1Lagu Pop Minang
Oleh riki dhamparan putra
Ranah Minang punya sejarah maritim yang cukup panjang. Akibat faktor geografis yang dekat dengan lautan Hindia, masyarakat Minang sejak zaman kuno sudah terhubung dengan perniagaan laut internasional. Intensitas kegiatan bahari itu menjelma suatu latar sosial budaya yang dialektis. Yang mungkin penuh ‘sengketa’ (meminjam istilah Jefferey Hadler), tapi pada moment tertentu ikut mendorong tumbuhnya wawasan rantau yang dinamis pada masyarakat Minang.
Agaknya pendapat di atas tidak berlebihan. Walaupun secara politis keberadaan bandar-bandar dagang pada dasarnya merupakan perwujudan koloni asing atas pesisir barat Minangkabau, namun orang Minang sendiri terbukti mampu mengambil peran aktif dalam proses itu. Situasinya persis seperti kata pepatah biar kepala terbenam, tapi tanduk makan. Kekalahan politis Pagaruyung mempertahankan bandar-bandar dagang di pantai Barat Minangkabau itu, tidak lantas menjelma kekalahan budaya Minang secara total. Malahan kondisi itu mendorong orang Minang melakukan pengembangan diri melalui kegiatan merantau – baik dalam arti fisik maupun dalam makna yang esensial. Dengan cara demikian, identitas Keminangkabauan justru berkembang secara unik dan makin dialektik.
Arsip-arsip sejarah (walaupun mungkin bersumber dari sejarah tutur) kerajaan-kerajaan di rantau barat (Malaysia, Brunei, dan lainnya) hingga dalam sejarah tutur di rantau timur (Sulawesi, Manggarai, Bima) memperlihatkan kepada kita betapa menonjol peran pembijak Minang itu dalam pertumbuhan tatanan budaya dan politik di kawasan-kawasan itu. Beberapa nama malah masih hidup sebagai legenda yang dipercaya hingga hari ini. Misalnya Datuk Ri Bandang, Khatib Ismail dan Khatib Tunggal di Sulawesi Selatan, Raja Melewar di Negeri Sembilan Malaysia dan Datuk Ince Ismail dan Empo Maro dalam legenda orang Manggarai.
Di Minangkabau sendiri, aktivitas maritim itu telah memunculkan beberapa bandar dagang yang sangat ramai dan punya reputasi internasional. Antara lain wilayah Painan, Indopuro, Muaro Padang dan Tiku yang merupakan pusat-pusat niaga maritim yang penting di pantai barat Sumatra pada kisaran abad 17 masehi. Peran itu makin meningkat manakala pemerintah Belanda membangun Teluk Bayur menjadi pelabuhan modern pertama di Sumatra.
Lalu bagaimana pengaruhnya terhadap kesenian? Apakah kesenian turut kelimpahan berkah dari intensitas budaya rantau yang secara historis dipicu oleh dialektika bahari itu? Tampaknya sedikit sekali referensi mengenai hal ini, kecuali pada periode Islam dan periode kolonial Eropa abad 19 BCE. Masing-masing periode ini punya karakter seninya sendiri. Jika pengaruh Islam dalam kesenian banyak membawa kemajuan falsafah dan kritik budaya ke Minangkabau, maka periode kolonial abad 19 BCE, justru berbeda. Falsafah dan kritik budaya bukan segi yang menarik dalam seni periode ini. Warisan kolonial yang tergunapakai hingga hari ini dalam dinamika seni di Minangkabau adalah industri kesenian.
Sejalan dengan pemoderenan kota Padang oleh Belanda yang ditandai dengan pembangunan pelabuhan Teluk Bayur (Emmahaven), industri lagu pop pun muncul sebagai salah satu dampak dari proses pemodernan di dunia hiburan. Seni-seni kampung yang tadinya punya fungsi kritik budaya selain peramai alek, pada proses industri mengalami komodifikasi. Lirik-lirik tampaknya tidak banyak mengalami penggubahan dari bentuk tradisionalnya. Tetapi instrumen pendukungnya dan pola penyebarluasannya mengalami pembaruan akibat munculnya budaya urban dan masuknya tekhnologi musik baru.
Cukup menarik, karena industri lagu pop Minang modern yang dimulai sejak akhir abad 19 BCE, itu bisa eksis sebagai salah satu identitas budaya provinsi Sumatra Barat hingga masa kini. Sayangnya, eksistensi semacam itu tidak berdampak signifikan pada segi-segi jiwa maritim yang telah melahirkan industri lagu pop Minang itu. Khazanah maritim yang bertebaran dalam lirik-lirik lagu pop Minang umumnya justru menampilkan sisi ketidakpercayaan diri menghadapi lautan. Sehingga terkesan lagu pop Minang adalah contoh seni yang tuna sejarah alias seni yang tidak terlibat dengan realitas sejarah dan visi kemasyarakatan. Itu kalau ditinjau dari segi liriknya yang sangat menekankan ratok badan atau ratap yang mengekspresikan musibah pribadi dalam menginterpretasi dunia kelautan.
Baca Juga: Sastra dalam Konteks Masyarakat Minangkabau: Sekilas Pandang
Meratapi Laut
Ratok (ratapan) selama ini dipandang sebagai salah satu unsur dominan yang menjiwai kesenian tradisi di ranah Minang. Baik dalam seni musik, mau pun sastra lokalnya. Cirinya adalah padat dengan gubahan sesal dan ekpresi kepedihan hidup yang bersifat individu dan bertendensi duniawi. Akibatnya subjek dan benda yang muncul dalam lirik-lirik ratok pop ini pun mengalami pemiskinan imajinasi. Contoh adalah kata biduk, tiang layar dan gelombang. Walaupun dalam seni non popular (misal, syair tasawuf) kata-kata ini bisa hadir dalam imajinasi Ketuhanan yang kaya makna, namun dalam ratok badan ia menyusut menjadi sekadar projek individu untuk mensugesti pendengar ke dalam situasi pribadi si peratap.
Dimensi ratapan ini, bergenesis ke dalam seni pop pasca tradisi yang sudah mengalami industrialisasi. Baik melalui lirik, maupun aspek musikalnya. Bahkan boleh dikata, interpretasi terhadap lautan dalam lirik pop Minang modern pada dasarnya merupakan hasil eksploitasi dunia industri yang tidak interpretatif terhadap sejarah lautan itu. Hasilnya, laut di dalam seni pop Minang muncul sebagai sekadar simbol parasaian. Lebih cenderung dipandang sebagai musibah nasib ketimbang sumberdaya potensial.
Suasana kejiwaan seperti itulah yang tampak pada lirik lagu berjudul Biduak Pincalang (Biduk Pincalang) di bawah ini.
Biduak pincalang ditimpo badai
Apo katenggang si juru mudi
Sadang basayang dipaso carai
Apo ka tenggang si badan diri.
(Biduk Pincalang ditimpa badai/apa lah daya si juru mudi/ sedang erat bersayang-sayang/dipaksa cerai/ apalah daya di badan diri)
Petikan lirik ini berasal dari pantun tradisi dan direproduksi menjadi lagu yang mulai populer lewat suara Fetty pada sekitar tahun 1980-an akhir. Memang seperti pernah dinyatakan penyanyi terkenal Elly Kasim, lagu-lagu Minang yang diproduksi akhir 1970 – 1990-an, kebanyakan diangkat dari pantun tradisi. Pada satu segi, hal ini tentu sangat menguntungkan industri rekaman. Namun pada sisi lain sebenarnya hal itu idealnya memerlukan pertanggungjawaban secara budaya. Sebab siapa yang memberi hak kepada industri rekaman untuk mengkomoditi kekayaan tradisi? Tapi soal yang kita bicarakan pada tulisan ini bukanlah pada proses komoditi itu semata. Melainkan sejauhmana proses komoditi itu memberi dampak pada pengayaan imajinasi orang Minang terhadap khazanah maritim tradisional itu – yang dapat mencerminkan visi kabaharian yang terkandung dalam alam pikiran dan jiwa orang Minang. Sayang sekali, karena lirik barusan tidak memberikan jawaban yang membahagiakan kepada kita. Sebab, isinya sebangun dengan imajinasi tradisional saat pantun ini muncul. Artinya, tidak ada kreatifitas yang bekerja atas lirik itu kecuali segi musiknya.
Masih dalam konotasi yang sama, kata biduak juga muncul dalam lagu berjudul Tarapuang-apuang (Terapung-apung) ciptaan Rustam Raschani yang dipopulerkan oleh Elly Kasim: Tarapuang-apuang biduak den tumpang/ sampan nan indak ado pandayuang/ mabuak dek untuang/badan nan surang/ cinto den ciek babagi duo (Terapung-apung biduk kutumpang/sampan nan tidak ada pendayung/mabuk untung/ badan nan seorang/ cinta yang satu dibelah dua). Atau perhatikan pula lagu yang dinyanyikan Tiar Ramon berjudul Elo Pukek (Menghela Pukat): balaia kolek nan jo pincalang/ kami mananti angin turun/ adiak ka sansai nan di galombang/ uda ka sansai di dalam alun (berlayar kolek dengan pincalang/kami menanti angin turun/ engkau hai adik akan sansai karena gelombang/ uda sansai di dalam alun).
Tampak jelas dari bait lirik-lirik itu, kata biduk, pincalang, dan gelombang hanya sampiran untuk menuju suasana sansai (nestapa) sebagai lokus utamanya. Pada banyak lagu Minang lain, kata sansai juga bergema luar biasa. Padanan katanya biasa digunakan pada lagu-lagu lain adalah paik (pahit) dan malang.
Cukup paradoks, karena biduak sansai dalam lagu itu, ternyata mengingkari kenyataan karakter orang Minang yang tangguh dalam banyak bidang. Ketangguhan yang digambarkan dalam pantun Minang kuno: biduak upiah pangayuah bilah / sampai juo ka Batawi (meskipun berbiduk upih dan bilah, sampai juga ke negeri Betawi). Orang Minang juga terkenal dinamis karena mudah menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan. Itu menjadi faktor kunci keberhasilan urang awak dalam banyak sektor. Tak terkecuali sektor maritim. Di bidang kuliner saja misalnya, kuliner maritim orang Minang sangat kaya. Mungkin di tempat lain ikan teri hanya dimasak dengan cara digoreng pake tepung, tetapi di Padang ada beragam jenis masakan untuk jenis teri yang sama; palai bada, rendang bada, gulai manih bada dan banyak lagi.
Baca Juga: Mengenang Mak Sawir (1942-2020) Lewat Teknologi
Kreatifitas semacam itu hanya mungkin terlahir berkat adanya pengetahuan maritim yang detail yang dilatar belakangi oleh adanya sejarah maritim yang panjang. Tak heran kalau bahasa Minang menyerap berbagai macam kosa kata, hanya untuk menyebut jenis perahu lokal penangkap ikan. Ada yang disebut biduk, payang, bagan, biduk pincalang, kolek, pukat. Ini menandakan urang awak memang tidak asing dengan dunia lautan itu. Lantas, mengapa dunia kesenian yang merupakan dunia kreativitas, justru mempermiskin khazanah maritim itu dengan perasaan sansai yang monoton? Yang diulang-ulang dari waktu ke waktu? Pertanyaan ini mungkin ada perlunya dikemukakan demi meningkatkan kualitas lagu pop Minang yang lebih baik di masa depan. Khususnya, dalam memperkaya seni kita dengan imajinasi kemaritiman yang walaupun sempat menjadi jargon program pembangunan pemerintah, kini telah pula dilupakan. Janganlah hendaknya masyarakat itu seperti pemerintah yang tidak memiliki imajinasi.
Riki Dhamparan Putra, berkhidmat di bidang puisi. Peminat lagu Minang. Kini tinggal di Jakarta dan sekitarnya.
Leave a Review