scentivaid mycapturer thelightindonesia

Maulid di Minangkabau (1): Barzanji dan Syaraful Anam

Maulid di Minangkabau (1) Barzanji dan Syaraful Anam

Maulid di Minangkabau

Malam tadi, bersama dengan wirid “Sifat Duo Puluah” yang jamaahnya terdiri dari beberapa surau di Taeh, dapat melaksanakan Maulid Barzanji, dengan mendatangkan majelis Barzanji MTI Canduang. Ini merupakan bentuk membangkik batang tarandam, sebab Barzanji memang sudah hampir habis di kampung.

Pada 2013 saya mulai memperkenalkan Barzanji kembali di surau, tempat saya bersuluk. Waktu itu belum mendapat respons yang memuaskan. Seiring berjalan waktu remaja dan pemuda mulai menyukai qasidah-qasidah, di samping gemar dengan zikir tarekat Saman. Malam tadi, mulai tampak, bahwa batang itu sudah hampir terbangkitkan.

Maulid, biasanya, hanya diisi dengan ceramah yang kadang tidak jelas tema dan isinya tidak tersangkut maulid. Padahal dulu Barzanji adalah amal ulama-ulama besar di kampung.

Saya belajar Barzanji kepada Bapak Datuak Majo Indo di Ghogeh, Sungai Kamuyang, pada 2013. Beliau menerima dari ayahnya, Syekh Rajiman Angku Mudo. Ayahnya merupakan murid dan khalifah dari Syekh Ibrahim Harun “Baliau Bomban” Tiaka Payakumbuh.

Baca Juga: Meneladani Sang Qudwah

Barzanji di kampung, dengan sangat sederhana. Kisah Barzanji dibacakan dengan tarannum Sikah, mendayu, dan menusuk jiwa. Memang tanpa tabuhan rebana. Sebab tarekat Naqsyabandiyah tidak lazim dengan tabuhan rebana. Pengaruh tarekat Naqsyabandiyah sangat kuat di kampung halaman, benar-benar menjadi pakaian hidup.

Malam tadi, bersama tim Buya  Ronald Andany, Barzanji terasa menghanyutkan. Tabuhan rebana, sebagai bentuk tambahan dari Barzanji yang ada, menambah hikmah.

Di Minangkabau, sependek perjalanan saya, ada dua kisah Maulid yang lazim dibaca di surau-surau. Di Darek, lazim dengan Kisah Barzanji, dengan Mahal Qiyamnya. Sedangkan di Rantau, terutama kalangan Syattariyah, biasanya membaca kisah Syaraful Anam (Mohon dita’liq, bila saya keliru).

Baca Juga: Antara Kafe dan Masjid: Si Milineal di Persimpangan

Yang ingin saya katakan: “Anaksiak, kalau merayakan dan memperingati Maulid, ya dengan Barzanji.” Sedangkan ceramah-ceramah, itu nomor dua, tidak ada-pun tidak apa-apa. Ceramah hanya tambahan saja.

Mari gerakkan tradisi, bila memang menyebut diri anaksiak.

Terima kasih ust. Habibur Rahman atas kirim video acara malam tadi.

Apria Putra
Alumni Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Pengampu Studi Naskah Pendidikan/Filologi Islam, IAIN Bukittinggi dan Pengajar pada beberapa pesantren di Lima Puluh Kota