Ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa membaca ayat atau surat di dalam salat sambil melihat mushaf adalah boleh. Dalilnya adalah hadis:
وَكَانَتْ عَائِشَةُ يَؤُمُّهَا عَبْدُهَا ذَكْوَانُ مِنَ المُصْحَفِ
“Sayyidah Aisyah ra. pernah diimami oleh budaknya bernama Dzakwan (sambil melihat) dari mushaf.”
(Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Sahih-nya secara mu’allaq, artinya para rawi antara Bukhari dengan Sayyidah Aisyah tidak tercantum. Namun hadis ini disebutkan dengan shighat jazam (kalimat aktif), bukan shighat tamridh (kalimat pasif) yang berarti bahwa hadis ini sesungguhnya maushul (bersambung). Dan memang, Imam Abu Dawud dalam kitab al-Mashahif, Imam Ibnu Abi Syaibah, Imam Syafi’i dan Imam Abdur Razzaq meriwayatkan hadis ini secara maushul dalam kitab-kitab mereka).
Namun demikian, Imam Ahmad sebagai pengasas Madzhab Hanabilah, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni, membolehkan hal ini hanya dalam salat nawafil (sunnah) saja. Adapun untuk salat fardhu, tidak.
Ulama Malikiyyah juga membolehkan hal ini untuk salat tarawih di bulan Ramadhan. Namun dalam salah satu riwayat dari Imam Malik; pengasas Madzhab Malikiyyah, seperti dinukil oleh Imam al-Marwazi dalam kitab Qiyamullail, disebutkan bahwa beliau hanya membolehkan hal ini dalam kondisi terpaksa saja. Misalnya ketika di sebuah daerah tidak ada orang yang hafal al-Qur’an untuk mengimami masyarakat dalam salat tarawih. Dalam kondisi seperti ini, boleh ditunjuk seseorang yang bagus bacaannya untuk menjadi imam dimana ia boleh membaca surat sambil melihat mushaf.
BacaJuga: Hukum Membaca al-Qur’an dari Mushaf saat Salat
Sementara itu, Imam Abu Hanifah selaku pengasas Madzhab Hanafiyyah mengatakan bahwa salat orang yang membaca ayat sambil melihat mushaf adalah batal. Alasannya karena melihat mushaf (berarti otomatis memegangnya) menimbulkan gerakan yang banyak. Di samping itu, ia seperti orang yang sedang di-talqin bacaannya oleh seorang guru, dan ini merusak salat.
Namun kedua sahabat dan murid unggulannya; Imam Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa salat tetap sah, tapi makruh.
Para ulama yang lain juga banyak yang memakruhkannya, seperti Imam Hasan al-Bashri, Mujahid, Ibrahim an-Nakha’iy, asy-Sya’biy, Sufyan ats-Tsauri dan lain-lain, sebagaimana dinukil oleh Imam al-Marwazi dalam kitab Qiyamullail. Alasan mereka memakruhkan adalah karena perbuatan ini menyerupai perbuatan orang-orang ahlul kitab yang beribadah sambil memegang kitab suci mereka.
Pendapat yang lebih ekstrem datang dari Imam Ibnu Hazm, tokoh utama dalam Mazhab Zhahiriyyah, ia mengatakan, sebagaimana dinukil oleh Imam al-‘Aini dalam kitab Umdatul Qari:
لَا تجوز الْقِرَاءَة من الْمُصحف وَلَا من غَيره لمصل إِمَامًا كَانَ أَو غَيره فَإِن تعمد ذَلِك بطلت صلَاته
“Tidak boleh membaca ayat dari mushaf atau dari selain mushaf, baik untuk orang yang salat sendirian maupun sebagai imam. Jika ia sengaja melakukan hal itu maka salatnya batal.”
Imam al-‘Aini juga menisbahkan pendapat ini kepada Imam Sa’id bin Musayyib, al-Hasan, asy-Sya’bi, Abu Abdirrahman as-Sulami dan Abu Hanifah.
Baca Juga: Meski Pendek, Surat Al-Ikhlas Jangan Diremehkan
Kesimpulannya: Pertama, membaca ayat atau surat di dalam salat sambil melihat mushaf sebaiknya tidak dilakukan untuk menghindari perbedaan pendapat para ulama, sebagaimana kaidah:
الْخُرُوْجُ مِنَ الْخِلاَفِ مُسْتَحَبُّ
“Menghindari khilaf itu sesuatu yang dianjurkan.”
Maksud dari kaidah ini adalah ketika sebuah perbuatan diperselisihkan oleh para ulama kebolehannya, antara yang mengatakan boleh dan tidak boleh, maka sebaiknya perbuatan tersebut ditinggalkan. Karena kalau dilakukan juga, kita akan terkena (dinilai melakukan sesuatu yang terlarang) menurut ulama yang mengatakan tidak boleh. Maka, agar aman dan selamat sebaiknya perbuatan itu tidak dilakukan.
Kedua, bagi kita yang tidak punya hafalan al-Qur’an sama sekali, atau punya hafalan namun hanya beberapa surat saja, sementara sebagai kepala rumah tangga dituntut untuk menjadi imam dalam tarawih, maka silahkan membaca ayat sambil melihat mushaf, berpegang kepada pendapat ulama yang membolehkan, dengan beberapa catatan:
– Usahakan menggunakan mushaf yang besar (yang biasa disebut mushaf tahajjud) dan letakkan pada alat penyangga khusus yang dirancang untuk itu. Ini untuk menghindari gerakan yang banyak yang berpotensi menghilangkan kekhusyukan dan juga untuk menghindari khilaf Imam Abu Hanifah.
– Kalau akan menggunakan mushaf ukuran saku, maka mushaf sudah diletakkan di saku sejak takbir (bukan diletakkan di atas meja, lalu ketika akan membaca surat baru diambil).
– Jika mushaf yang digunakan relatif besar sehingga tidak muat di dalam saku, sebaiknya sediakan meja kecil di dekat tempat berdiri, sehingga ketika akan rukuk dan sujud mushaf bisa diletakkan di atas meja.
Ketiga, bagi yang memiliki hafalan al-Quran, meskipun sedikit, lebih baik membaca yang dihafal saja, meskipun akan diulang-ulang berkali-kali. Ini jauh lebih baik daripada membaca dari mushaf, apalagi sambil memegangnya.
Sebagian ulama salafusshalih ada yang mengulang-ulang satu ayat saja dalam qiyamullail-nya sampai selesai. Memang hal itu dilakukannya bukan karena ia tidak hafal ayat yang lain, melainkan karena ia ingin mentadabburi ayat tersebut atau sangat tersentuh dengan maknanya.
Terlepas dari itu semua, yang semestinya menjadi fokus utama dalam salat adalah kekhusyukan dan tadabbur ayat. Lebih baik ayat yang dibaca itu pendek dan diulang-ulang namun ditadabburi dan mendatangkan kekhusyukan, daripada panjang tapi kosong dari tadabbur dan rasa khusyuk.[]
Wallahu A’lam.
Leave a Review