Filosofi alam tampak kuat mempengaruhi Masjid Agung Pondok Tinggi di Kota Sungaipenuh, Kerinci, Jambi. Bukan saja bahan utamanya yang terdiri dari pohon-pohon kayu hutan, juga arsitekturnya yang bersahaja seolah menyatu dengan alam. Namun kesederhanaan tidak menghilangkan makna simbolik yang juga diembannya.
Apa yang disebut alam Kerinci bisa merujuk letak geografisnya yang dikurung berlapis-lapis bukit dan gunung. Secara riil daerah ini bersandar pada pohon-pohon di hutan, sawah, kebun, dan ladang-ladang. Tapi juga bisa dimaknai secara filosofi di mana alam menjadi sumber kebijakan dan kebajikan lokal yang diwariskan nenek moyang dalam bentuk adat-istiadat yang dijunjung tinggi. Tapi adat juga tidak menutup diri pada perubahan, sebagaimana mereka menerima Islam sebagai penyempurna kehidupan. Itulah alam Kerinci, yang kecantikannya setara dengan asal mula namanya dalam bahasa Tamil, “kurinji”, sejenis bunga lily yang banyak tumbuh di India Selatan.
Dalam latar “alam” ini pula, kita tak bisa memisahkan Sungaipenuh dengan Kerinci, atau sebaliknya. Biarpun secara administratif kedua wilayah itu sudah terpisah. Sungaipenuh yang semula merupakan ibukota Kabupaten Kerinci, sejak tahun 2008 berstatus sebagai kota otonom, dan ibukota Kabupaten Kerinci pindah ke Siulak.
Hubungan suatu daerah tak bisa hanya dilihat secara kasat mata dalam apa yang tertulis di Undang-undang Otonomi, sebab hubungan kultural jauh lebih signifikan. Maka menyebut “alam” Kerinci atau Sungaipenuh pada hakikatnya merujuk wilayah geografis dan kultural di kaki subur Gunung Kerinci, gunung tertinggi di Sumatera ini.
Baca Juga: Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat Simbol Cinta Rakyat Kepada Sultan dan Islam
Masjid “Alam”
Nah, spirit dan citraan alam terasa sangat kuat melekat pada Masjid Agung Pondok Tinggi seperti disinggung di atas. Masjid yang terletak di Jalan Depati Payung dekat pusat kota Sungaipenuh ini berdiri kokoh dalam usia lebih seabad (peringatan satu abadnya dilangsungkan tahun 1975). Unsur alam yang pertama langsung dapat dirasakan dari bahan bangunan yang hampir keseluruhannya dari kayu, baik tiang utama, tiang penyanggah, blandar dan usuk, alang, sampai pada dinding papan, pintu dan jendela. Ada 36 tiang dalam fungsi dan ukuran berbeda-beda. Pada tiang utama, bagian pohon besar hadir nyaris utuh, bulat, hanya dengan sedikit ornamen.
Dinding bangunan yang berwarna putih-krem melebar ke atas, semacam huruf “v” meski kemiringannya tak terlalu tajam. Atau seperti bangunan rangkiang (lumbung) di halaman rumah gadang Minangkabau, tapi tidak punya kaki (tiang). Ini sebenarnya merujuk bentuk dinding rumah larik panjang atau disebut endung, kecil ke bawah dan mengembang ke atas. Pola ini memunculkan kesan lapang pada ruang dalam, terlebih tiang-tiang penyanggahnya memang meminta ruang lebih lebar di bagian atas. Sebaliknya dari luar, muncul kesan unik, kuat, dan memberi ruang lapang pada teras dan lorong.
Meski beratap seng, suasana di dalam masjid tidak panas. Selain memang faktor cuaca Kerinci/Sungaipenuh yang sejuk, juga posisi atapnya tinggi dan lobang anginnya banyak. Pada awal didirikan atap masjid dari ijuk, dindingnya bambu bulat yang disusun berderet dan lantainya dari pelupuh. Tahun 1891-1925 atapnya diganti banio, berupa papan kecil tipis (sirap) seperti atap istana dan masjid tua di Borneo. Atap seng digunakan tahun 1925, dilapisi cat warna tanah liat sehingga sekilas seperti warna genteng.
Lantai masjid berkeramik biasa (bukan tegel khusus), dialasi karpet yang sudah menua. Namun tidak mengurangi ketakziman dan ketakjuban saya beserta keluarga, malah menjadi terasa akrab. Kami salat tahhiyatul masjid, dilanjutkan salat lohor berjemaah. Rasa capek dalam perjalanan panjang terasa hilang.
Ada sebuah brosur tentang sejarah Masjid Agung Pondok Tinggi yang diperbesar, diberi bingkai lebar dan ditutup kaca. Posisinya diletakkan persis di samping pintu utama sehingga siapa saja yang ingin mengetahui sejarah masjid dapat membacanya. Meski hanya berupa brosur 4 halaman, tapi tak berlebihan disebut sebagai “brosur referensial” karena informasi dasarnya lumayan lengkap.
Kesadaran membuat brosur ala koran dinding ini memancarkan rasa hormat pada heritage. Sekaligus bentuk kepedulian pengurus memfungsikan masjid tak sebatas untuk ritual formal, melainkan juga tempat digelarnya “ibadah” sosial dan kultural. Semacam fungsi edukasi yang relevan dan aktual.
Hal ini seolah menggenapkan saran Wakil Presiden pertama RI, Mohammad Hatta, tentang kemungkinan masjid ini dijadikan sebagai objek penelitian. Tahun 1953, Hatta berkunjung ke wilayah yang waktu itu masih bernama Kabupaten Pesisir Selatan-Kerinci. Hatta sempat memberi nama “Nyiur Melambai” pada destinasi Bukit Taratak dan sebuah tanjung di Danau Kerinci disebut Tanjung Hatta hingga kini. Hatta juga singgah di kampung Pondok Tinggi dan melengkapi nama Masjid Pondok Tinggi menjadi nama yang sekarang: Masjid Agung Pondok Tinggi.
Tambahan nama “Agung” tersebut memperluas cakupan dan status masjid, dari yang semula “milik” kampung Pondok Tinggi, menjadi milik dan kebanggaan orang Kerinci. Saat itu pula, Hatta menyarankan supaya bagian atas masjid tidak usah ditutupi loteng, supaya keunikan konstruksi masjid dapat diteliti oleh generasi mendatang.
Dan penempatan brosur yang diperbesar tersebut tentu termasuk memperkuat gagasan Hatta. Brosur itu sendiri disusun oleh Depati H.A. Norewan, BA yang didukung Pengurus Masjid tahun 2011-2016 dengan merujuk buku Feasibility Study Masjid Agung Pondok Tinggi oleh Sagiman M.D. yang diterbitkan Proyek Sasana Budaya Jakarta, 1978/1979.
Baca Juga: Masji Raya al-Mahsun dan Istana Maimoon Magnit Medan Sepanjang Masa
Adat dan Syarak
Upaya mendirikan Masjid Agung Pondok Tinggi memperlihatkan kerjasama yang erat antara adat dan syarak. Disebutkan, masjid ini didirikan pada hari Rabu, 1 Juni 1874 berdasarkan musyawarah mufakat seluruh pemangku nagari dan warga Pondok Tinggi. Adapun pemangku negeri dimaksud mencakup para depati, rio (ninik mamak), orang tua cerdik pandai, alim-ulama, para tuo taganai, anak jantan dan anak betino, orang semendo dan para pemuda.
Itu artinya, sebelum resmi berdiri—dengan angka yang tercatat pada almanak—tokoh adat dan agama beserta seluruh warga sudah memulai prosesnya jauh lebih awal. Sebab sebelum musyawarah besar dilaksanakan, terlebih dulu dilakukan rapat di masing-masing luhah (lurah) antara para depati dan ninik mamak. Dari rapat di setiap luhah itulah kata sepakat tercapai dari “bawah”, sehingga pertemuan besar berikutnya lebih mengakomodasi kesepakatan akar rumput.
Dengan merujuk petatah-petitih adat yang kaya makna, brosur itu mencatat:
Bulat telah digulingkan, pipih telah boleh dilayangkan, seluruhnya bertekad untuk mendirikan satu masjid yang megah dan indah. Bulat air di pembuluh, bulat kata di mufakat, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, maka dapatlah dimulai semua kegiatan (Brosur, 2011).
Bahan kayu masjid juga diambil dari hutan adat Pondok Tinggi di Pematang Limo Gunjea. Dipilih dan dipilah kayu besar bermutu baik, keras dan tahan lama seperti kayu latea dan kayu tuai. Proses penebangan dan peramuan kayu dilakukan langsung di tengah hutan adat dengan bergotong royong. Selain dikepalai para ahli pertukangan dan perkayuan, juga dihadiri ahli adat dan ulama untuk doa selamat dan berkat.
Bagaimana suasana kerja sama yang semarak dalam naungan adat dan syarak dapat dibaca lebih lanjut:
Tua, muda, pria, wanita, turut bekerja sesuai dengan kemampuan dan tugas yang telah ditentukan menurut adat dan syarak yang berlaku. Ibu-ibu memukul rebana sike dan tale asuh untuk membangkitkan semangat pria yang bekerja. Motonya, “jika gadin telah terjujur, berpantang ditarik kembali,” yang artinya jika tekad telah disematkan berpantang mundur. (ibid, 2011)
Balok-balok kayu yang dibentuk awal kemudian ditarik dengan tali rotan dan manau ke lokasi pendirian masjid di Kampung Pondok Tinggi. Konon waktu penarikan ini memakan waktu berminggu-minggu karena besar dan banyaknya bahan kayu yang ditarik manual, di samping jarak cukup jauh. Untuk menjaga semangat tak kendor dan hati senang, kerja penarikan kayu diiringi oleh semacam kerja kesenian anak negeri. Ada dentaman dan pukulan irama rebana besar serta nyanyian kaum wanita dengan pantun-pantun lokal berisi rasa syukur kepada Sang Maha Pencipta dan pujian bagi Rasulullah.
Bahan kayu yang terkumpul kemudian dibentuk berdasarkan fungsinya masing-masing, mulai dari tonggak utama, tiang penyanggah, usuk, blandar dan dinding papan. Papan ditarah menggunakan kapak besar dan beliung, diukur sesuai fungsi, dan sebagian diukir dengan ragam hias tetap mengacu pada alam seperti motif daun, bunga, akar yang membelit dan sulur-sulur yang menjalar. Ragam hias tersebut termasuk sederhana jika bukan minimalis, namun sangat kuat dan “artikulatif” menyampaikan pesan alam. Dalam tampilannya sekarang, ragam hias itu dicat warna merah, kuning tua, coklat dan hijau, sehingga cukup mencolok di tengah warna putih-kream pada dinding yang polos.
Kuatnya peran masyarakat adat dalam mewujudkan Masjid Agung Pondok Tinggi dapat pula dilihat dari para arsiteknya. Mereka ada berempat, masing-masing mewakili rio (pumpunan ninik-mamak) suatu kaum. Yakni H. Ridho, ayah M. Tiru dari Rio Mandaro, H. Sudin, kakek Mukaramah dari rio Senggaro, H. Thalib, kakek H.A. Norewan dari Rio Pati dan H. Rajo Saleh, kakek Mandor Abbas dari Rio Temenggung. (ibid, brosur).
Menariknya, peristiwa selesainya pembangunan masjid ini diabadikan dalam seloka adat Kerinci berbunyi:
Ditakeak kaminten tinggi
Babuah kaminten mudea
Senan hatai uha Paundok Tinggai
Sjoik suduah Balanden tibea
Artinya:
Ditakik kemiri tinggi
Berbuah kemiri muda
Senang hati orang Pondok Tinggi
Masjid sudah Belanda tiba.
Saya termangu-mangu membaca seloka adat itu. Menurut catatan sejarah, Belanda memasuki Kerinci tahun 1901 atau setelah dua dasawarsa lebih Masjid Pondok Tinggi berdiri. Belanda masuk melalui Manjuto dan Lempur hingga terjadi perlawanan rakyat di bawah pimpinan Depati Purbo. Lalu kenapa “senang hati orang Pondok Tinggi”? Saya rasa itu moment yang tepat. Masjid sudah berdiri, dan musuh tiba. Itu artinya masjid telah menjadi pusat konsolidasi dan tempat strategis menghadapi kolonial.
Baca Juga: Ranah Pertalian Adat dan Syarak di Minangkabau
Kaya Khazanah
Lahir dari perpaduan harmonis antara adat dan syarak, Masjid Agung Pondok Tinggi menjelma menjadi rumah ibadah umat Islam tapi kaya oleh khazanah adat tempatan. Ini dapat ditilik dari capaian arsitektur, seni dan filosofi yang diterapkan secara ajeg di setiap bagian masjid.
Kita bisa melihatnya pertama dari bagian atap yang berupa atap tumpeng bersusun tiga, makin ke atas makin runcing berbentuk limas. Ini berbeda dengan atap masjid umumnya yang berkubah. Akan tetapi jika dicermati, atap berbentuk tumpeng sebenarnya merupakan bentuk asli atap masjid Nusantara sebagaimana dapat dilihat pada Masjid Demak, sejumlah surau tua di Minangkabau atau Masjid Kayeli di Maluku. Ini merupakan jejak akulturasi bangunan peribadatan sebelumnya seperti atap pada pura di Bali atau menara Masjid Sunan Kudus.
Pada Masjid Agung Pondok Tinggi, atap yang “berpucuk satu, berempat jurai dan bertingkat tiga” itu, mengandung filosofi kepemimpinan. Berpucuk satu (bapucuak satau), merujuk satu kepala adat, Depati Payung Mas Sekaki dan satu Kepala Syarak; ke atas satu pucuk ke bawah satu urat—simbol hubungan erat.
Empat bidang sudut (barampek jurai), artinya empat luhah, empat rio dan empat imam pegawai yang bertugas berdasarkan adat dan syarak. Adapun jumlah tingkat tiga menjadi simbol dari sko nan tigo takeh, sko taganai, sko ninik mamak, sko depati, dengan pesan yang dalam: bertangga turun berjenjang naik, berpeganglah kuat kepada undang-undang adat dan syariat.
Selain atap, menara Masjid Agung Pondok Tinggi juga berbeda dengan masjid lainnya. Menaranya berada di dalam ruangan, sedangkan menara masjid lain lazim di samping atau depan, seperti menara Masjid Agung Banten. Menara di dalam ruangan ini berbentuk anjungan menyerupai mangkok besar, lengkap dengan hiasan dan ukiran, berada persis di atas alang (loteng). Anak tangga yang menghubungkan lantai dengan anjungan berjumlah 17 buah, menyesuaikan jumlah rakaat salat wajib.
Hal lain yang mungkin jadi perbedaan sekaligus keunikan masjid ini adalah keberadaan bedug atau tabuh. Bila masjid lain biasa memiliki satu bedug, masjid Agung Pondok Tinggi punya dua bedug besar. Yang pertama disebut tabuh larangan yang hanya dipukul bila keadaan darurat seperti kebakaran, gempa bumi dan banjir. Panjangnya 7,5 m, diameter kulit 1,15 m dan lobang bagian belakang 1,10 m. Dulu diletakkan di dalam masjid, tapi sekarang diletakkan berdampingan dengan bedug kedua di samping luar yang dibuatkan bangunan khusus.
Bedug kedua yang ukurannya agak kecil digunakan untuk keperluan ibadah sehari-hari. Pada bulan puasa biasanya bedug ini akan menggema di langit Kota Sungaipenuh—entah bulan puasa tahun ini ketika semua kita terhalang wabah. Panjang bedug 4,25 m, diameter kulit 75 cm, dan bagian belakang 69 cm. Kedua bedug ini dibuat dari kayu meranti yang langsung dilobangi sehingga bulatannya utuh, dan ini juga berpengaruh pada bunyi yang khas.
Konstruksi masjid juga merupakan hasil keahlian dan kejeniusan lokal, di mana masjid tidak satu pun menggunakan paku, besi atau logam. Tiang dan penyanggah disatukan dengan pola lobang-kunci, pasak, jepit dan rapit. Alang penyangga dirakit dengan tumpuan pada tiang gantung sehingga elastis terhadap guncangan. Kerinci merupakan daerah jalur gempa, seperti gempa besar yang terjadi 7 Oktober 1995 silam.
Akhirnya khazanah itu terlihat secara elegan dan akulturatif dari ragam hias dan ukiran. Selain bercorak Islam dan naturalis-tradisionalis ala alam Kerinci, catatan di brosur tanpa ragu menyebut motif-motif yang identik dengan simbol Hindu-Budha. Misalnya, motif bunga padma pada menara dan daun lotus pada tiang dan mimbar. Bahkan pada gerbang mimbar terdapat gambar “Kala Makara” yang mirip corak ukiran pada candi-candi di Jawa. Di sudut masjid ada ukiran berletter huruf “S”—ukiran khas Kerinci—yang menyerupai bejana pada peninggalan zaman perunggu. Di sisi lain, terdapat motif ukiran yang familiar di kalangan orang Minangkabau, yakni “keluk paku kacang belimbing” yang dimaknai sebagai “Anak dipangku kemenakan dibimbing”.
Masih banyak yang dapat “dibaca” dari kekayaan khazanah Masjid Agung Pondok Tinggi ini, seperti tonggak dan tiang yang hampir semuanya mengandung makna. Ada tiang panjang sembilan (tian panjang samilea) yang panjangnya 9 depa atau 15 meter, terdiri 4 tiang (tiang tuo), jaraknya 10-11 m atau seukuran Kabah. Ada pula tiang panjang lima (tiang panjang limau), sepanjang lima depa atau 8 meter, jumlahnya 8 buah, dengan makna “pucuk larangan” yang berisi sangsi bagi kejahatan. Selain itu ada tiang panjang dua dan tiang gantung yang juga bermakna simbolik.
Berada di Masjid Agung Pondok Tinggi membuat saya dan keluarga betah berlama-lama. Selain tak jauh dari Lapangan Merdeka Sungaipenuh, yang terkenal dengan menara “Monas mini”-nya itu, lingkungan sekitar masjid juga menarik karena di sekelilingnya masih banyak rumah kayu bertiang tinggi. Dari rumah jenis inilah berasal nama Kampung Pondok Tinggi. Dulu kampung hanya dihuni 90 KK, kini tentu sudah bertambah banyak, seiring bergantinya rumah kayu menjadi rumah beton.
Sebelum beranjak pergi, kami berziarah ke makam Ninik Imam Muhammad, penunggu masjid pertama. Makamnya yang sederhana terletak di samping masjid, persis di depan lobang bedug. Saya bayangkan suara bedug itu bagai doa-doa yang berdentam untuk amalan almaruhum yang dulu juga setia memukul bedug tiap waktu salat masuk. Doa yang sama bagi para leluhur yang mewariskan karya cipta yang memadukan antara adat dan syarak. Al-Fatihah.[]
Semoga bisa ziarah ke sana