scentivaid mycapturer thelightindonesia

Memahami Takdir Melalui Kisah Musa dan Khidhir

Memahami Takdir Melalui Kisah Musa dan Khidhir
Ilustrasi/Dok. http://www.eslam.de/

Musa dan Khidhir

Dari rukun iman yang enam, rukun keenam-lah (yaitu percaya kepada qadha dan qadar) yang paling ‘hangat’ dibicarakan dan diperdebatkan. Bahkan, sesungguhnya perdebatan dalam hal inilah yang telah melahirkan berbagai firqah dalam Islam; seperti Qadariyyah, Jabriyyah, Asya’irah dan sebagainya.

Berbagai ayat dan hadis yang berkaitan tentang qadha dan qadar dikaji dan dianalisis oleh para ulama setiap mazhab untuk menguatkan pendapat masing-masing. Yang namanya pemahaman tentu saja sangat mungkin berbeda antara satu orang dengan yang lain.

Hanya yang menarik, sebenarnya ketika al-Qur’an berbicara tentang qadha dan qadar (atau yang biasa disebut dengan taqdir), al-Qur’an tidak hanya menyampaikannya dalam bentuk penjelasan ‘standar’ yang bersifat insya`iy maupun khabari, namun juga dalam bentuk cerita.

Cerita? Ya. Dan inilah diantara keunikan al-Qur’an. Masalah ‘seberat’ apapun bisa disuguhkan dalam bentuk kisah. Makanya kisah atau cerita dalam al-Qur’an bukan untuk hiburan atau selingan sebagaimana halnya cerita-cerita manusia. Cerita dalam al-Qur’an mengandung banyak pelajaran berharga, baik dalam hal akhlak, pendidikan, bahkan dalam masalah akidah atau keyakinan.

☆☆☆

Kita tentu sering mendengar kisah Musa dan Khidhir –عليهما السلام- yang diceritakan dalam al-Qur’an pada surat al-Kahf dari ayat 65 sampai ayat 82.

Ada tiga peristiwa utama yang terjadi dalam perjalanan Nabi Musa dengan Nabi Khidhir.

Pertama, Khidhir melobangi sampan yang mereka tumpangi. Musa protes, dan berkata: “Apakah kau ingin menenggelamkan penumpang sampan ini?”

Kedua, Khidhir membunuh seorang anak kecil. Musa juga protes, “Kenapa engkau membunuh anak yang tak bersalah?”

Ketiga, Khidhir memperbaiki dinding sebuah rumah yang hampir roboh Musa memberi saran, “Kau bisa meminta upahnya…”.

Musa -عليه السلام- tidak bisa menahan diri melihat ‘aksi’ Khidhir yang secara manusiawi memang tak masuk akal.

Mereka akhirnya harus berpisah karena Musa telah melanggar komitmen awal untuk siap bersabar menyaksikan apapun ‘tingkah laku’ Khidhir. Tapi sebelum berpisah, Khidhir menjelaskan apa sebab ia melakukan berbagai aksi yang terlihat ‘konyol’ itu.

Di akhir penjelasan, Khidhir berkata:
وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي

“Semua itu aku lakukan bukan atas kemauanku….” melainkan atas kehendak Allah Yang Maha Tahu segala-galanya

Musa membantah karena ia melihat peristiwa itu dari kacamata manusia. Sementara Khidhir melakukannya dengan santai, tanpa beban, karena ia melihat semua itu dari ‘kacamata’ Allah.

Baca Juga: Polemik tentang Mengaji Sifat-20 Tahun 1340- H1921 M di Nusantara Sumbangan Dua Karya Ulama Nusantara Syekh Hasan Maksum Deli dan Syekh Janan Thaib Minangkabau

☆☆☆

Tapi yang sangat menarik adalah apa yang disaksikan oleh Musa dari aksi-aksi Khidhir itu, sesungguhnya merupakan ‘kilas-balik’ dari apa yang pernah ia alami sendiri sebelumnya. Dan inilah sisi yang –barangkali- jarang diungkap.

Peristiwa Pertama: Khidhir melubangi sampan, dan Musa mengkhawatirkan keselamatan para penumpang.

Bukankah ini merupakan kilas-balik dari apa yang dulu dialaminya ketika bayi, saat ibundanya menghanyutkannya di Sugai Nil, hanya mengandalkan sebuah peti kecil, untuk menghindarkannya dari tentara Fir’aun yang siap membunuh setiap bayi laki-laki? (Lihat QS. Thaha ayat 39).

Bukankah ketika itu ibunda Musa juga mengkhawatirkan keselamatan putranya? Apalah daya seorang bayi yang dihanyutkan ke sungai deras dalam sebuah peti? Tapi bukankah akhirnya Musa selamat?

Peristiwa Kedua: Khidhir membunuh seorang anak tanpa dosa.

Bukankah ini kilas-balik dari apa yang pernah dilakukan Musa ketika ia membunuh seorang pemuda Qibthi karena ia bertengkar dengan seorang pemuda Bani Israil (suku Musa), dan Musa kemudian berpihak kepada pemuda yang sesuku dengannya? (Lihat QS. Al-Qashash ayat 19).

Bukankah peristiwa itu yang menjadi titik awal dari pengembaraan Musa sehingga akhirnya ia diangkat menjadi Nabi? Sebagaimana anak kecil yang dibunuh Khidhir telah ‘menyelamatkan’ orang tuanya yang saleh, begitu juga pemuda yang dibunuh Musa telah menyelamatkannya dari Fir’aun dan menjadi jalan ia diutus sebagai Rasul.

Peristiwa Ketiga: Khidhir memperbaiki dinding rumah yang hampir roboh tanpa meminta upah.

Bukankah ini kilas-balik dari apa yang pernah Musa lakukan ketika ia membantu dua orang gadis yang sedang antri mengambil air untuk ternak mereka, dan ia melakukannya dengan suka-rela, tanpa meminta upah apapun? (QS. Al-Qashash ayat 23).

Sebagaimana halnya Khidhir telah memperbaiki rumah milik dua anak yatim dimana ayah mereka adalah orang yang saleh, demikian juga Musa telah membantu dua orang gadis yang ayah mereka juga seorang yang saleh.

☆☆☆

Apa yang kita lihat sebagai sesuatu yang biasa dan alami, sesungguhnya tak lepas dari bingkai takdir Sang Maha Kuasa.

Tak ada sesuatu pun yang terjadi secara kebetulan, meskipun tampak di mata kita demikian

Adalah wajar kalau kita bertindak dan merespons sesuatu menggunakan ‘pola’ Musa karena kita manusia yang lemah. Tapi yakinlah bahwa di balik semua itu ada ‘pola’ Khidhir yang berbuat atas arahan Sang Maha Segala. Barangkali ini paduan yang sangat harmonis antara ikhtiyar basyari dengan ketundukan kepada taqdir ilahi.[]

والله تعالى أعلم وأحكم

Yendri Junaidi
Alumni Perguruan Thawalib Padangpanjang dan Al Azhar University, Cairo - Egypt