scentivaid mycapturer thelightindonesia

Masyayikh Tarekat (2): Sayyiduna Salman al-Farisi (w. 35 H./656 M.)

Masyayikh Tarekat (2) Sayyiduna Salman al-Farisi (w. 35 H.656 M.)

Sayyiduna Salman al-Farisi

Baca: Pengantar Sejarah Ringkas Masyaikh Tarekat Naqsyabandi

Baca Juga Sebelumnya: Masyayikh Tarekat (#1): Abu Bakar ash-Shiddiq (w. 13 H./634 M.)


Sayyiduna Salman al-Farisi (w. 35 H./656 M.)

Sayyiduna Salman al-Farisi adalah sahabat Nabi Muhammad yang berasal dari Persia, kemudian tinggal di Madinah, dan hidup di Madain-Irak. Pewarisan ilmu tarekat kepada beliau dari Sayyiduna Abu Bakar, dipercayai berdasarkan silsilah tarekat Naqsyabandiyah (dan Yeseviah) di seluruh dunia Islam, yang menyambungkan silsilah sanadnya, sebelum kepada Sayyiduna Abu Bakar, semuanya bersambung kepada Sayyiduna Salman al-Farisi.

Al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal menyebut nama panjangnya adalah Salman al-Khair al-Farisi Abu Abdullah Ibnul Islam, berasal dari Ashbihan, tetapi juga ada yang menyebut dari Romahurmuz. Masuk Islam ketika Nabi sampai di Madinah setelah hijrah, dan termasuk perancang perang Khandaq, dengan membuat parit-parit.

Kisah masuk Islamnya sahabat Salman al-Farisi, sangat berliku: setelah dari Persia, dia melakukan perjalanan, kemudian masuk berkali-kali ke dalam agama orang yang diikuti di perjalanan, dan setiap orang yang diikuti ketika mati memintanya untuk mengikuti orang yang ditunjukkan, sampai orang terakhir yang diikuti sebelum wafat, menunjukkan agar kalau ada Nabi dari Hijaz, segera datanglah bila memiliki dua tanda: stempel di pundak, dan tidak menerima sedekah, tetapi hanya mau memakan dari hadiah. Salman kemudian menemukan Nabi Muhammad memiliki tanda itu, setelah hijrah ke Madinah, dan menyatakan masuk Islam.

Pada zaman Nabi Muhammad, oleh Al-Hujwiri dalam Kasyful Mahjub dan Abu Nu’aim al-Ashfihani dalam Hilyatul Auliya’, disebutkan bahwa Salman al-Farisi adalah termasuk kelompok Ahlus Shuffah, bersama sahabat-sahabat yang lain, seperti Bilal bin Rabah, Abu Ubaidah bin Jarrah, Ammar bin Yasir, Abdullah bin Mas`ud, Utbah bin Mas`ud, Miqdad bin al-Aswad, Zaid bin Khathab, Hudzaifah al-Yamani, dan masih banyak lagi yang lain.

Abu Nu’aim al-Ashfihani meriwayatkan tentang sahabat Salman al-Farisi yang bersumber dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasalam, bersabda: “…Salman adalah orang terdepan dari bangsa Farsi…”; “Salman telah diberi pengetahuan”; termasuk 4 orang yang dikabarkan Nabi bahwa “Ar-Ruh Al Amin (malaikat Jibril) datang kepadaku lalu menceritakan kepadaku bahwa Allah mencintai 4 sahabatku.” Orang-orang yang hadir saat itu lalu bertanya: “Siapa mereka, ya Rasulallah?” Rasulullah menjawab: “Ali, Salman, Abu Dzar, dan Miqdad.”

Abu Nu’aim al-Ashfihani menilai sahabat Salman sebagai: “Kuat firasatnya, indah pernikahannya, selalu terkuras tenaga dan tidak pernah istirahat, senantiasa mencela diri sendiri, ahli ibadah, dan alim. Dia adalah Abu Abdullah bin Salman al-Farisi, pengibar bendera-bendera Islam. Dialah orang yang dirindukan surga. Dia tegar dalam keadaan kekurangan dan sulit, karena hatinya telah terhubung dengan Allah.”

Keunggulan ilmunya diakui pula oleh Imam Ali, yang juga dikutip Abu Nu’aim, demikian: “Dia menuntut ilmu pertama dan ilmu terakhir, tetapi apa yang dimilikinya tidak bisa dikejar”; “Siapa di antara kalian yang seperti Luqman Al-Hakim? Dia itu bagian dari kami, Ahlul Bait. Dia memperoleh ilmu yang pertama dan yang terakhir, serta membaca Al-Kitab yang pertama dan Al-Kitab yang terakhir. Dia (Salman) adalah laut yang tidak kering.”

Tradisi amaliah sahabat Salman al-Farisi sejak bersama Nabi dan 3 khalifah, dikenal sebagai seorang yang zahud, ahli ibadah, pendawam salat malam, dan berkeluarga tanpa kemewahan, menjadi seorang pemimpin pasukan dalam peperangan, seperti diriwayatkan oleh Abu Nu’aim ketika beliau menjadi pemimpin pengepungan salah satu istana Persia, pernah memimpin pasukan sejumlah 13.000/12.000 para sahabat Nabi, menjadikan penyebaran tarekat Sayyiduna Abu Bakar, sangat berjasa kepada tokoh ini.

Hadis-hadisnya diriwayatkan banyak perawi hadis, dia mengambil dari banyak sahabat lain, dan para sahabat lain juga banyak meriwayatkan dari sayyiduna Salman al-Farisi. Pada masa Khalifah Umar, sahabat Salman diangkat sebagai gubernur di Madain, tetapi dalam beberapa riwayat gajinya dari Baitul Mal disedekahkan, dan dia memenuhi kehidupannya dengan menganyam keranjang.

Abdul Wahab asy-Sya’roni dalam ath-Thabaqatul Kubra, menyebut tradisi derma sahabat Salman al-Farisi: “Harta yang didermakannya berjumlah 5 ribu dinar. Dia pernah memimpin 30 ribu kaum muslimin. Dia berpidato di hadapan kaum muslimin dengan memakai mantel yang sebagian dijadikan alas, dan sebagiannya yang lain dikenakannya sebagai baju. Pada saat dia mengeluarkan dermanya, dia mengeluarkan semua yang dimilikinya. Dia makan dari hasil jerih payahnya dan sedikit dari harta rampasan perang bila mendapatkan bagiannya.”

“Sahabat Salman juga tidak mau memakan dari pemberian orang lain. Banyak orang yang tidak mengenalnya menyuruhnya untuk mengangkat barang-barang, lantaran sangat sederhananya dalam penampilan. Dalam kondisi demikian, sahabat Salman tetap menolak (pemberian): “Tidak usah aku akan membawa barang-barang kalian sampai rumah.” Padahal saat itu dia memimpin beberapa wilayah di dunia Islam.”

Salah satu nasihatnya, disebutkan al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal begini:

“Berkata Abul Malik ar-Raqqi dari Maimun bin Mihran: “Seorang laki-laki datang kepada Salman, dan mengatakan: “Wahai Aba Abdallah, beri wasiat aku.” Sahabat Salman kemudian berkata: “Janganlah banyak berkata-kata.” Orang laki-laki itu menimpali: “Siapa yang bisa hidup bersama manusia kalau tidak berkata-kata.” Sahabat Salman berkata: “Apabila engkau berkata, berkatalah yang baik, atau (sebaiknya) diam.” Laki-laki itu berkata: “Tambahi aku (wasiatnya).” Sahabat Salman berkata: “Janganlah melampiaskan marah.” Laki-laki itu berkata: “Engkau memerintahkanku untuk tidak marah, sungguh telah ada orang yang menipuku terhadap harta yang aku miliki.” Sahabat Salman berkata: “Apabila engkau marah, maka kuasailah lisan dan tanganmu.” Laki-laki itu berkata: “Tambahi aku.” Sahabat Salman berkata: “Jangan melakukan bercampur dengan dan kepada manusia.” Laki-laki itu berkata: “Siapa yang bisa hidup bersama manusia, dengan tidak bercampur dengan mereka.” Salman berkata: “Apabila engkau melakukan talabus kepada mereka, katakan perkataan yang benar, dan tunaikan amanah.”

Abdul Wahahab asy-Syaroni dalam ath-Thabaqatul Kubra menyebutkan bahwa sahabat Salman al-Farisi wafat pada masa kekhilafahan Sayyiduna Utsman. Sumber lain menyebut wafatnya di masa Imam Ali, tetapi al-Mizzi memperkuat wafatnya pada masa Khalifah Utsman. Beliau wafat di Madain-Irak, pada tahun 33 H (ada juga yang menyebut tahun 36 dan 39 H). Al-Mizzi menyebut, ketika beliau wafat, sahabat Abdullah bin Masud dan Sa`ad, masuk dan menangis.

Tarekat Sayyiduna Abu Bakar, pada zaman sahabat Salman ini masih ada di Madinah kemudian ke Madain-Iraq, tempat sahabat Salman hidup dan wafat. Beliau meninggalkan beberapa anak dari istrinya yang bernama Buqairah, di antaranya: Muhammad dan Abdullah. Akan tetapi tarekat sahabat Abu Bakar, yang dikenal dalam silsilah sanad tarekat Naqsyabandiyah, atau yang dapat dikenal bertahan hingga sekarang, diberikan dan diteruskan kepada Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, cucu dari Khalifah pertama itu, tidak dari dan ke anak beliau. [Nur Kholik Ridwan]


Baca Selanjutnya: Masyayikh Tarekat (3): Al-Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar (W. 105 H./725 M.)

Nur Kholik Ridwan
Intelektual muda pesantren kelahiran Banyuwangi. Pengarang Buku Sejarah Lengkap Wahhabi: Perjalanan Panjang Sejarah, Doktrin, Amaliah, dan Pergulatannya.