Muhammad Arif Syekh Sulaiman Arrasuli
Karya Syekh Sulaiman Arrasuli yang berjudul Kisah Muhammad Arif (1938) merupakan sebuah hasil kerja intelektual yang berisi rekaman beragam peristiwa masa lalu dan merefleksikan dinamika kehidupan sosial dan keagamaan di Minangkabau pada awal abad ke-20. Sebagai hasil kerja intelektual, karya ini memuat kajian yang menarik tentang akulturasi Islam dan adat Minangkabau. Uraian-uraian di dalamnya dikemas dalam bentuk cerita layaknya sebuah roman yang masing-masing alur penceritaannya dipisah oleh sub-sub judul tertentu.
Metode semacam ini membuat Kisah Muhammad Arif menjadi unik di tengah karya-karya Syekh Sulaiman Arrasuli yang lain. Kitab Samarat al-Ihsan fi Wiladat Sayidid al-Insan (1923), misalnya, meskipun ditulis dengan menggunakan bahasa puisi dan memiliki karakteristik tersendiri, tetapi untuk memahami pesan-pesan yang digulirkan di dalamnya membutuhkan metode tertentu dan menghabiskan waktu yang cukup lama. Berbeda dengan Kisah Muhammad Arif, karya yang ditulis dalam bentuk cerita roman ini jauh lebih mudah dan menarik untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Tema-tema yang digulirkan di dalamnya mungkin lebih cepat dan mudah diserap oleh masyarakat pembaca seiring dengan semangat zaman Minangkabau awal abad ke-20. Alur penceritaan (skematik) dalam Kisah Muhammad Arif terdiri dari pendahuluan, isi dan penutup.
Pendahuluan digunakan oleh penulis sebagai medium untuk menampilkan tujuan penulisan yang menjadi tema makro dalam Kisah Muhammad Arif. Pengembangan tema tersebut sudah dimulai dari bagian pendahuluan yang kemudian dilanjutkan pada bagian isi. Melalui penghampiran historiografi dapat diungkapkan bahwa bagian isi memiliki tiga sub-judul yang memiliki jalan cerita yang berbeda-beda untuk mengembangkan tema utama. Bagian penutup digunakan oleh penulis untuk menjelaskan pembagian manusia yang meliputi penghulu, orang kaya (saudagar), ulama, pemuda, pemudi dan orang tua.
Kisah Muhammad Arif ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu Minangkabau. Pilihan terhadap bahasa Minangkabau merupakan sebuah kenyataan yang rasional mengingat bahasa tersebut dipergunakan oleh masyarakat di daerah ini sebagai pengantar komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai konsep bahasa yang berelasi dengan pemikiran dan pesan yang disampaikan oleh penulis dengan mudah dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat Minangkabau. Bahasa Melayu Minangkabau dirangkai menjadi bahasa cerita dengan menggunakan aksara Arab yang mengalami sedikit modifikasi.
Dalam karya ini, beberapa istilah bahasa Arab dan Belanda juga sering dijumpai untuk memperkaya bahasa cerita sehingga lebih menarik dibaca oleh masyarakat ketika itu. Terkait sumber-sumber data memang tidak disebut secara eksplisit oleh Syekh Sulaiman Arrasuli dalam karyanya itu. Cara semacam ini mungkin disebabkan karena pola penulisan dengan menyebutkan sumber-sumber rujukan belum berkembang di Minangkabau pada permulaan abad ke-20. Tetapi, pada sisi lain, beberapa kutipan hadits nabi dan norma adat Minangkabau sering dijumpai di tengah alur cerita dalam roman tersebut.
Tema yang ditampilkan dalam roman Kisah Muhammad Arif sangat dipengaruhi oleh sosok atau latar bekalang penulis. Kecerdasan, keilmuan, keyakinan dan profesi yang diperankan oleh penulis semasa hidup terefleksi dalam tema dan alur cerita dalam karyanya tersebut. Alur cerita yang berhubungan dengan kecerdasan Muhammad Arif dan keinginannya untuk mendalami agama, misalnya, merupakan bagian dari refleksi kehidupan penulis sendiri. Begitu pula dengan pengembangan tema yang dikemas dalam cerita yang memadukan nilai-nilai Islam dan adat Minangkabau merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari usaha yang dilakukan oleh Syekh Sulaiman Arrasuli. Ideologi ahlussunah yang diusungnya semasa hidup juga sangat mewarnai bangunan cerita dalam Kisah Muhammad Arif.
Justru itu, karya yang diterbitkan pada tahun 1938 ini dikonstruksi berdasarkan pengalaman, kelimuan dan usaha yang dilakukan oleh penulis semasa hidup. Selain itu, jiwa zaman yang terkait dengan modernisasi Islam yang dipelopori oleh ulama kaum muda dan dampaknya terhadap kehidupan berbagai kelompok sosial lain di daerah ini juga ikut menstimulasi Kisah Muhammad Arif ditulis oleh Syekh Sulaiman Arrasuli.
Syekh Sulaiman Arrasuli dan Modernisasi Islam
Syekh Sulaiman Arrasuli merupakan sosok ulama intelektual yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang religius dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat Minangkabau. Ulama pemimpin kaum tua ini lahir dari dari pasangan Angku Mudo Muhammad Rasul dan Siti Buli’ah pada tanggal 10 Desember 1871 M (1297 H) di desa Surungan Pakan Kamih Candung Kecamatan IV Angkat Candung, Kabupaten Agam, yaitu daerah yang terletak sekitar 10 km sebelah Timur Kota Bukittinggi (Yulizar Yunus, 2008).
Sang Ayah, Angku Mudo Muhammad Rasul, ialah seorang ulama Minangkabau yang mengajar di Surau Tangah di daerah Candung, Kabupaten Agam. Kemudian Siti Buli’ah merupakan seorang perempuan yang dikenal taat melaksanakan ajaran agama dan menjunjung tinggi adat istiadat (Edward, 1981). Corak keluarga semacam ini sangat mempengaruhi cara berpikir, keilmuan dan aktivitas Syekh Sulaiman Arrasuli semasa hidup. Berbagai karya yang ditulisnya bagaikan pantulan cahaya dari kehidupan keluarga yang agamis dan hormat terhadap norma-norma adat Minangkabau. Kisah Muhammad Arif yang ditulisnya pada tahuan 1930-an merupakan karya yang merefleksikan corak kehidupan penulis dan kecendrungannya untuk menyatukan nilai-nilai Islam dan adat Minangkabau.
Sejak kecil, Syekh Sulaiman Arrasuli merupakan sosok anak yang memiliki akhlak mulia dan berbudi luhur. Dalam dirinya sudah tertanam kecerdasan spiritual dan sosial, serta jiwa kepemimpinan yang menjadi dasar bagi beliau di kemudian hari muncul sebagai seorang ulama yang kharismatik dan disegani di tengah-tengah masyarakat. Syekh Sulaiman Arrasuli kecil sama dengan anak-anak lainnya yang senang bermain. Hanya saja beliau tidak menyukai permainan yang mendatangkan permusuhan dan pertengkaran, seperti permainan mengadu ayam, pertandingan layang-layang, sepak bola dan lain sebagainya.
Pendidikan agama pertama kali diperoleh oleh Syekh Sulaiman Arrasuli dari ayahnya, Angku Mudo Muhammad Rasul. Sewaktu berumur 10 tahun, Syekh Sulaiman Arrasuli diserahkan oleh ayahnya untuk mempelajari al-Qur’an, terutama dalam bidang tajwid dan irama kepada Maulana Syekh Abdurrahman al-Khalidi di Batu Hampar (Yusran Ilyas, 1995). Di samping mempelajari al-Qur’an di Batu Hampar, beliau juga belajar membaca dan menulis huruf latin serta berhitung dengan Angku Intan Nagari anak dari Tuanku Hupad Laras Candung. Di tempat ini, ia belajar bukan hanya dengan anak-anak yang sama-sama sebaya dengannya, melainkan juga dengan orang-orang pandai yang usianya lebih tua dari umur Syekh Sulaiman Arrasuli.
Syekh Sulaiman Arrasuli kecil merupakan sosok anak yang cerdas, rajin dan patuh kepada guru. Selama satu tahun belajar di Batu Hampar, ia bisa menamatkan (khatam) al-Qur’an. Setelah itu, Syekh Sulaiman Arrasuli menambah pengetahuan agama kepada Syekh Abdul Samad Tuanku Samiak Biaro Empat Angkat Candung, Agam, untuk mendalami ilmu nahu dan syaraf. Setelah dua tahun belajar, proses pengajaran sempat terhenti buat sementara, karena Syekh Abdul Samad pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah pada tahun 1310 H/ 1883 M (Syekh Sulaiman Arrasuli, 2003). Kesempatan tersebut dimanfaat oleh Syekh Sulaiman Arrasuli untuk belajar agama kepada Syekh Muhammad Ali Tuanku Sungayang, Tanah Datar , yang memiliki keahlian dalam bidang fiqh, terutama ilmu fara’id. Pada tahun 1311 H/1884 M, Syekh Muhammad Ali meninggal dunia dan Syekh Sulaiman Arrasuli pulang ke kampung halamanya di daerah Candung, Kabupaten Agam (Yusran Ilyas, 1995).
Baca Juga: Syekh Sulaiman Arrasuli Tokoh Pendidikan Islam Bercorak Kultural
Dalam kurun waktu yang tidak lama menetap di Candung, Syekh Sulaiman Arrasuli belajar kepada Syekh Abdul Salam Banu Hampu Sungai Puar, Kabupaten Agam dan Muhammad Salim al-Khalidi di Sungai Dareh Situjuh, Kabupaten 50 Kota. Kemudian, Syekh Sulaiman Arrasuli belajar dengan gurunya yang bernama Syekh Abdul Samad Tuanku Sami’ah Biaro sekembalinya beliau dari menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekkah. Atas saran Syekh Abdul Salam, beliau mendalami pengetahuan agama kepada Syekh Abdullah Halaban tahun 1315 H/1888 M, Kabupaten 50 Kota, yaitu seorang ulama yang terkenal memiliki keahlian dalam bidang bahasa Arab, fiqh, tafsir, tasawuf dan lain-lain.
Di tempat ini, Syekh Sulaiman Arrasuli menghabis waktu selama tujuh tahun hingga akhir dipercaya sebagai wakil Syekh Abdullah untuk mengajar murid-muridnya yang datang dari berbagai daerah (Yusran Ilyas, 1995). Setelah tujuh tahun belajar dan mengabdi di Halaban, tepatnya tahun 1321 H/1902 M, Syekh Sulaiman Arrasuli pulang kembali ke kampung halamannya, Candung, untuk mengajar murid-murid yang datang dari berbagai daerah. Setelah satu tahun mengajar, ia menunaikan ibadah haji dan menetap di Mekah selama empat tahun untuk mendalami pengetahuan agama kepada Syekh Muhammad Khatib al-Minangkabauwi (seorang ulama Minangkabau yang telah diangkat menjadi mufti mazhab Syafi’i), Syekh Muhammad Syata, Syekh Said Umar Bajned, dan Syekh Said Baibas al-Yamani pada tahun 1322-1326 H/1903-1907 M (Saharman, 2007).
Menurut beberapa sumber, sewaktu belajar di Mekah beliau seangkatan dengan Syekh Abbas Ladang Lawas, Bukittinggi, Jamil Jaho, Padang Panjang, Hasyim Asy’ari, Jombang, Hasan Maksum, Sumatera Utara, Muhammad Yusuf, Kelantan dan Usman, Serawak. Atas permintaan ibundanya, Syekh Sulaiman Arraasuli pulang ke tanah air dan kembali mengajar di surau Surungan, Candung, yang sudah didirikan sebelumnya. Sistem pendidikan yang dikembangkan di surau Surungan tidak jauh berbeda dengan pengalaman belajar yang diterima oleh Syekh Sulaiman Arrasuli selama ini, yaitu sistem halaqah. Syekh Sulaiman Arrasuli juga aktif menyampaikan dakwah Islam ke berbagai daerah di Minangkabau.
Pekerjaan lain yang beliau jalani adalah sebagai qadhi di wilayah Candung pada tahun 1915 menggantikan pejabat sebelumnya yang tidak memiliki otoritas pengetahuan keagamaan karena diangkat hanya menurut pertimbangan dan tradisi adat Minangkabau (Yusran Ilyas, 1995). Syekh Sulaiman Arrasuli juga sibuk dalam organisasi sosial keagamaan dan politik semasa hidupnya. Pada tahun 1918, ia diangkat menjadi Presiden Serikat Islam (SI) Candung-Baso, Kabupaten Agam. Organisasi yang berdiri di pulau Jawa pada tahun 1911 ini mengalami perkembangan yang pesat di wilayah Minangkabau (Yulizar Yunus, 2008). Tiga tahun berikutnya, tepatnya tahun 1921, bersama dengan Syekh Abbas Ladang Lawas dan Muhammad Jamil Jaho mendirikan organisasi Ittihadul Ulama Minangkabau, yaitu organisasi yang berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para ulama Sunniyah-Syafi’iyah untuk mengkaji dan mengeluarkan fatwa-fatwa agama (Saharman, 2007).
Pada tahun 1928, beliau melakukan roformasi sistem pendidikan Islam dengan cara merubah sistem halaqah di surau Surungan menjadi sistem klasikal. Reformasi ini ditandai oleh perubahan nama surau tersebut menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung dan penyempurnaan kurikulum (Saharman, 2007). Pendirian Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung secara resmi adalah tanggal 5 Mei 1928 yang dihadiri oleh ulama-ulama terkenal di Minangkabau, seperti Syekh Abbas al-Qadhi (Padang Lawas), Ahmad (Suliki), Jamil Jaho (Padang Panjang), Muhammad Arifin (Batu Hampar), Abdul Wahid al-Shaleh (Suliki), Alwi (Koto Nan Ampek), Jalaluddin (Sicincin), Abdul Madjid (Koto Nan Gadang) dan HMS Sulaiman (Bukittinggi) (Yulizar Yunus, 2008).
Baca Juga: Tarekat sebagai Tradisi Madrasah Tarbiyah Islamiyah
Perubahan surau Surungan menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung diikuti pula surau-surau lainnya di Minangkabau. Untuk mengatur dan memelihara madrasah tersebut, Syekh Sulaiman mempelopori musyawarah ulama kaum tua dan memutuskan berdirinya Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) pada tanggal 28 Mei 1930. Pada awal kemerdekaan, tepatnya tahun 1946, organisasi Perti berubah haluan dari organisasi sosial keagamaan menjadi partai politik. Perubahan ini diawal oleh usulan yang disampikan oleh Sirajuddin Abbas kepada gurunya, Syekh Sulaiman Arraasuli, untuk menjadikan nilai-nilai agama sebagai arah perjuangan politik bangsa (Tim Peneliti Fakultas Adab, 2007).
Sebagai ulama dan pejuang yang ikut melakukan pergerakan nasional, Syekh Sulaiman Arrasuli juga terlibat dalam usaha melawan kuatnya tekanan dan dominasi kolonial. Bersama ulama lainnnya di Minangkabau, beliau menentang dengan keras kebijakan kolonial yang terkait dengan ordonansi sekolah liar yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1932. Pada tahun 1937, perlawanan yang hampir sama juga beliau lakukan untuk menentang ordonansi kawin tercatat melalui Kongres Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Yusran Ilyas, 1995). Pada masa Jepang, Syekh Sulaiman Arrasuli dipercaya sebagai pemimpin Majelis Islam Tinggi Minangkabau (MITM), yaitu sebuah organisasi yang berdiri atas anjuran dari pemerintahan Jepang pada tahun 1942 dengan tujuan untuk menyatukan berbagai organisasi sosial keagamaan. Keanggotaannya terdiri dari Muhammadiyah, Perti dan lain-lain (Saharman, 2007).
Dalam menjalankan program kerja organisasi tersebut, Syekh Sulaiman dibantu oleh sekretaris yang berasal dari ulama pembaharu, yaitu H. Mansur Daud Dt. Palimo Kayo. Pengurus lainnya adalah A. Gafar Jambele sebagai Ketua I, Sirajuddin Abbas mewakiliki Perti, Ahmad Sutan Mansur mewakili Muhammadiyah dan Mahmud Yunus sebagai pemimpin Dewan Pengajaran. Sebagai Ketua Umum MITM Syekh Sulaiman Arrasuli dipandang berhasil membina kerukunan antar ulama dengan umat Islam di Minangkabau. Keberhasilan itu disebabkan oleh konsensus bersama antara ulama kaum Tua dan kaum Muda yang menyepakati bahwa masalah-masalah khilafiyah yang berkembang di tengah-tengah masyarakat bukanlah bid’ah, mengikut kepada imam mazhab tertentu dibiarkan dan tidak boleh dihalang-halangi dan menghindarkan diri dari perbuatan yang menyalahkan atau menjelekkan antara satu kelompok dengan kelompok lain. Perjuangan dan peran yang dimainkan oleh Syekh Sulaiman Arrasuli berlanjut hingga masa kemerdekaan. Pada tahun 1947, beliau diangkat sebagai penasehat tertinggi partai politik Islam, Perti. Atasan permintaan Gubernur Sumatera Barat yang pada saat itu dijabat oleh Mr. St. Mohd. Rasyd, beliau turun ke daerah-daerah di Minangkabau memberikan semangat perjuangan kepada para tentara dan masyarakat dengan cara dengan memberikan fatwa-fatwa dan menjelaskan bagaimana perjuangan yang telah dilakukan pada masa pemerintahan Hindia Belanda melalui lasykar rakyat (Yulizar Yunus, 2008).
Syekh Sulaiman Arrasuli mempelopori pula pelaksanaan Kongres Segi Tiga antara Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cerdik Pandai Minangkabau pada tahun 1954 di Bukittinggi. Kongres ini melahirkan sebuah kesepakatan yang mempertegas bahwa harta warisan atau harta pusaka tinggi tetap dibagi menurut hukum adat. Sedangkan, harta pencaharian atau harta pusaka rendah dibagi menurut hukum syari’at. Tokoh Minangkabau dan nasional yang ikut hadir pada kongres itu ialah Haji Agus Salim dan H. M. Djunaidi dari Kementrian Agama Jakarta (Yusran Ilyas, 1995).
Terkait perkembangan partai politik Islam Perti, Syekh Sulaiman Arrasuli mengambil keputusan yang mengejutkan pada tahun 1969 dengan cara mengembalikan partai itu kepada organisasi sosial keagamaan sebagaimana sebelumnya (kittah). Keputusan ini digulirkan terkait dengan hasil pemilihan umum tahun 1955 yang melahirkan kemelut di kalangan elit politik Perti. Pada tahun itu juga beliau meresmikan dan melantik H. Ma’ana Hasnuty Datuk Tan Pahlawan, MA menjadi pimpinan Sekolah Tinggi Agama Islam Ahlussunah Bukittinggi. Tujuan pendirian sekolah tinggi ini adalah untuk menampung para tamatan madrasah dan pesantren yang tersebar di Sumatera Barat. Di samping itu, lembaga pendidikan ini juga bertujuan untuk melestarikan ajaran dan paham ahlusunnah wa al-jamaah dan mazhab Imam Syafe’i.
Baca Juga: Sulaiman Arrasuli Tokoh Pendidikan Islam Bercorak Kultural Bag II
Dari aktivitas yang dilakukannya semasa hidup terlihat bahwa Syekh Sulaiman Arrasuli merupakan seorang ulama yang piawai dalam berbagai bidang. Tidak lama setelah diresmikan Sekolah Tinggi Agama Islam Ahlusunnah Bukittinggi, tempatnya pada tanggal 28 Rabi’ul Akhir tahun 1390 H/1 Agustus 1970 M, beliau dipanggil oleh Allah dan meninggalkan isteri dan jandanya sebanyak 16 orang, serta anak sebanyak 21 orang (Syekh Sulaiman Arrasuli, 2008). Pemakaman beliau dihadiri oleh tokoh-tokoh daerah dan nasional, di antaranya adalah Gubernur Sumatera Barat, Panglima Kodam III/17 Agustus, Panglima Kepolisian, Bupati Agam, Buya Hamka dan tokoh nasional lainnya.
Sebagai penghormatan kepada ulama dan pejuang ini, Gubernur Sumatera Barat memerintahkan kepada lembaga pemerintahan dan seluruh masyarakat untuk mengibarkan bendera merah putih selama delapan hari berturut-turut. Rekam jejak Syekh Sulaiman Arrasuli semasa hidup meninggalkan berbagai nilai yang dapat dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah kolonial dan Republik Indonesia memberikan berbagai penghargaan terhadap tokoh tersebut. Penghargaan pertama diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan nama Bintang Perak Besar dari kerajaan Belanda (Groofe Zilveren Stervoor Trouw an Verdienste) pada tahun 1931 atas jasanya mengusahakan air bersih sepanjang 2 km untuk keperluan para santri dan masyarakat sekitar Candung, serta mempelopori perdamaian adat dan syara’ atau antara pemangku adat dan alim ulama di Minangkabau Bintang Sakura diberikan kepada beliau oleh pemerintahan Jepang atas keberhasilannya mempersatukan berbagai organisasi Islam dalam wadah Majelis Islam Tinggi Minangkabau (MITM) pada tahun 1943. Piagam penghargaan sebagai perintis kemerdekaan Republik Indonesia juga diberikan oleh Departemen Sosial pada tahun 1966 dan penghargaan Gubernur Sumatera Barat yang menetapkan beliau sebagai pejuang pendidikan pada tahun 1979 (Syekh Sulaiman Arrasuli, 2008). Terkait dengan karya Syekh Sulaiman Arrasuli yang berjudul Kisah Muhammad Arif, sosok dan latar belakang kehidupan penulis jelas sangat mempengaruhi alur cerita dan tema yang ditampilkannya.
Karya Syekh Sulaiman Arrasuli yang berjudul Kisah Muhammad Arif memiliki jiwa zaman yang berbeda dengan karya sejarah lain. Penerbitan karya ini pada tahun 1930-an merefleksikan bahwa seeting zaman dan sosio-kultural yang mengitarinya adalah permulaan abad ke-20, yaitu masa di mana berbagai perubahan sosial muncul di Minangkabau. Perubahan tersebut berjalan seiring dengan semakin melemahnya pergerakan nasional dan kuatnya dominasi kolonial. Berikutnya, berbagai perubahan sosial yang muncul ketika itu sering pula melahirkan fenomena sosial baru dan karya sejarah sering pula berperan sebagai reaksi terhadap perkembangan itu. Salah satu perubahan yang menandai semangat zaman ketika itu yang terkait langsung dengan lahirnya karya Syekh Sulaiman Arrasuli yang berjudul Kisah Muhammad Arif adalah muncul gerakan modernisasi Islam.
Seorang ulama yang mempelopori gerakan ini sejak akhir abad ke-19 hingga permulaan abad ke-20 adalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabauwi. Semangat pembaharuan yang dikembangkan oleh Ahmad Khatib terkait dengan masalah ijtihad yang menurutnya masih terbuka hingga sekarang dan menentang taklid terhadap tradisi yang dianut oleh masyarakat (Taufik Abdullah, 1979). Ulama Minangkabau yang sempat belajar kepada Syekh Ahmad Khatib di Mekah kemudian muncul sebagai ulama yang terkemuka dan disegani oleh masyarakat. Mereka membuka berbagai majelis pengajian di surau-surau pada daerah masing-masing. Pembaharuan Islam di Minangkabau pada awal abad ke-20 terpusat pada empat orang tokoh yang populer dengan sebutan empat serangkai, yaitu Muhammad Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amarullah dan Muhammad Thaib Umar. Mereka dan pendukungnya kemudian dikenal dengan kaum muda yang secara terus menerus menyerang praktek-praktek ulama tradisonal (kaum Tua), dan kaum adat (Azyumardi Azra, 1985).
Langkah awal yang dilakukan oleh ulama kaum muda dalam proses modernisasi adalah upaya menggerakkan kemunduran pendidikan Islam, sosial dan politik. Ide-ide yang mereka gulirkan dipengaruhi oleh pandangan Muhammad Abduh yang menyerukan kepada umat Islam untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, serta menghilangkan sikap taklid buta terhadap ajaran ulama atau mazhab tertentu. Dalam pemikiran ulama kaum muda, keimanan atas dasar taklid tidak benar dan sebaliknya keimanan itu mesti disertai dengan akal sehat ketika melakukan ijtihad. Dalam bidang pendidikan proses modernisasi Islam di Minangkabau diawali dengan berdirinya Madrasah Adabiyah (Adabiyah School) di kota Padang pada tahun 1909. Madrasah ini sudah bercorak klasikal dan memiliki bangku, meja dan papan tulis mirip dengan sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda (Deliar Noer, 1990). Modernisasi pendidikan yang dilakukan oleh Abdullah Ahmad di kota Padang menginspirasi Zainuddin Labai al-Junusi untuk mendirikan Diniyah School di Padang Panjang tahun 1915. Modernisasi berikutnya dilakukan pula oleh Abdul Karim Amrullah yang merubah sistem pendidikan di surau Jembatan Besi Padang Panjang dari sistem halaqah menjadi sistem klasikal pada tahun 1918 (Danil M. Chaniago, 1998). Modernisasi semacam ini diikuti pula oleh surau-surau di Minangkabau yang kemudian berubah menjadi madrasah Thawalib.
Gerakan modernisasi Islam yang dilakukan oleh ulama kaum muda semakin gencar dan ekspansif ketika Minangkabau memasuki darsawarsa kedua abad ke-20. Gagasan mereka bukan hanya dikembangkan pada lembaga-lembaga pendikan, melainkan juga disuarakan melalui media massa cetak. Dalam sejarah Minangkabau dijelaskan bahwa salah satu aspek modenisasi Islam di Minangkabau pada abad ke-20 yang dianggap signifikan, baik dalam peningkatan wacana keislaman maupun wacana gerakan kebangsaan adalah peranan media massa, seperti majalah dan surat kabar. Sejalan dengan ini, lahirlah majalah al-Munir yang diterbitkan oleh Abdullah Ahmad di kota pada tahun 1911.
Sebagai pembawa suara pembaharuan, majalah ini memuat pemikiran Syekh Abdul Karim Amarullah, Muhammad Jamil jambek, Muhammad Thaib Umar dan Haji Abdullah Ahmad sendiri. Selain itu, majalah al-Munir mengupas pula masalah-masalah keagamaan dan masalah pendidikan Islam. Karena percetakan majalah Al-Munir terbakar di Padang pada tahun 1916, suara modernisasi dilanjutkan oleh majalah al-Munir el- Manar yang diterbitkan oleh Zainuddin Labay al-Yunusi di Sumatra Thawalib Padang Panjang tahun 1918. Sejak masa itu, Sumatra Thawalib yang ada di Maninjau, Parabek, Padang Japang dan Sungayang mengikuti pula dengan menerbitkan majalah masing-masing, yaitu al-Bayan, al-basyir dan al-Iman (Hamka, 1967).
Menurut pandangan Azyumardi Azra, semua penerbitan majalah dan surat kabar yang diterbitkan oleh ulama kaum muda tersebut bertujuan untuk membimbing penduduk kepada ajaran agama yang benar, meningkatkan pengetahuan, memperkuat persaudaraan dan membela Islam dari serangan berbagai pihak. Semua penerbitan itu telah membantu kaum muda menyebarkan gagasan-gagasan mereka dan mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan (Azyumardi Azra, 1985).
Di pihak lain kelompok ulama tradisional yang tergabung dalam komonitas kaum tua terus menerus merasa terancam dengan ekspansi gagasan kaum muda dan mereka berusaha untuk menyatukan langkah. Rapat besar ulama kaum tua di Parabek pada tahun 1930 menghasilkan keputusan untuk mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PTI). Organisasi ini pada gilirannya memutuskan agar lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam PTI dimodernisasi dan mengikuti pola yang dikembangkan oleh ulama kaum muda. Keputusan semacam ini merefleksikan bahwa ulama kaum tua tidak punya alternatif lain untuk menyelamatkan sistem pendidikan surau, kecuali merombaknya seperti yang dilakukan oleh kaum muda (Azyumardi Azra, 1985).
Upaya ulama kaum tua untuk mengimbangi keberhasilan ulama kaum muda tidak terbatas pada apa yang telah disinggung sebelumnya. Mereka menerbitkan pula majalah untuk menyuarakan pesan-pesan, seperti Suluh Melayu di Padang (1932), al-Mizan di Maninjau (1928) dan lain-lain. Penerbitan majalah kaum tua memancing menguatnya polemik keagamaan dengan kalangan kaum muda yang membawa pemikiran-pemikiran pembaharuan.
Baca Juga: Memaknai Kitab-Suci Pendidikan Inyiak Canduang Bag i
Polemik ini kemudian berkembang menjadi perang argumentasi antara kelompok yang berbeda pandangan. Lebih jauh polemik tersebut melahirkan tulisan-tulisan yang berbentuk buku-buku dan karya ilmiah lainnya. Kisah Muhammad Arif juga mengungkapkan semangat zaman semacam ini dan menyebut bahwa ketika buku itu ditulis telah lahir ajaran yang aneh-aneh yang melahirkan hiruk-pikuk dalam kehidupan sosial (Syekh Sulaiman Arrasuli, 2008). Di tengah menguatnya polemik dan perbedaan paham keagamaan antara kelompok kaum muda dan kaum tua, Syekh Sulaiman Arrasuli dari kelompok ulama kaum tua muncul sebagai penengah. Kehadiranya sebagai pemimpin organisasi Majelis Tinggi Islam Minangkabau (MITM) pada masa Jepang memainkan peranan penting untuk mendamaikan golongan pembaharu dan kaum tradisi. Kehadiran karya-karya Syekh Sulaiman Arrasuli yang memiliki corak berbeda dengan ulama lain di Minangkabau juga dalam upaya mengalihkan perhatian masyarakat dari perbedaan pemahaman keagamaan kepada cerita-cerita yang memuat pelajaran tentang Islam dan adat Minangkabau. []
Tulisan ini pernah dimuat di Mozaik Islam Nusantara, Padang: Imam Bonjol Press, 2014 dengan Judul Roman Kisah Muhammad Arif: Penghampiran Historiografi terhadap Karya Syekh Sulaiman Arrasuli. Diterbitkan kembali untuk tujuan pendidikan.
DAFTAR BACAAN
Azyumardi Azra (2003), Surau; Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi Modernisasi. Jakarta: Logos.
____________ (1985), Surau di Tengah Krisis dalan Dawan Rahardjo,(Ed) dalam Pergulatan Dunia Pesantren, Jakarta: P3M.
Danil M. Chaniago (199*0, “Kegagalan Politik Pendidikan Islam Hindia Belanda di Minangkabau 1928: Kasus Goeroe Ordonanntie”, Laporan Penelitian. Padang: IAIN IB.
Deliar Noer (1990), Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
Dobbin, Christine (2008), Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Paderi, Minangkabau 1784-1787. Jakarta: Komunitas Bambu.
Edison dan Nasrun Datuk Marajo Sungut (2010), Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau, Bukittinggi: Kristal Multimedia.
Edward (editor) (1981), Rowayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat. Padang: Islamic Centre Sumatera Barat.
Baca Juga: Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Tarekat Taqlid dan Ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah
Graves, Elizabeth E. (2007), Asal-Usul Elit Minangkabau: Respons terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hamka (1967), Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Jakarta: Djajamurni.
Hendra Naldi (2008), “Booming” Surat Kabar di Sumatra’s Westkust. Yogyakarta: Ombak.
Irhash A. Shamad dan Danil M (2007), Islam dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau. Jakarta: Tintamas.
Kahin, Audrey (2008), Dari Pemberontakan Ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1928. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kafrawi Ridwan, Etal. ( Ed ) (1993), Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru.
Kato, Tsuyoshi (2005), Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Balai Pustaka.
Sabaruddin Ahmad (1979), Kesusasteraan Minangkabau Klasik dan Hubungannya dengan Kesusasteraan Indonesia. Jakarta: Departemen P dan K.
Saharman (2007), Pemikiran Ulama Perti tentang Masalah Khilafiyah dalam Ibadah, Sosial, dan Politik, (1928-1973), Padang: IAIN Press.
Sanusi latief (1988), Gerakan Kaum Tua di Minangkabau, disertasi. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah.
Syafnir Abunaim (1988), Tuanku Imam Bonjol: Sejarah Intelektual Islam di Minangkabau, Padang: Esa.
Sulaiman Arrasuli (1939), Kisah Muhammad Arif, Bukittinggi: Drukerij Agam.
_______________(1923), Samarat al-Ihsan fi Wiladat Sayidid al-Insan, Bukittinggi: Drukerij Agam.
_______________(1928), al-Qaul al-Bayan, Fort de Kock: Mathba’ah Islamiyah.
_______________(2003), Pertalian Adat dan Syara’, alih tulisan oleh Hamdan Izmy, Jakarta: Ciputat Press.
Taufik Abdullah (1979), Adat dan Islam: Suatu Tinjauan Mengenai Konflik di Minangkabau. Padang: FKPS-IKIP Padang.
______________(1990), Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatera 1927-1933, terjemahan Lindayanti dan Guntur. Padang: Universitas Andalas.
Tim Peneliti Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang (2007), Riwayat Hidup 30 Ulama Sumatera Barat, Padang: Lembaga Penelitian IAIN.
Yulizal Yunus (2008), dkk, Beberapa Ulama di Sumatera Barat, Padang: UPTD Museum Adityawarman Sumatera Barat.
Yusran Ilyas (1995), Syekh H. Sulaiman Arrasuli: Profil Ulama Pejuang (1871-1970), Padang: Sarana Grafika.
Muhammad Arif Syekh Sulaiman Arrasuli
Leave a Review