scentivaid mycapturer thelightindonesia

Masjid di Tempat Wisata (Sebuah Pengalaman Berkunjung)

Masjid di Tempat Wisata (Sebuah Pengalaman Berkunjung)

Masjid-masjid menjadi salah satu tempat yang sering saya kunjungi ketika residensi menulis Komite Buku Nasional di Sarajevo, Bosnia-Herzegovina, tahun 2018 lalu. Selain sebagai tempat untuk salat, masjid-masjid tua berarsitektur Utsmaniyah di daerah itu memang dipersiapkan untuk menjadi tempat wisata sejarah. Buku-buku panduan wisata di Sarajevo menerakan nama-nama masjid bersejarah yang narasinya dapat kita baca di situs-situs kota atau perusahaan penyedia tur.

Sarajevo memang menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan berbagai negara. Dari perbincangan saya dengan salah seorang pegawai KBRI di Sarajevo, kota ini biasanya menjadi titik awal atau titik akhir bagi wisatawan dari Jazirah Arab yang akan menuju atau kembali dari Eropa. Saravo dipilih karena suasananya yang sejuk, berair bening dan bersih, dan hampir keseluruhan makanannya halal. Kota ini menjadi sekaligus menjadi destinasi wisata religi bagi sebagian orang dikarenakan banyaknya bangunan-bangunan peninggalan kekaisaran Ustamniyah dan lapis kesejarahan kotanya yang unik. Terlebih, kota ini punya sejarah kemajemukan hingga disebut sebagai “Sarajevo of Europe” atau “Jerusalem of the Balkan”. Kota di mana masjid, sinagog, gereja katolik dan gereja ortodok berdampingan dalam satu lokasi.

Selain wisata religi, saya kira orang-orang (juga termasuk saya) ingin melihat bagaimana sebuah kota dibangun kembali dari sebuah kehancuran perang. Sarajevo memperlihatkan bagaimana sulitnya sebuah kota pulih dari luka akan perang. Kita mungkin masih ingat di tahun 1992 sampai 1995 televisi dan koran memberitakan kengerian perang di Bosnia-Herzegovina. Sarajevo, kota yang serupa dasar lengkung kuali dikelilingi bukit-bukit dan didominasi oleh etnis Muslim Bosniak ini pernah mengalami masa pengepungan terlama dalam sejarah perang dunia modern. Pengepungan itu mulai terjadi tanggal 5 April 1992 oleh Pasukan Rakyat Yugoslavia yang didominasi etnik Serbia—pengepungan terjadi selama 1.414 hari. Selama berkeling di Sarajevo, saya masih melihat sisa-sia bangunan hancur pasca perang dibiarkan begitu saja atau dijadikan memorial. Lubang-lubang bekas hunjaman peluru di dinding-dinding bangunan tampak jelas bila kita menyusuri jalan-jalan utama kota.

Orang-orang melepas penat dan beristirahat di pelataran Masjid Gazi Husrev-beg

Baca Juga: Masjid Hunto Gorontalo, Masjid Tertua di Seantero Celebes

Dari Saravevo ke Mostar

Di Sarajevo, Masjid Gazi Husrev-beg menjadi tempat persinggahan utama saya hampir setiap hari, terutama bila memasuki waktu Salat Zuhur dan Ashar. Masjid ini salah satu tempat ibadah umat muslim tertua yang dibangun pada abad ke-16 dari wakaf Gazi Husrev-beg, Gubernur Sanjak Bosnia—salah satu sanjak dari Kekaisaran Ottoman yang dibentuk pada 1463 saat tanah yang telah diduduki oleh Kekaisaran Ottoman dari Kerajaan Bosnia.

Selain untuk salat, masjid ini menjadi tempat saya istirahat dan mengaso, sambil mematut-matut peta kota dan lokasi mana yang akan saya kunjungi selanjutnya di Sarajevo. Masjid ini memang lokasinya sangat strategis, terletak di Bascarsija, jantung kota Sarajevo, lokasi yang sudah pasti menjadi destinasi utama bila berkunjung ke kota ini. Dan hampir secara keseluruhan lokasi Bascarsija ini dalam kesejarahannya dibangun atas wakaf Gazi Husrev-beg. Selain masjid, ada juga maktab dan madrasah, pasar (beziztan), dan pemandian umum (hamam). Dan masjid ini menjadi pusat Komunitas Islam Bosnia dan Herzegovina.

Di dekat masjid, sekitar Bascarsija, terdapat sebentang penanda bertuliskan “Sarajevo Meeting of Culture”. Titik ini dianggap sebagai lokasi pertemuan kebudayaan Ottoman (Islam) dan Austro-Hungaria. Dua budaya yang paling dominan membentuk Sarajevo. Penanda tersebut berupa marka dengan tulisan dan di tengah-tengahnya simbol mata angin “E” (timur) dan “W” (barat). Bila memandang ke arah timur maka bangunan toko-toko klasik bergaya Austro-Hungarian dan ke arah timur maka bangunan Bezistan Gazi Husrev Bey bergaya Ottoman.

Saya selalu merasa “aman” beristirahat di masjid ini, meski hanya sekedar duduk dan tidur-tiduran di pelatarannya, Masjid Gazi Husrev-beg menjadi semacam melting point pula bagi saya untuk beristirahat sejenak untuk kemudian melangkah ke lokasi lain di Bascarsija. Tentu tidak hanya saya, barangkali, karena siapapun boleh memasuki kompleks masjid, apapun latar belakang agama dan kepercayaan, dipersilakan beristirahat di pekarangan dan pelataran masjid. Siapapun boleh memotret, menampung air minum dan membasahi muka dari sebilj (air mancur) yang berada di tengah-tengah pelataran masjid.

Untuk memasuki area utama masjid (tempat salat) seingat saya memang hanya umat muslim yang diperbolehkan dan informasi tersebut dipampang di bagian depan masjid. Untuk menghindari membludaknya wisatawan masuk ke dalam masjid pengurus hanya membuka ruang utama masjid untuk Salat Magrib dan Isya. Selebihnya, umat muslim bisa menggunakan pelataran masjid untuk salat.  Dan wisatawan yang memasuki areal masjid juga tidak dikenakan biaya tiket masuk. Di komplek ini hanya Perpustakaan Gazi Husrev-beg (dulu madrasah) yang berada persis di depan Masjid Gazi Husrev-beg dikenakan tiket masuk. Karena memang tempat ini memang dipajang arsip dan artefak sejarah kota Sarajevo.

Sebenarnya ada masjid tua lain lebih dekat dari tempat tinggal saya di Jalan Maguda (samping pekuburan Alivakovac) yaitu Masjid Hadzijska di pinggir Sungai Miljacka. Jarak Masjid Hadzijska ini hanya sekitar 300 meter dari tempat tinggal saya, sedangkan Masjid Gazi Husrev-beg lebih kurang satu kilometer. Selain itu ada juga Masjid Careva yang jika diperkirakan jaraknya sama jauh dari tempat tinggal saya ke Masjid Gazi Husrev-beg. Namun saya memilih Gazi Husrev-beg untuk menjadi tempat istirahat hampir setiap hari karena di lokasi ini saya melihat para wisatawan dan peziarah lebur. Saya ingat, suatu kali saat selesai Salat Isya saya sempat menyalami imam masjid dan mengatakan saya dari Indonesia. Di masjid itu pula untuk pertama kali saya merasa aneh karena memakai sarung untuk salat—saya merasa saya menjadi pusat perhatian dan ketika itu saya baru ingat tradisi sarung tidak ada di sana.

Pamflet pengumuman warga muslim yang meninggal di gerbang masuk Masjid Gazi Husrev-beg

Meskipun hampir semua lokasi masjid tua di Sarajevo diterakan sebagai tempat wisata tapi tak satupun masjid yang pernah saya kunjungi dipungut tiket masuk. Salah satu masjid terjauh yang saya kunjungi di sekitar Sarajevo adalah Masjid Istiqlal di daerah Otoka. Masjid hadiah dari pemerintahan Indonesia untuk Bosnia-Herzegovina ini mulai dirancang-bangun dari tahun 1995 ketika pemerintahan Presiden Soeharto mulai, terhenti karena kondisi ekonomi Indonesia,  selesai pada tahun 2001 dan diresmikan Presiden Megawati tahun 2002.

Masjid terjauh luar kota Sarajevo yang saya kunjungi adalah di Kota Mostar (kurang lebih 129 km atau 2,5 jam naik kereta dari Sarajevo), di dusun tua Pocitelj (kurang lebih 30 km atau 30 menit naik kendaraan pribadi dari Mostar), dan masjid di Srebrenica. Di Mostar saya sempat Salat Jumat dan di Masjid Koski Mehmet Pasha. Masjid ini juga merupakan lokasi wisata, letaknya di tepi sungai Neretva, dan dari puncak menaranya kita bisa melihat pemandangan Kota Mostar. Menara ini, konon, juga merupakan tempat terbaik memandang Kota Mostar dan Stari Most–jembatan bersejarah Kota Mostar. Usai salat Jumat saya sempat naik ke menara ini diajak oleh seorang wisatawan dari Turki yang berbagi perjalanan dengan saya sewaktu di Mostar (Potret 360 derajat dari atas menara masjid ada di sini https://www.facebook.com/photo/?fbid=10204716825196145). Dari catatan awal yang saya baca sebelum ke Mostar, naik ke menara ini berbayar, tapi rupanya tidak ada pungutan.

Satu masjid lain yang sempat saya kunjungi di Mostar, kebetulan saat Salat Asar, adalah Masjid Sevri Hajji Hasan tak jauh dari lokasi wisata Stari Most. Di masjid kecil yang juga merupakan masjid tua ini sepertinya bukan lokasi tujuan wisatawan. Saya hanya melihat beberapa orang tua, mungkin warga di sana, yang salat bersamaan dengan saya.

Baca Juga: Masjid Kraton Buton, Kaya Simbol dan Khazanah Budaya

Pengalaman menarik soal masjid di dalam lokasi wisata saya rasakan ketika mengunjungi Masjid Ibrahim Pasa di Dusun Pocitelj, munisipalitas Capljina. Dusun di perbukitan yang merupakan lokasi wisata dan dilindungi UNESCO ini dibangun kekaisaran Romawi sebagai benteng pertahanan (1444). Dari Romawi berpindah menjadi garnisun Hungaria dan pada akhirnya ditaklukkan Usmani pada 1471. Konon, dari ratusan keluarga yang pernah tinggal kini hanya menyisakan belasan keluarga. Mereka berpindah pasca perang 1992-1995 untuk mencari peruntungan ke belahan Eropa lain. Pocitelj dengan rumah-rumah di atas karang dan susunan atap dari gamping pernah hancur pada saat perang. Masjid dalam komplek Pocitelj ini tak luput dari kengerian perang.

4.-Selain-di-pancuran-tengah-tengah-pelataran-masjid-di-dinding-komplek-masjid-juga-tersedia-air-gratis-bagi-para-wisatawan-min
Selain di pancuran tengah-tengah pelataran masjid di dinding komplek masjid juga tersedia air gratis bagi para wisatawan

Ketika saya berkunjung rekonstruksi bangunan sudah selesai—di depan masjid dipajang foto-foto masjid sebelum perang dan ketika perang usai. Usai menapak ke atas bukit dusun Pocitelj, memandangi sungai Neretva dan kebun-kebun anggur menghampar, saya turun saat mendengar azan (Salat Asar). Saat hendak memasuki masjid saya dihentikan oleh dua orang pemuda yang menyodorkan tiket masuk untuk wisatawan seharga 3 KM (setara 24.000 rupiah). Saya katakan pada kedua pemuda itu saya (muslim) hendak salat dan mengisi botol air di pincuran masjid. Tanpa ba-bi-bu dan dengan senyuman dua pemuda itu mengizinkan saya masuk.

Selain saya memang ada wisatawan lain yang berkunjung hanya untuk sekedar melihat dan memotret masjid. Semua wisatawan dari latar belakang apapun sepertinya diizinkan untuk masuk ke dalam masjid. Sebelum masuk, saya melihat dua pemuda tukang tiket itu sepertinya meminta dengan ramah agar wisatawan  berwudhu dulu. Dengan tiket 3KM wisatawan perempuan yang tidak mengenakan hijab juga dipinjamkan semacam jubah sebagai bentuk penghormatan wisatawan memasuki masjid.