Masyarakat kita, masyarakat Nusantara, adalah masyarakat tumpeng! Masyarakat yang suka berbondong-bondong, berkumpul, berguyub dalam berbagai hal. Masyarakat yang berduyun-duyun pergi ke rumah tetangga ketika ada hajatan, selametan dan tahlilan. Masyarakat yang pada momen itu ibu-ibunya kompak bekerja sama, gotong royong memotong bawang dan ikan-ikan, menenun berbagai obrolan ringan sambil menunggu masakan mateng.
Kita adalah masyarakat tumpeng. Masyarakat yang bergerak bersama-sama dari bawah untuk menuju satu titik tuju yang universal, yang dicita-citakan berlambang kesejahteraan. Kita masyarakat tumpeng, masyarakat panjat pinang. Masyarakat yang saling memikul beban, memangkukan berbagai macam permasalahan di bahu kebersamaan, mengentaskannya tanpa sedikit pun menonjolkan ego kedirian personal. Kita masyarakat tumpeng. Masyarakat yang erat dan rekat karena masing-masing dari kita paham jika kita manusia, paham jika kita tak hidup sendiri saja.
Ketumpengan masyarakat kita pun pada akhirnya berwujud nasi. Makanan pokok yang bagi orang Indonesia tidak bisa diganti roti atau jenis-jenis makanan lainnya. Kosakata makan ya mengarah pada makna “makan nasi”, selebihnya hanya pelengkap, hanya lauk yang sama sekali tidak mengandung makna perut terisi. Apakah ada relevansinya ketumpengan masyarakat kita ketika ia dipersonifikasikan serta diinternalisasikan ke dalam nasi? Oh tentu ada, izinkan saya memberi kisi-kisinya, saudara.
Nasi sebagaimana saya jelaskan adalah jantung kehidupan masyarakat Nusantara. Secara umum begitu, meskipun nanti kita temukan orang-orang timur lebih sering makan sagu. Bukan alasan karena mereka tak suka nasi, tapi karena berbagai kegoblokan pemangku kebijakan negara kita di pusat, saudara-saudara kita di timur tak mendapatkan jatah beras semudah yang kita rasakan di sini. Ya bisa dikatakan andai masih ada nasi buat apa mereka makan sagu.
Saya ulangi, nasi adalah jantung kehidupan masyarakat nusantara. Dari itu mereka memperkuat dan mengisi nutrisi tubuh mereka, dari itu pula mereka memperkuat serta mengisi nutrisi kehidupan bangsa. Kata paman saya yang petani, menanam padi itu tak pernah ada ruginya. Beda dengan tanaman-tanaman lainnya, apalagi cabe, tembakau dan bawang. Mau segagal apapun pertaniannya; sekanyang apapun hama makan, sekuat apapun angin menghempas membuyarkan akarnya, padi minimal masih menghasilkan laba yang setara dengan modal awal yang dikeluarkan, baik dalam tahap pembibitan ataupun penanaman.
Nasi adalah nadi di mana kehidupan masyarakat kita berdetak dan berdenyut hingga saat ini. Nasi itu penting! Oleh karena itu dulu orang tua kita akan marah sekali ketika kita terlalu asik main dan melupakan makan nasi. Tak peduli apakah perut kita sudah penuh dengan singkong dan jenis ubi-ubian yang kita temukan di ladang, mau tidak mau kita masih harus dan tetap makan nasi. Dalam ruang sosial semacam ini nasi secara tidak langsung sudah menjadi perlambang bagi teologi agraria dan sosial masyarakat kita.
Saya tidak tahu asal muasal kata tumpeng. Tapi kalau mau dimaknai secara paksa, saya mengasumsikan tumpeng itu berarti “tumpah bareng-bareng.” Ya, masyarakat kita memang masyarakat keroyokan. Masyarakat yang tidak pernah mengenal konsep one man one show. Makanya ketika ada suatu acara mereka tumpah ruah di situ, bebas, ada yang saling membantu sebuah pekerjaan, ada yang hanya berdiri memperhatikan, ada yang hanya numpang ngopi dan melepas obrolan-obrolan. Bagi masyarakat kita hal itu sudah lumrah dan tak pernah melahirkan iri-irian.
Nasi dan tumpeng adalah dua entitas yang mengakar dalam kebudayaan kita. Ketika disatukan ia layaknya power ranger yang bergabung, menyatukan diri mereka untuk melahirkan satu robot yang lebih hebat dan lebih kuat. Robot yang bisa menghabisi alien “asing” yang berasal dari luar. Robot yang bisa menghancurkan dengan sekali pukul mahluk asing jenis apapun yang mencoba menganggu ketentraman dan merusak wilayahnya. Eng ing eng, ketika bergabung jadilah nasi tumpeng! Ia adalah ke-muhafdzah-an kita dalam mempertahankan al-qadim al-shalih.
Yang namanya nasi tumpeng ya dimakan bareng-bareng. Tumpah dalam satu nampan bambu bareng-bareng. Makan sambil beradu tatapan, memantau pergerakan tangan siapa yang lebih besar genggamannya, mendengar langsung kunyahan orang di sampingnya, sembari sesekali tangan kita beradu dengan tangan lawan di depan kita. Ah, sungguh romantis. Ya masyarakat tumpeng juga masyarakat yang romantis, yang harmonis, saudara.
Pengalaman sosio-teologis semacam ini tidak akan kita temukan dalam cara makan ala barat: prasmanan, pake piring, pake aturan tebel mener yang menuntut siapa saja harus tahu mana sendok buat nasi, mana sendok buat sup. Di kanan-kiri piring kita tersedia berbagai jenis sendok dan pisau, mulai dari yang kecil hingga yang paling besar. Tragisnya kita tak boleh pinjam sendok orang yang ada di samping kita. Sendiri-sendiri.
Makan sekali lagi adalah cerminan. Cara kita makan dipengaruhi cara kita berkehidupan. Makan yang sendiri-sendiri adalah cerminan gaya hidup individualis yang juga akan membentuk pelakunya sebagai individu-individu yang individualis. Masyarakat kita tidak seperti itu. Ketumpengan masyarakat kita tergambar dalam cara makan kita yang masif, sosial-kolektif. Ada ayam ya ayam bersama, ada tempe ya tempe bersama. Dicubit kecil-kecil biar yang lain kebagian. Cara makan yang juga akan membentuk kita sebagai individu-individu yang keroyokan. Peduli terhadap sesama. Ada masalah ya masalah bersama, dicubit kecil-kecil oleh tiap-tiap orang biar lekas hilang.
Indonesia sebagai negara dunia ketiga masih hangat-hangatnya diserang dari lini ini. Anak muda seperti saya diperkenalkan kepada budaya asing yang identik dengan kemodernan. Budaya asing yang justru meracuni pikiran kita. Indonesia masih sangat seksi dan menggairahkan. Ada gerakan-gerakan kolonialisme halus yang tidak kita sadari sedang bergerak di sekeliling kita. Nusantara kita yang hijau masihlah montok dan sangat sensual, sangat menggemaskan. Usaha-usaha mengambil alih masih terus diusahakan dan itu tidak kita rasakan. Usaha yang paling halus dan mematikan adalah usaha-usaha pencucian jiwa masyarakat nusantara dari tradisinya, dari kebudayaan yang mereka anggap lokal dan irrasional. Ya nasi tumpeng adalah senjata pamungkas kebudayaan kita. Selama masih ada nasi tumpeng yakinlah nusantara aman dari berbagai jenis alien asing yang ingin merusak bangsa tersebut. Tentu nasi tumpeng tidak hidup sendiri. Ia beriringan dengan detak kehidupan masyarakat. Kekuatan nasi tumpeng berada dalam ruang keguyuban hidup kelompok masyarakat. Keguyuban masyarakat juga tergantung sejauh mana mereka tumpengan dan main keroyokan. Semakin guyub kehidupan kita, semakin kuat pula ketumpengan, semakin harum pula nasi tumpeng kita. Begitu juga sebaliknya. Keduanya saling terjalin, saling berkaitan dan menentukan. Dan sudah saatnya kita mesti bangga dan melestarikan ruh ketumpengan tradisi kita.[]
Leave a Review