Khawaja Abdul Khaliq al-Ghuzdawani
Sebelumnya Baca: Pengantar Sejarah Ringkas Masyaikh Tarekat Naqsyabandi
Sebelumnya baca: Masyayikh Tarekat (8) Abu Ya’qub Yusuf al-Hamdani (W. 535 H./1141 M)
Khawaja Abdul Khaliq al-Ghuzdawani (W. 575 H. (1179 M.)
Setelah Khawaja Abu Yusuf al-Hamdani, tarekat Sayyiduna Abu Bakar ash-Shiddiq diteruskan oleh guru tarekat penting yang bernama Khawaja Abdul Khaliq al-Ghuzdawani. Dalam kitab Ath-Thoriqah an-Naqsyabandiyah wa A’lamuha, disebutkan bahwa Khawaja Abdul Khaliq al Ghuzdawani lahir di daerah Ghuzdawan, yang disebut dekat dengan Bukhara, tetapi tidak disebutkan tanggal lahirnya.
Biografinya dalam uraian pendek disebutkan N. Hanif dalam Biographical Encyclopaedia of Sufis Central Asia & Middle East (BESCA, 2002: 181). Namanya disebut Khawaja bin Abdul Khaliq bin Abdul Jamil al-Ghuzdawani. Ayahnya kadang disebut secara salah dengan nama Abdul Jalil, yang hidup di Malatya (Meletene) kemudian melakukan migrasi ke Bukhara.
Dari Guzdawan, Khawaja Abdul Khaliq al-Ghuzdawani pergi ke Bukhara untuk belajar al-Qur’an dan tafsir kepada Syekh Shadrudin. Apakah Syekh Shadrudin ini Shadrudin Ibrahim Hamuya (w. 1252) dari Kubrawi atau Shadrudin Arif (w. 1286 M.) dari Suhrawardiyah, tidak dijelaskan. Tatkala sedang belajar, dan Syekh Shadrudin menjelaskan ayat al-Qur’an pada QS. Al-A’raf [7]: 55, ud`u Rabbakum tadharru `an wa khufyatan innahu la yuhibbul mu’tadin, Khawaja Abdul Khaliq al-Ghuzdawani bertanya kepada gurunya tentang hakikat zikir khafi dan cara-caranya. Menurutnya, kalau seorang hamba sedang berzikir jahar dan menggerakkan anggota badan, cara seperti akan terlihat manusia; dan apabila berzikir khafi, setan akan selalu muncul, sebagaimana dikatakan Rasulullah: “innasy Syaithan la yajri min bani Adam majrad dam fil `uruq.” Akan tetapi cerita ini tidak dilanjutkan jawaban dari Syekh Shadrudin.
Ketika menjalani ta’lim dan menekuni ilmu-ilmu syari’ah, oleh beberapa biografi yang menjelaskannya di atas, dia disebut menjalani riyadah secara kuat dan melalukan mujahadah dengan giat sampai mencapai maqam yang mulia. Pertemuan Khawaja Abdul Khaliq al-Ghuzdawani dengan Khawaja Yusuf al-Hamdani, terjadi ketika beliau datang ke Bukhara. Khawaja Abdul Khaliq al Ghuzdawani mengambil manfaat tarekat sebagai sesuatu yang berharga melalui Khawaja Yusuf al-Hamdani, dari apa yang selama ini dikaji melalui ilmu-ilmu syariat.
Khawaja Yusuf al-Hamdani kemudian menerima al-Ghuzdawani untuk masuk jalan tarekatnya, yang di kemudian hari dikenal dengan Naqsyabandiyah. N Hanif (BESCA, 2002: 181) menyebut pertemuan al- Ghuzdawani dengan Khawaja Yusuf al-Hamdani terjadi pada umur 22 tahun. Tarekat al-Ghuzdawani yang diperoleh dari Khawaja Yusuf al-Hamdani mendasarkan pada nilai-nilai ash-shidqu, al-wafa, dan mengikuti sunah Rasul al-Musthafa. Al- Ghuzdawani kemudian pergi ke negeri Syam, dan membangun zawiyah dan mendidik orang yang banyak.
Al-Ghuzdawani kemudian dikenal sebagai Khawaja yang meletakkan zikir Khatam Khawajigan ke dalam tarekatnya dan diwariskan kepada murid-muridnya sampai sekarang ini di dalam tradisi tarekat Naqsyabandiyah. Di dalam pengamalannya, d zikir Khatam Khawajigan ini menjadi zikir yang penting, selain zikir pokok tarekat. Dalam tarekat Naqsyabandiyah, penjelasan zikir ini di antaranya disebutkan oleh Syekh Amin al-Kurdi dalam Tanwirul Qulub. Selain melalui tarekat Naqsyabandiyah, Dzikir Khatam Khawajagan juga dimiliki oleh tradisi tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Di dalam kitab Syekh Haqqi Nazili yang berjudul Khozinatul Asror, juga disebutkan riwayat dan keutamaan zikir Khatam Khawajagan ini.
Selain itu, Al-Ghuzdawani juga dipercayai sebagai Khawaja yang meletakkan konsep-konsep dalam 8 asas tarekat Naqsyabandiyah, dengan menggunakan bahasa Persia. Athar Abbas Rizvi mengutip kitab Rashhat Ainu’l Hayat, menyebutkan 8 asas ini: host dar dam, nazar bar qadam, safar dar watan, khalwat dar anjuman, yad-kard, baz-gasht, nigah-dasht, dan yad dasht (Athar, hlm. 95), dan Martin van Bruinessen dalam buku Tarekat Naqsyabandiyah juga mengutipnya. Al-Ghuzdawani juga dikenal meninggalkan beberapa wasiat yang kemudian diberi syarah oleh Abul Khair Fadhlu bin Ruzbihan, yang dikenal dengan nama Khawaja Maulana al-Ashbihani.
Pada masa Khawaja Abdul Khaliq al-Ghuzdawani, tarekat Sayyiduna Abu Bakar berkembang cukup luas, karena beliau selain di Bukhara, juga disebutkan oleh beberapa biografinya, telah membangun zawiyah di Syam. Beliau wafat pada tahun 575 H. (1179 M.). Tarekat Khawaja Abdul Khaliq Al-Ghuzdawani kemudian diteruskan banyak muridnya, tetapi yang terkenal dalam silsilah Naqsyabandiyah, adalah Khawaja Arif ar-Rigwari (w. 657 H./1259 M.); dan beliau juga memiliki karya-karya, yang disebut N Hanif (BESCA, 2002: 181) dalam bahasa Persia berjudul Risala-i tarikat, Wasiyyat-nama atau Wasaya, Risala-i Sahibiyya, dan A Dhikr-i Khwadja ‘Abd al-Khalik. (Nur Khalik Ridwan)
Berlanjut…..
Leave a Review