Idulfitri tahun ini dan beberapa tahun sebelumnya, cukup unik bagi jamaah tarekat Syattariyah di Minangkabau. Pasalnya, penentuan awal Ramadan & Idulfitri (Syawal) menuai perbedaan, bahkan rentan konflik. Untuk tahun ini (1442 H) misalnya, jika pemerintah melalui Kemenag RI sepakat awal Ramadan jatuh pada Selasa, 13 April 2021, maka jamaah Syattariyah berbeda, sebagian puasa mulai tanggal 14 April, dan sebagian lagi tanggal 15 April. Begitu juga dengan Idulfitri, sebagian berhari raya pada 13 Mei, dan sebagian lagi 14 Mei. Musabab apa perbedaan dalam internal jamaah Syattariyah ini?
Sebagaimana kaum tradisional pada umumnya, jamaah Syattariyah di Minangkabau percaya bahwa penentuan awal Ramadan & Idulfitri mesti dengan rukyatul hilal (melihat bulan). Tak diragukan lagi bahwa hal tersebut adalah manifestasi ayat Q.S. Al-Baqarah: 185, dan hadis HR Bukhari: 1909, dan HR Muslim: 1081. Namun bedanya, pelaksanaannya lebih ketat daripada yang dilakukan Lajnah Falakiyyah Kemenag RI dan NU, kata rukyat/melihat di sini benar-benar dimaknai melihat dengan mata kepala tanpa bantuan alat apapun. Pemahaman seperti itu lahir dari pemahaman dalil yang diterima dari Syekh H. Ali Imran Hasan melalui Drs. H. Zakirman, Tk. Sutan bahwa makna rukyat dalam hadis tersebut memang benar-benar harus dipahami tekstual tanpa takwil dan elaborasi yang lebih jauh. Proses melihat hilal ini dalam istilah Minang disebut sebagai “maniliak”.
Adapun penentuan waktu maniliak tersebut, jamaah Syattariyah memiliki metode hisabnya sendiri yang berbeda juga dengan liyannya; setidaknya, setahu Saya ada dua metode hisab yang digunakan, yakni yang disebut dengan metode raba’iyyah dan khamisiyyah. Perbedaan internal yang disebut di atas terjadi pada pengguna metode khamisiyyah. Kedua metode ini cukup rumit untuk dijelaskan karena menyangkut ilmu falak. Singkatnya, dalam terapannya untuk kasus tahun 1442 H, metode hisab khamisiyah menunjukkan waktu maniliak jatuh pada Rabu, 13 April, sedangkan untuk Idulftiri, waktu maniliak, jatuh pada Kamis, 13 Mei. Artinya, jika pada hari tersebut mereka maniliak, dan lalu berhasil melihat bulan dengan mata kepala, otomatis hari berikutnya wajib berpuasa dan/atau berhari raya. Namun jika tidak berhasil, maka sesuai tuntunan hadis, dilakukan ikmal tsalatsiin.
Masalah mulai muncul ketika sebelum hari maniliak, ada di antara jamaah Syattariyah yang berhasil melihat bulan secara langsung. Sebagian kokoh berpedoman kepada waktu maniliak, karena merujuk metode hisab, sebagian lagi berpedoman kepada hilal yang telah tampak meskipun di luar waktu maniliak karena merujuk pada dalil rukyatul hilal. Agaknya inilah sebab pertama perbedaan internal pengguna metode khamisiyyah tadi. Adapun sebab kedua adalah terkait keputusan itsbat Qadhi/mufti/otoritas agama di lingkungan mereka atas kesaksian orang yang berhasil melihat hilal di luar waktu maniliak tersebut. Fyi, untuk konteks Minang, otoritas qadhi/mufti ada pada tokoh ulama yang ditunjuk di masing-masing nagari/desa.
Dua sebab perbedaan di atas lahir karena memang bermula dari syarat yang ditentukan dalam fikih Syafi’iyyah. Lantas, bagaimana memahaminya? Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya ilmu pengetahuan, kedua sebab itu mengerucut pada sebab kedua saja. Adapun sebab pertama terselesaikan dengan cara mendahulukan dalil qath’iy (Al-Qur’an dan hadis). Sedangkan sebab kedua masih belum terselesaikan karena pelbagai hal pelik yang terjadi di tengah-tengah jamaah Syattariyah ini. Apakah jamaah wajib berpuasa/berhari raya ketika hilal sudah tampak oleh seseorang namun qadhi/mufti belum memutuskan? Bagaimana sikap jamaah Syattariyah seharusnya?, dan manakah yang betul/salah ketika internal pengguna metode khamisiyah berbeda pendapat tentang awal Ramadan dan Syawal?
Dalam kitab I’anat al-Thalibin (juz II, hlm 215-217), dijelaskan bahwa selain ikmal tsalatsin, awal Ramadan/Syawal bisa ditetapkan dengan kesaksian seseorang yang berhasil melihat hilal, dan keputusan qadhi/mufti atas hilal. Apakah keduanya harus berbarengan, atau bisa terpisah? Lebih lanjut, dalam kitab itu juga dijelaskan bahwa kesaksian seseorang yang berhasil melihat hilal saja bisa diterima dan dijadikan landasan penentuan awal Ramadan/Syawal bagi dirinya, dan bagi orang-orang yang mempercayainya, sedangkan keputusan qadhi/mufti tidak disyaratkan (و أمّا بالنسبة لنفسه أو لمن صدقه فلا يشترط فيه ذلك) [hlm, 216].
Artinya, setiap orang yang berhasil melihat hilal awal bulan, dan orang yang percaya kepada orang berhasil melihat hilal, wajib baginya untuk berpuasa/berhari raya. Sedangkan keputusan qadhi/mufti jadi penentu ketika tidak ada orang yang memberi kesaksian telah melihat hilal, atau informasi hilal dari orang yang bersaksi tidak bisa langsung dipercaya. Bahkan keputusan qadhi/mufti juga bisa digantikan oleh kabar rukyatul hilal yang mutawatir, atau zhan yang diiringi pertanda jelas bahwa awal bulan telah datang [hlm. 217]. Alhasil, dua syarat penentuan awal bulan tadi tidak harus ada keduanya. Dengan ketentuannya masing-masing, salah satunya saja sudah dianggap cukup.
Maka, dalam kasus perbedaan awal Ramadan & Idulfitri yang terjadi di internal jamaah Syattariyah tadi, perlu diketahui bahwa kedua belah pihak yang berbeda sama-sama dapat dibenarkan. Berpuasa/berhari raya disebabkan mempercayai kesaksian orang yang berhasil melihat hilal meskipun di luar waktu maniliak dapat dibenarkan, dan berpuasa/berhari raya disebabkan menunggu itsbat qadhi/mufti juga dapat dibenarkan. Yang dirasa kurang tepat adalah ketika kita masih menunggu hilal, mantan sudah halal.
Ringan-ringan, 1 Syawal 1442 H
Leave a Review