Tarbiyah
Beberapa hari lalu, saya meangguk-angguk balam di depan hidangan berbuka. Di depan kolak sarabi itu saya mesaulah-saulahkan perangai. Saya duduk bersila pakai baju koko, kain sarung, kopiah hitam dengan gaya bicara saya buat-buat agar terlihat elok laku. Gaya batuk pun saya buat sewibawa mungkin, dari gaya batuk ulama besar sampai mendaham ala datuk penghulu. Dengan itu semua saya berharap bisa menutupi ketidakbecusan saya sebagai menantu pengangguran.
Selaku urang sumando yang konon katanya “dianjuang tinggi, diamba gadang”, namun saya tetap masih canggung, sebab mertua saya telah kehabisan bahasa dan sikap untuk ma-anjuang dan ma-amba saya yang masih menganggur sampai saat ini. Saya sudah pasang banyak muka, dari muka setebal roti malabar sampai setebal bandul rumah. Tapi malu sebagai pengangguran itu belum seberapa dibanding kejadian ketika berbuka beberapa hari lalu itu. Apa pasal?
***
Agar suasana berbuka tak terlalu kaku, mertua saya mencari bahan obrolan. Berawal dari sinilah muka saya tebal lantaran malu.
“Kalau Ama ndak salah, Sutan sakola di pesantren dulu yo, a namo pesantrennyo tu?”
“Tarbiyah, Ma”
“Apo bana nan Tarbiyah tu, Sutan?”
Hhhhmmm,,,aaa,,,uuu,,,eee,,,anu,,,aaa,,,ee,,,mmz. Tak jelas apa yang keluar dari mulut saya. Saya hanya bisa cengengesan seperti keledai. “Oh, Ibrahim, ajarkanlah saya ilmu kebal dari pertanyaan yang membakar dada”.
Betapa malunya saya tak bisa menjawab identitas saya sendiri. Bagus dan jeleknya tarbiyah itu bagaimana pula lah saya hendak menjelaskannya. Taraso lai, takatoan indak, bak si bisu barasian saya dibuatnya. Apa sebenarnya yang membuat saya bisu; ketidaktahuankah? ketakutankah? ketidakpeduliankah? menghindar dari gelanggang gegep gempita yang tak jelas juntrungnya itu kah? atau saya hanyalah Hindun yang menggigil kecemasan melihat si Zaid dan si Umar bakupukul?. Barangkali karena saya tuli sejarah makanya bisu (kita anggap saja begitu sementara dulu, supaya ada juga yang bisa dipacik-pacik dalam cerita geladir ini, anggap saja seperti menggenggam kerikil saat tasasak buang aia gadang di perjalanan menuju jamban yang masih jauh)
O tuhan, apakah persoalan ini akan kami pasrahkan saja kepada Engkau bulat-bulat, sementara kami saja belum utuh sebagai bulat. Kami orang-orang yang masih terlena mencari sudut.
“Apo tarbiyah tu, Sutan?” tanya mertua saya untuk kedua kalinya.
Hmmmm,,,tarbiyah,,,yo,,,aa,,,uuu,,eee,,,anu,,,mmz. Saya masih belum bisa menjawabnya. Atau saya jawab saja dengan kata si Anu, menurut si A, pendapat si B, penjelasan si C. Tapi sampai kapan saya akan terus menjelaskan bagian identitas diri saya sendiri dengan cara menumpang ke mulut orang lain. Itu sama saja halnya saya yang memakan tebu tapi menanyakan manisnya ke lidah orang lain. Adakah kedunguan yang lebih parah dari itu, wahai hewanun natiq?
Waw, cerita ini sepertinya sudah mulai mencekam. Kalau di film India bagian ini sudah memasuki adegan tokoh utama sedang memeluk ibunya yang mati di tembak oleh Tuan Takur. Kemudian tokoh utama berteriak ke atas langit, pekik kemarahan dan dendam bergema diiringi musik epik dramatis. Tapi tenang saja, cerita ini tak akan sampai segitunya, lagian ini hanyalah cerita kartun anak-anak, si Kancil, si Unyil, atau Upin-Ipin yang numpang lewat.
***
Kembali ke cerita makan kolak sarabi di depan mertua. Melihat saya bingung tak tahu mau berkata apa, mertua saya mengalihkan pembicaraan ke tema lain. Ia memilih membahas situasi korona dengan anak-anaknya. Sementara itu saya terus makan sambil melakukan percakapan imajiner dengan kitab Ajrumiah yang terapung-rapung di kolak sarabi.
Apa itu tarbiyah?
Barangkalai tarbiyah adalah isim dhamir yang sedang kepayahan, berjalan terengah-engah dari kalimat satu ke kalimat lainnya, terus berjalan mencari tempat kembali dhamir yang jauh di pangkal sebermula kalam.
Atau barangkali tarbiyah adalah isim yang mu’rab, begitu banyak ragam amil yang merobah bentuknya, dari mu’rab harkat hingga mu’rab huruf, dari perubahan yang lafzan sampai yang takdiran. Atau jangan-jangan ia sebenarnya adalah isim mabni? Dia tak berobah sama sekali, amil-amil itu saja yang merasa sudah merafa’-menasab-mengkhafad-menjazamkannya.
Tarbiyah, dengan isyarat apa kami akan menemuimu? Dengan hazihi atau dengan tilka, sebab kau begitu dekat sekaligus begitu jauh. Kadang kau menjelma sebagai undang-undang kalam yang mudah kami rapal, tapi tak jarang pula kau menjadi kaidah-kaidah isim allazi la yansharif yang rumit kami hafal.
Baca Juga: Katidiang Masalah Generasi Bungsu Tarbiyah Islamiyah
***
Sesudah termenung sambil melihat Ajrumiah imajiner mengeja tulisan tarbiyah yang terapung-apung di kolak sarabi, akhirnya saya tahu apa yang mesti saya jawab tentang pertanyaan mertua saya “apa itu tarbiyah?”. Saya baru saja akan menjawabnya tapi mertua saya malah memberi saya pertanyaan baru.
“Tu apo rencana Sutan sudah rayo ko, kan lai ado niat mancari karajo?”
Hhhhmmm,,,aaa,,,uuu,,,eee,,,anu,,,aaa,,,eee,,,mmz. Saya gigit lidah aja lagi. Saya hanya bisa menangguk-angguk balam seperti paragraf pertama, mesaulah-saulahkan perangai biar terlihat elok laku. Tapi selihai apapun saya malu-malu kucing tetap saja bau-bau anjing saya masih terendus.[]
Leave a Review