Apakah ajaran kepertian atau ketarbiyahan mesti dalam bentuk mata pelajaran?
Oleh: Duski Samad
Dsikusi Pimpinan Wilayah PERTI Sumatera Barat
Sabtu, 07 Januari 2023 via Zoom
Apakah ajaran kepertian atau ketarbiyahan mesti dalam bentuk mata pelajaran? Jawaban terhadap pertanyaan di atas ada yang menyebut tidak diperlukan, karena mata pelajaran pokok MTI ya itulah ciri khas, identitas dan manhaj dari Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI). Pendapat lain menyebutkan pembelajaran Kepertian atau Ketarbiyahan diperlukan sebatas pengenalan sejarah lahir, perjuangan organisasi, tokoh dan dinamika organisasi.
PERTI sebagai organisasi yang dilahirkan oleh pimpinan dan ulama pengasuh MTI (Madrasah Tarbiyah Islamiyah) adalah lembaga yang jelas dan terang benderang paham keagamaannya, ahlusunah wal jamaah As’ariyah dan Maturidiyah dalam aqidah. Bermazhab Syafi’i dan Syafi’iyah dalam ibadah dan muamalah, dan bertasawuf menurut Imam Al Ghazali, serta mengamalkan tarekat mu’tabarah.
Khittah dan kekhasan ulama pendiri PERTI pada aqidah, syariah dan sufistik di atas ada hubungkaitnya dengan pergolakan paham keagamaan di Sumatera Barat di awal abad 20 lalu, sebelum berdirinya PERTI, 5 Mei 1928. Sebutan KAUM yang dilekatkan pada ulama pengasuh MTI yang kemudian menjadi tonggak tuo pendiri PERTI ciri pembedanya adalah paham ahlusunan, mazhab syafi’i dan syafi’iyah serta bertasawuf bertarekat. Identitas dan amaliyah ulama, murid dan jamaah PERTI seperti itu berbeda dengan paham gerakan keagamaan yang disebut saat itu dengan KAUM MUDO.
PEMBELAJARAN DI MTI PASCA 1975
SKB 3 Menteri tahun 1975 dapat dipandang sebagai model solusi yang di satu sisi memberikan pengakuan eksistensi madrasah, dan di sisi lain memberikan kepastian. Sejumlah diktum dari SKB 3 Menteri ini memang memperkuat posisi madrasah, yaitu: (a). Madrasah meliputi 3 tingkatan: MI setingkat dengan SD, MTs setingkat dengan SMP, dan MA setingkat dengan SMA (b). Ijazah madrasah dinilai sama dengan ijazah sekolah umum yang sederajat.(c). Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih atas.(d). Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Diterbitkannya SKB 3 Menteri tahun 1975 yang bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan madrasah, dan diterapkannya kurikulum baru pada tahun 1976 sebagai realisasi SKB 3 Menteri tersebut; SKB 3 Menteri itu memberikan nilai positif dengan menjadikan status madrasah yang sejajar dengan sekolah-sekolah umum telah membawa konsekwensi tersendiri bagi MTI. MTI banyak yang mengubah haluan menjadikan MTI sebagai Madrasah yang mengikuti SKB 3 Menteri tersebut. Ujungnya Kurikulum MTI menyesuikan dengan kurikulum Madrasah Negeri. Lahirnya undang-undang Pendidikan Nasional 2003 yang menempatkan Madrasah sekolah umum bercirikan keagamaan yang jumlah jam pembelajaran agama hanya 30 persen diikuti dengan tawaran dan intervensi lunak melalui pembiayaan dan bantuan dari Kementrian Agama akhirnya menjadikan MTI bertambah nomeklatur dengan PONDOK PESANTREN, ada yang masih kokoh hanya sekedar menambahkan dan tidak sedikit yang berubah nama dengan hazafnya kata MTI.
Dampak perubahan kebijakan Kementrian Agama terhadap Madrasah Swasta, harus diakui hari ini terbatas sekali jumlahnya MTI yang teguh, kokoh dan istiqamah mata pelajaran pokok seperti ilmu tauhid, ilmu tasawuf, ilmu fiqih, tafsir dan ilmu lain yang mengunakan kitab asli sesuai mazhab pengasuh MTI dan pendiri PERTI generasi awal. Ada perubahan mendasar pada setiap MTI sesuai “ijtihad” mereka untuk tetap ada dan dapat menyesuikan diri dengan perkembangan dan tuntutan kebutuhannya.
Pada MTI yang sudah menambah nomeklatur dengan Pondok Pesantren, kemudian memilih terdaftar, diakui dan ada yang sudah disamakan dengan MTs dan MA maka mata pelajaran pokok ketarbiyahan sudah terbatas sekali. Khususnya sumber kitab-kitab tidak terbahas mendalam. Mata pelajaran sudah bercampur dengan materi ajar kurikulum Kemenag, begitu juga waktu yang tersedia di sekolah sudah terpakai habis mengajarkan materi MTI, kemenag dan mata pelajaran umum. Beban santri tri in one (materi kitab, bahan ajar Madrasah dan mata pelajaran umum), dengan kualitas guru yang tentu tidak mungkin kompeten dalam tiga jenis mata ajar yang berbeda.
KENISCAYAAN MATA AJARAN KEPERTIAN
Tidak sulit menunjukkan bahwa perubahan dan penyesuaian MTI dalam nama dan mata pelajaran telah mengerus nilai-nilai dasar perjuangan MTI sebagai kawah candra dimuka kaum ahlussunah wal jamaah, khususnya dalam menyiapkan kader ulama yang mumpuni dalam aqidah ahlussunah, mazhab syafi’i dan syafiyah serta bertasawuf/bertarekat. Karakter, sikap keagamaan dan arah perjuangan alumni MTI muatakhirin (pasca kebijakan SKB 1975), lebih lagi mereka yang melanjutkan keperguruan tinggi dapat dikatakan tidak sama dengan mereka yang assabiqunal awwalun.
Pembelajaran kepertian pada MTI dan Pondok Pesantern sepaham menjadi keharusan. Silabus Hasil workshop 2015 lalu itu dapat dijadikan modal awal. Selanjutkan perlu dilakukan Munas Pendidikan, menyiapkan guru pengajar dan akhirnya diharapkan ada Badan Otonom yang mengurusi Pendidikan Dasar dan Menengah dilingkungan PERTI.
Kepentingan pembelajaran Kepertian juga diperlukan untuk pengurus, aktivis dan jamaah PERTI yang pendidikan dasar dan menengahnya tidak bersentuhan dengan MTI atau sejenisnya. Menjadi patut diberikan prinsip-prinsip dasar paham ahlussunah wal jamaah, mazhab Syafi’, Syafi’iyah, Tasawuf al-Ghazali dan tarekat mu’tabarah. Sejatinya paham keagamaan PERTI jelas berbeda dengan ormas yang juga menganut paham ahlussunah wal jamaah, PERTI tidaklah sama dengan organisasi kaum tarekat tertentu yang hanya mengedepan dzouq atau sipritualitas belaka. PERTI jelas berbeda sama sekali dengan mereka yang menyebut diri tidak bermazhab, begitu juga kelompok umat menyatakan sunny semata.
Keunggulan dan perbedaan paham, ibadah, amalan, sikap, prilaku dan arah perjuangan PERTI adalah materi ajar Kepertian yang wajib diberikan secara lebih mudah, terencana dan dapat membentuk kepribadian. Keniscayaan, artinya tidak dapat ditunda lagi pembelajan terstruktur di Madrasah dan Sekolah, penguatan dalam bentuk pengajian, wirid dan pembentukkan kader adalah tugas sejarah yang wajib ditunaikan. Lebih lagi ketika hiruk pikuk politik, kepentingan jangka pendek, dan intrik lainnya sudah selesai melalui kesepakatan kolektif ishlah dan kembali nama ormas ini kepada aslinya PERTI.
Adalah tugas semua pihak untuk benar-benar التركيز (fokus) kembali mengurus Madrasah, Sekolah dan al-Jami’ah serta membina kaum ahlussunah wal jamaah, pengikut mazhab Syafi; Syafiiyah dan pengamal tasawuf serta tarekat. Semoga kesadaran kolektif ruju’ ila tarbiyah (makna Pendidikan) menjadi semangat bersama untuk mewariskan Islam yang wasthatiyah untuk umat dan bangsa. amin. ds. 07012023.
Apakah ajaran kepertian atau ketarbiyahan mesti dalam bentuk mata pelajaran?
Leave a Review