Oleh: Muhammad Sholihin
KITAB TIPIS, “Pedoman Puasa”, yang ditulis oleh Syekh Sulaiman Arrasulli merupakan salah satu karya penting ulama tuo Minangkabau di abad kedua puluh. Pentingnya karya ini dapat diurai dengan membandingkan karya ini dengan kitab lain, yang membahas tema yang sama, misalnya karya Abu Hamid Al-Ghazali, Asrarul Shiyam; Ibn Taimiyah, Hakikatul Shiyam; Syekh Hasan Al-Masyath, Is’afu Ahlil Imam bin Wadza’id Syahril Ramadhan. Perbandingan tersebut meliputi konten; perspektif dan sasaran pembaca.
Karya Imam Al-Ghazali, Asrarul Shiyam, dari aspek konten menekankan beberapa isu: Pertama, “hukum dan pedoman praktis melaksanakan puasa Ramadhan”. Fiqh kentara digunakan oleh Al-Ghazali sebagai perspektif dalam mengurai hukum-hukum berhubungan dengan puasa, misalnya persoalan niat; hingga persoalan fidyah puasa. Kedua, Al-Ghazali juga memaparkan hikmah di balik ibadah puasa. Bahkan satu pembahasan secara khusus ia tulis untuk mengurai “rahasia puasa dan syarat batin ketika melakukan ibadah puasa.” Dari dua karakter pembahasan puasa dalam karya Al-Ghazali ini, maka agaknya sasaran pembaca karya Asrarul Shiyam, bukanlah mubtadi’ melainkan al-mubahits, atau pengkaji yang berusaha mengungkap makna puasa lebih dari sekedar hukum-hukum fiqh, tetapi meliputi makna-makna sufistik di balik ritual ibadah puasa.
Adapun karya Ibn Taimiyah, Hakikatul Shiyam, didominasi oleh konteks fiqh, dengan uraian yang lebih mendalam terkait ibadah puasa, bahkan juga dilengkapi dengan persoalan dan problematika yang muncul ketika seseorang melaksanakan ibadah puasa. Misalnya, persoalan berbekamnya Rasulullah saw ketika beliau tengah melaksanakan ibadah puasa. Dapat diduga karya yang ditulis oleh Ibn Taimiyyah ini dikhususkan bagi pembaca yang ingin, atau berkebutuhan untuk memahami persoalan fiqh terkait ibadah puasa. Selain itu, karya Syekh Hasan Al-Masyath, lebih komprehensif lagi dalam membahas persoalan fiqh puasa. Pembahasan terkait ibadah puasa, ia urai lebih sistematis: mulai dari “ma jaa fi wujubi ramadhan” atau tentang awal mula diwajibkannya ibadah puasa, kemudian membahas tentang polemik menentukan awal bulan Ramadhan, hingga hukum persoalan yang muncul berkaitan dengan ibadah puasa. Maka tidak heran kemudian dari pembahasan yang lebih mendalam itu, Syekh Hasan Al-Masyath agaknya berharap karyanya itu menjadi referensi bagi pengkaji ibadah puasa. Lalu bagaimana dengan karya Syekh Sulaiman Arrasulli, Pedoman Puasa, yang ditulisnya dalam bahasa Arab-Melayu?
Karya Inyiak Candung tersebut, meskipun ditulis dalam aksara Arab-Melayu, tetapi agaknya tidak dapat juga disimpulkan sebagai karya dengan taraf lokal, dan hanya ditujukan untuk masyarakat Minangkabau saja. Faktanya, aksara Arab-Melayu juga digunakan oleh ulama-ulama asal Jawa, bahkan Malaysia dalam menulis karya-karya penting tentang Islam. Misalnya, kitab Parukunan, Abdur Rasyid Banjar, juga menggunakan aksara Arab-Melayu. Artinya, aksara Arab-Melayu bukan penanda level suatu karya, melainkan mencerminkan identitas di mana karya tersebut ditulis. Terlepas dari hal ini, aspek menarik lain dari karya Inyiak Candung, Pedoman Puasa, adalah cara (metode) penulisan yang dikembangkan oleh Inyiak Candung dalam mengurai aspek penting terkait puasa. Ada empat pembahasan dalam karyanya ini. Masing-masing pembahasan memiliki perspektif yang khas. Bagian pertama, Syekh Sulaiman Arrasulli mengurai hikmah di balik syariat puasa. Pada bagian ini, ia menggunakan pendekatan persis yang umumnya ditemukan pada karya-karya Al-Ghazali dalam mengali nilai filosofis di balik syariat. Perbedaannya, Inyiak Candung, menggunakan kalimat yang bersifat kritis (tanya) untuk mendorong tumbuhnya fahm (paham) dari pembaca. Setelah itu, Inyiak Candung menggemukkan argumentasi terkait pertanyaan yang disampaikannya.
Hal lain yang tak kalah penting, Inyiak Candung membahas persoalan yang merujuk pada kata kunci “hikmah” ibadah puasa dalam beberapa isu, yakni: hikmah di balik syariah puasa; keutamaan puasa; keutamaan bulan Ramadhan; Derajat Puasa. Setelah itu, kemudian Inyiak Candung menyentuh persoalan hukum yang berkaitan dengan puasa. Hanya saja dalam mengurai persoalan hukum, Syekh Sulaiman Arrasulli, menggunakan kata kunci hukum tasyri’ seperti wajib, haram, dan makruh. Seluruh persoalan hukum yang muncul, ia klasifikasikan ke dalam hukum-hukum tasyri’ tersebut. Setelah mengurai persoalan hukum, ia menambahkan satu bagian yang dikelompokkannya ke dalam bagian yang ditulis dengan “tanbihun”. Artinya, ada hal penting yang perlu diberikan perhatian khusus pada bagian ini, dan menjadi bagian yang tidak boleh diabaikan oleh pembaca. Bagian ini dianggap penting, karena terkait dengan ibadah yang mengiringi Ramadan, misalnya puasa enam. Pada bagian ini kemudian Inyiak Candung menjelaskan secara gamblang, dan penuh dengan hujjah: ditandai dengan pengutipan dalil-dalil fiqh. Bagian-bagian akhir dari karya Syekh Sulaiman Arrasulli ini, membahas syarat dan rukun puasa. Dengan susunan penulisan karya seperti ini, kitab Pedoman Puasa, adalah karya jenius yang disusun untuk “anak siak”, dengan perspektif yang lebih kaya, mulai dari pendekatan filosofis; fiqh; dan ada pula sentuhan tasawufnya. Makna lain yang dapat dirumuskan dari karya penting ini: kitab Pedoman Puasa, agaknya di samping ditujukan pada anak siak, lebih tinggi daripada itu juga ditujukan pada ulama yang berdakwah di tengah masyarakat, agar menyampaikan persoalan puasa dengan rujukan dari karya yang ditulis oleh ulama Ahlussunah wal–Jamaah, seperti karya Inyiak Candung, Pedoman Puasa. Allahu ‘alamu bishawab.■
Selanjutnya Baca: Pengantar Redaksi untuk Kitab Pedoman Puasa Inyiak Canduang
Memaknai Kitab Pedoman Puasa Memaknai Kitab Pedoman Puasa
Leave a Review