada generasi muda akan tradisi-tradisi Minangkabau oleh mamak-mamak mereka, generasi muda yang mengabaikan kearifan budaya lokal karena terpengaruh oleh gelombang modernisasi yang lebih diminati dan sikap individual yang lebih praktis dalam mengikuti perkembangan zaman, dan pembelajaran Budaya Adat Minangkabau yang cuma masuk kedalam kegiatan ekstrakurikuler sekolah.

“Manjalang Guru”,  mungkin perlu dibangkitkan kembali, bukan hanya untuk dikenang atau hanya sebagai cerita klasik untuk anak cucu di kemudian hari. Karena ada begitu banyak nilai-nilai penting yang bisa diambil dalam tradisi ini, salah satunya yaitu semangat memuliakan para guru oleh masyarakat dan para penuntut ilmu dari generasi muda Minangkabau pada masa dulu. Kegiatan ini juga merupakan refleksi (cerminan) diri atau sikap urang awak, masyarakat Minangkabau terhadap keberadaan urang siak (orang alim/ulama) di lingkungannya masing-masing.[]


Redaksi tarbiyahislamiyah.id menerima sumbangan tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email: redaksi.tarbiyahislamiyah@gmail.com

Afrizon
Alumni MTI Canduang 2003