Matilda dan Juala; Kisah Perlawanan Anak Terhadap Orang Tua Toxic Parents
Siapa yang tidak kenal dengan Matilda, tokoh di novel klasik karya Roald Dahl? Ia adalah seorang anak jenius namun dianggap aneh. Pada usianya yang begitu muda, ia sudah melahap buku-buku tebal. Ia juga seorang anak punya banyak akal dalam melakukan perlawanan terhadap orang dewasa yang nakal.
Anak-anak sering dianggap nakal dan durhaka karena sering usil, melawan orang dewasa, berbuat yang tidak diinginkan oleh orang dewasa dan sebagainya. Lalu bagaimana dengan orang dewasa? Ketika orang dewasa melakukan tindakan buruk pada anak-anak seperti berkata kasar dan melakukan kekerasan, para orang dewasa selalu memberikan seribu pemakluman atas tindakan mereka. Orang dewasa ini berdalih “ah, itu cuma untuk mendidik mereka. Ah, itu hukuman untuk mereka karena telah melakukan kesalahan. Ah, kami orang tua lebih tahu yang lebih baik untuk anak kami”. Dan masih banyak jenis pembelaan lain atas tindakan buruk orang tua terhadap anak.
Jika demikian halnya, anak-anak harus patuh tapi orang tuanya selalu menghardik. Mereka dituntut berperilaku baik tapi orang tuanya tidak memberi teladan. Anak-anak diminta rajin membaca tapi orang tua menonton TV dan bermain gawai sepanjang hari. Mereka melakukan sesuatu tapi orang tua tidak memfasilitasi. Anak-anak tidak boleh salah, harus sopan, tidak boleh main kotor, dan tidak boleh bertengkar. Masih banyak lagi hal-hal yang mesti dilakukan dan tidak boleh dilakukan anak-anak namun belum tentu bisa melakukan oleh orang dewasa. Mungkin saja ketika kecil, sikap orang tua jauh lebih buruk dari sikap anak-anak mereka sendiri.
Dalam Matilda, orang tuanya adalah jenis orang tua yang suka berkata kasar, egois, abai dan tidak mau tahu apa-apa tentang anaknya. Orang tuanya hanya mempedulikan diri mereka sendiri. Mereka tidak peduli anaknya sudah pulang atau belum. Mereka tidak tahu bahwaMatilda sudah bisa membaca dan menghitung di usianya, di mana anak-anak seusia belum bisa. Mereka tidak tahu bahwa Matilda suka ke pustakaan saat mereka pergi. Ayahnya, Mr. Wormwood bahkan merobek buku yang sedang dibaca Matilda karena menganggap bahwa membaca buku tidak ada gunanya. Ia bahkan memberi tahu guru di sekolah bahwa anaknya adalah anak kurang ajar ketika memasukkan Matilda ke sekolah.
Baca Juga: Mimpi Gani Anak Pulau Pergi Merantau
Di sekolahpun, penindasan terhadap Matilda juga berlanjut atas pengaduan orang tuanya. Ia harus melihat bagaimana kejam perlakuan Mrs. Truncbull. Mrs. Truncbull tidak henti-hentinya melakukan penyiksaan terhadap anak-anak. Bila ada anak yang melakukan sedikit kesalahan saja, ia tidak akan segan-segan untuk menarik rambut atau telinga anak-anak itu lalu melemparkannya ke luar pagar. Ia bahkan menyuruh anak-anak menghabiskan kue berukuran besar yang akan merusak perut anak itu.
Untuk orang tua yang seperti ini, izinkan penulis memberi panggilan “durhaka” dibelakang label orang tua. Suzan Forward mengistilahkan orang tua seperti ini dengan toxic parents. Yaitu orang tua yang suka menyakiti, tidak peduli, suka berkata kasar dan marah tanpa alasan pada anak-anak. Mereka ini dimasukkan ke dalam kelompok toxic parents karena tidak memperlakukan anak-anak sebagaimana layaknya seorang manusia utuh, ia memperlakukan anak seolah-olah anak itu tidak berharga.
Di hadapan orang tua kelompk toxic parents ini, anak-anak tidak punya kekuatan untuk melawan. Anak-anak yang hanya mempunyai pengalaman lebih sedikit dan banyak lemahnya. Akibatnya, mereka ditindas habis-habisan oleh orang dewasa yang seharusnya memberi perlindungan pada mereka.
Namun beda dengan Matilda. Ia lebih memilih menghukum toxic parents itu. Menghukum orang tua yang suka menindas, tidak menghargai anak-anak sebagai manusia utuh, mengabaikan anak-anak seharusnya diberi pelajaran. Bagi Matilda, mereka tidak berhak melakukan penindasan. Itu tidak adil. Menurutnya, orang tua demikian hanya akan menjadi racun bagi anak-anak. Mereka yang toxic parents akan meninggalkan trauma bagi anak-anak. Mereka hanya akan membuat anak-anak menjadi seperti mereka ketika dewasa nanti. Sungguh itu akan menjadi lingkaran setan yang menakutkan.
Karena itu, Matilda beraksi. Ayahnya sering menjadi sasaran keusialnya. Terkadang Ia menempelkan lem yang sangat kuat di topi ayahnya hingga kulit kepalanya hampir terkelupas. Ia juga pernah menakut-nakuti orang tuanya dengan burung beo yang sering bicara “aku akan membunuhmu.” Ia bahkan berani meminta orang tuanya untuk meninggalkannya bersama gurunya ketika orang tuanya memilih untuk pergi ke Spanyol.
Baca Juga: Hukum Anak-anak Berjamaah di Saf Orang Dewasa
Membaca Matilda ini mengingatkan saya pada kisah seorang anak di masa Umar bin Khattab yang memiliki toxic parents. Kisah ini dimuat dalam kitab Tarbiyyatul Awlad karya Abdullah Nasihul Ulwan. Ini kisah tentang Juala dan ayahnya. Jika Matilda melawan dengan cara yang ekstrem, maka Juala melawan dengan cara yang santun. Jika Matilda melawan dengan perbuatan, maka Juala melawan dengan ucapan.
Pada masa Umar bin Khattab, ada seorang ayah yang menyeret anaknya ke hadapannya. Ia mengadu pada Amirul Mukminin tentang kelakuan anaknya yang tidak menghormati dan durhaka padanya.
“Mohon nasihati dia wahai Amirul Mukminin” katanya.
Umar lalu menasihati anak itu. “Apa kau tidak takut pada Tuhanmu karena rida-Nya tergantung pada rida orang tuamu?”
Tak disangka, anak itu balik bertanya.
“Apa di samping perintah berbakti seorang anak kepada orang tuanya, ada kewajiban orang tua bertanggung jawab kepada anaknya?”
“Iya. Ada. Seorang ayah itu seharusnya menyenangkan dan mencukupi nafkah istri sekaligus ibu dari putra dan putrinya, memberi nama yang baik buat putra putrinya serta mengajari putra-putrinya al-Qur’an dan ajaran agama lainnya,” jawab Umar.
“Jika demikian, bagaimana aku bisa berbakti kepada ayahku? Demi Allah, ayahku tak sayang pada ibuku yang diperlakukan seperti hamba sahaya. Dia juga tak menamaiku dengan nama yang baik. Dia menamaiku “Juala” (jadian). Dia juga tak mengajariku mengaji satu ayat pun,” timpal Juala.
“Kalau begitu, bukan anakmu yang durhaka, tapi kamulah yang durhaka,” jawab Amirul Mukminin.
Kisah Matilda memang fiksi dan kisah Juala hanya terjadi pada masa Umar, namun toxic parents itu nyata adanya. Ada di sekitar kita atau mungkin kita sendiri. Saya tidak sedang menganjurkan anak-anak untuk melawan, sama sekali tidak. Tapi ketika anak-anak melawan, bukan berarti merekalah yang durhaka. Bisa jadi kita yang sudah menjadi toxic parents baginya. Bisa jadi banyak proses yang salah dalam pengasuhan kita. Karena itu, mari periksa diri, apakah kita termasuk toxic parents? Kalau iya, berhati-hatilah. Mungkin kita punya anak-anak seperti Matilda atau Juala, kita akan menikmati hasilnya kalau begitu.[]
Redaksi tarbiyahislamiyah.id menerima sumbangan tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email: redaksi.tarbiyahislamiyah@gmail.com
Matilda dan Juala; Kisah Perlawanan Anak Terhadap Orang Tua Toxic Parents Matilda dan Juala; Kisah Perlawanan Anak Terhadap Orang Tua Toxic Parents
Leave a Review