scentivaid mycapturer thelightindonesia

Masjid Raya Al-Mahsun dan Istana Maimoon Magnit Medan Sepanjang Masa

Masjid Raya Al-Mahsun dan Istana Maimoon Magnit Medan Sepanjang Masa
Masjid Raya Al-Mahsun/ Photo Dokumen Penulis

Berkunjung ke Medan, ibukota Sumatera Utara, niscaya tak bisa meluputkan dua ikon utama kota ketiga terbesar di Indonesia itu: Masjid Raya Al-Mahsun dan Istana Maimoon. Ibarat dua serangkai, tidak saja letaknya yang berdekatan, juga sejarah yang melingkupinya.

Meski terbilang destinasi mainstream, keduanya tetap jadi magnet yang menarik orang untuk datang. Itu lantaran khazanah budaya dan nilai sejarah yang dikandungnya. Sebutlah ukiran pada pintu dan jendela Masjid Raya, motif ragam hias pada kubah, dinding dan tiang-tiangnya, sampai menara dan gerbang yang kokoh indah, senantiasa menyuguhkan hal-hal baru. Begitu pula Istana Maimoon dengan arsitektur yang elegan, singgasana dan silsilah raja-raja sampai pada cerita meriam buntung, selalu menggoda untuk dinikmati.

Begitulah, saya pernah ditarik magnet bersejarah itu dalam suatu kunjungan yang tak terlupakan beberapa tahun lalu. Memasuki Bulan Ramadan tahun 2020 ini—suasana Ramadan yang mungkin akan berbeda karena wabah korona—ingatan saya kembali ke Medan sana. Saya menuju Masjid Raya Al-Mahsun dari tempat menginap di Jl. Perintis Kemerdekaan dengan naik angkot nomor 81. Jalur ini melewati sebagian Jl. Sisingamangaraja, tempat Masjid Raya berada. Dengan dada sedikit berdegup karena sopir angkot lumayan ugal-ugalan, saya jadi berhenti agak jauh dari seharusnya. Tempat yang hendak saya tuju terlewat sebab angkot kencang melaju. Namun ada hikmahnya: saya malah menemukan Monumen Sisingamangaraja XII dan Makam Taman Pahlawan Bukit Barisan. Lumayan menambah koleksi spot yang diabadikan.

Setelah berjalan kaki sekira 1.5 km, sampailah saya di Masjid Raya Al-Mahsun. Lama saya berdiri di gerbang pagarnya sebagai cara menjaga “jarak aman” untuk menikmati sebuah bangunan. Dengan cara itu, bangunan segi delapan tersebut bisa saya nikmati secara utuh. Lima kubahnya berwarna hitam (mengingatkan atap ijuk pada bangunan tradisional), dengan kubah bagian tengah paling besar, serta sepasang kubah tambahan yang menaungi tempat wuduk di samping masjid. Bangunan lain yang terpisah dari masjid adalah menara setinggi lebih 15 m dan gerbang utama yang sangat cantik.

Dinding masjid berwarna putih dan hijau toska tampak benderang di tengah cuaca Kota Medan yang terik. Pondasinya yang tinggi (melebihi tinggi orang dewasa) dicat warna hitam. Warna-warna minimalis ini, memunculkan warna putih sebagai warna yang dominan pada dinding, tapi juga sekaligus memunculkan dekorasi ragam hias yang melingkupi pintu luar dan jendela-jendelanya. Sebagian dekorasi itu juga menggunakan seni ukir pada tembok dengan motif campuran Melayu, Timur Tengah dan India. Ada pun di bagian sisi kiri dan kanan masjid terdapat kompleks makam keluarga Kesultanan Deli.

Baca Juga: Jala Sunyi Perti di Bumi Kerinci

Masjid Raya Al-Mahsun memang peninggalan Kesultanan Deli, dibangun tahun 1906 oleh Sultan Mamoen Al Rasyid Perkasa Alamsyah, selesai 19 September 1909. Uniknya, masjid ini dirancang oleh arsitek Belanda, Varn Erp, yang juga merancang Istana Maimoon. Konon, salah seorang donatur utamanya adalah Tjong Afie, konglomerat ternama Kota Medan waktu itu. Beberapa bagian luar masjid tampak seperti kurang terawat. Rumput di kompleks makam panjang tak terpangkas, sebagian menjalar ke celah keramik yang menutupi halaman masjid.

Kesan kurang terawat itu kian kentara ketika saya mencoba lebih mendekat. Beberapa kaca hias pada jendela pecah, beberapa bagian dinding mulai kusam, terutama di tempat berwuduk. Akan tetapi tidak mengurangi citra dan aura masjid secara keseluruhan. Ia tak ubahnya oase di tengah Kota Medan yang panas, padat dan sesak. Saya serasa mereguk oase itu ketika menaiki anak tangganya, menitipkan sandal pada petugas, lalu masuk ke dalam lindungan kubahnya yang besar.

Tengadah ke atas, saya mendapatkan ragam hias yang khas sepenuh kubah berwarna coklat kuning, dengan sebuah lampu gantung dipenuhi bola-bola kristal. Delapan tiang penyanggah dibiarkan polos dilapisi keramik bening, sedangkan tujuh pintu utama yang berbahan kayu tebal diberi ukiran minimalis bergaya Timur Tengah. Di atas kisi-kisi masih ada deretan jendela kecil sebagai lobang angin sekaligus bernilai dekoratif. Ada pun mimbar untuk khatib berkotbah berupa bangunan kecil berundak, lengkap dengan anak tangga dan atap, menjadi satu-satunya benda di ruang mihrab. Dasar mimbar terbuat dari pualam, sedangkan bagian atap dari tembaga, warnanya tidak mencolok: putih susu dan kuning kehijauan. Memberi kesan teduh. Padan dengan ragam hias pada mihrab.

Mimbar Masjid Masjid Raya Al-Mahsun/Photo Dokumen Penulis

Sejumlah orang tertunduk di depan mimbar, berzikir dan bersalawat. Di belakang, serombongan murid Taman Kanak-kanak serentak mengikuti guru mereka menghafal ayat-ayat pendek. Mereka berasal dari TK Hikmatul Fadillah. Menurut seorang guru, murid-muridnya memang sering diajak ke Masjid Raya, hal yang juga dilakukan sekolah lain di Medan dan sekitarnya. Suara anak-anak yang mengaji, menambah magnet dalam diri saya untuk bertahan dalam masjid, sampai waktu Zuhur tiba dan kami salat berjemaah.

***

Selesai salat berjemaah, saya menggenapkan kunjungan ke Istana Maimoon yang terletak tak lebih 200 m dari Masjid Raya Al-Mahsun. Sejumlah abang becak mencoba menawarkan jasa, namun saya memilih berjalan kaki. Tapi tunggu dulu. Melewati trotoar depan masjid yang lebar, persis di bawah menara, berjejer kios pedagang makanan. Sate, kolak durian, lontong sayur, bakpao, bakso, dan aneka minuman. Saatnya makan siang, mencicipi kuliner Medan. Saya coba kolak durian campur ketan, dilanjutkan seporsi kecil sate Padang, harganya cukup familiar dan rasanya lumayan nendang.

Bagian depan Istana Maimoon/Photo Dokumen Penulis

Dalam waktu 15 menit kemudian, saya sudah memasuki kompleks Istana Maimoon yang banyak ditumbuhi pohon palem. Bangunan utama istana diapit kiri-kanan secara simetris oleh bangunan sayap dua lantai, disanggah tiang-tiang lengkung yang sedap dipandang mata. Sayap kedua bangunan ini dipenuhi oleh puluhan kamar, rupanya memang berfungsi sebagai kamar anggota keluarga kerajaan.

Dekat sayap kiri, terdapat sebuah bangunan tambahan berukuran kecil berarsitektur rumah adat Batak. Di dalam bangunan ini terdapat sepotong meriam yang dikenal sebagai “Meriam Puntung”. Konon, ia jelmaan Mambang Khayali, adik Putri Hijau dari Kerajaan Deli Tua, yang gigih mempertahankan kerajaan dari serangan Aceh. Karena meletus tiada putus, meriam itu sendiri akhirnya meledak kepanasan, dan sisa tubuhnya sampai saat ini dihormati dengan kembang dan air putih. 

Naik ke bangunan utama, kita mendapati serambi yang luas, tempat sultan menerima tamu-tamunya. Pintu dan jendela yang lebar memberi kesan lapang pada bangunan utama, terlebih juga dinaungi tiga buah kubah besar segi empat. 

Karena arsiteknya juga Varn Erp, maka citarasa arsitektur Istana Maimoon tak berbeda dengan Masjid Al-Mahsun. Memadukan khazanah Melayu, India dan Timur Tengah. Penggagas istana pun Sultan Mamoen Al Rasyid, dan selesai dibangun 26 Agustus 1888. Dominasi warna-warna soft (putih krem, kuning muda dan hijau toska) membuat istana terasa sejuk, jauh dari kesan angkuh. Ukiran dan ragam hias tetap menjadi dekorasi permanen di dinding, tiang, pintu dan jendela. Tampilannya minimalis tapi cermat dikerjakan.

Baca Juga: Puisi-puisi Raudal Tanjung Banua II

Di ruang utama terdapat singgasana sultan berwarna serba kuning. Para pengunjung antri berfoto di situ. Beberapa pasang kursi dan meja antik juga tertata. Lemari kaca memajang koleksi istana seperti alat musik tamborin, rebana dan biola. Sebuah ruangan di sisi singgasana difungsikan sebagai artshop yang dikelola keluarga istana. Di bagian lain juga terdapat pedagang baju kaos dan pernik-pernik yang mengangkat Istana Maimoon sebagai objeknya. Di tempat lain, katakanlah Istana Siak di Riau, pedagang hanya boleh berada di luar objek utama. Setelah saya cari tahu, ternyata yang berjualan di Maimoon adalah kerabat istana sendiri.

Saya lanjut menyaksikan aksesori dan hiasan di dalam istana. Di dinding tergantung silsilah kerajaan yang unik dengan grafis bendera berbeda pada masing-masing rumpun keluarga. Tak ketinggalan foto-foto sultan yang pernah berkuasa, termasuk sultan ke XIV yang sekarang bertahta, Sultan Mahmud Arya Lamantjitji Perkasa Alam namanya. Ia lahir tahun 2005. Sultan belia ini menggantikan ayahndanya yang tewas dalam kecelakaan pesawat terbang pada sebuah jalan di Kota Medan.

Berjalan menyusuri serambi yang diapit puluhan tiang, bagai menyusuri lorong masa lalu Kesultanan Melayu Deli. Sebuah kesultanan kuat di bagian barat tanah air yang bertahan sampai masa kemerdekaan, tapi mendadak surut setelah terjadi revolusi sosial di Sumatera Timur tahun 1946. Peristiwa itu tak hanya menghilangkan fungsi dan peran istana, juga merenggut nyawa banyak sultan, tengku dan pangeran. Mereka dituduh massa sebagai “kaum feodal” yang anti Republik. Salah satu yang dibumihanguskan adalah Istana Langkat, dan menumbalkan penyair Amir Hamzah yang halus rasa itu. Beruntung Istana Maimoon, pusat Kesultanan Deli, selamat dari huru-hara karena dijaga pasukan Sekutu dan prajurit kerajaan.

Ah, semua itu telah menjadi sejarah yang tak lekang. Kini, dari serambi istana kita dapat memandang Kota Medan yang berkembang pesat. Medan tercatat sebagai kota yang memiliki jiwa kosmopolitan tinggi, dengan interaksi budaya berbagai etnis, agama dan suku bangsa. Kita patut menjaganya, tidak saja dengan kata kunci heritage, juga dengan spirit keberagamannya itu! []


Redaksi tarbiyahislamiyah.id menerima sumbangan tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email: redaksi.tarbiyahislamiyah@gmail.com

Raudal Tanjung Banua
Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Pernah menjadi koresponden Harian Semangat dan Haluan, Padang, kemudian merantau ke Denpasar, dan kini menetap di Yogyakarta. Buku puisinya Gugusan Mata Ibu dan Api Bawah Tanah. Sejumlah puisi di atas dipilih dari manuskrip buku puisinya yang sedang dalam persiapan terbit.