scentivaid mycapturer thelightindonesia

Membaca Muhammad Arif, Menyalami Inyiak Canduang, Syekh Sulaiman Arrasuli (Bag II-Habis)

Membaca Muhammad Arif, Menyalami Syekh Sulaiman Arrasuli Inyiak Canduang
Ilustrasi/Dok.surautuo.blogspot.com

Membaca Muhammad Arif, Menyalami Inyiak Canduang Syekh Sulaiman Arrasuli (Bag II-Habis)

Tulisan ini merupakan lanjutan dari: Membaca Muhammad Arif Menyalami Inyiak Canduang Bag-i

Karya Syekh Sulaiman Arrasuli yang berjudul Kisah Muhammad Arif  diterbitkan oleh Drukerij Agam, Bukittingi, pada tahun 1938 M (1357 H). Karya ini sebagaimana telah disinggung sebelumnya berbeda dari karya Syekh Sulaiman Arrasuli lainnya dan dituliskan dalam bentuk cerita (roman sejarah). Roman ini ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu Minangkabau. Pilihan bahasa Minangkabau terkait dengan kehadiran bahasa tersebut yang tidak memiliki banyak perbedaan dengan bahasa Melayu yang dipergunakan sebagai sarana komunikasi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, Malaysia dan daerah Patani di Thailand Selatan (Sabarudin Ahmad, 1979). Meskipun menggunakan bahasa Melayu Minangkabau, aksara yang dipakai untuk merangkai berbagai pesan dalam cerita dalam Kisah Muhammad Arif adalah aksara Arab. Bagi masyarakat Minangkabau, penggunaan aksara Arab seperti yang dilakukan oleh Sulaiman Arrasuli sudah menjadi hal yang biasa dalam kegiatan tulis-menulis, terutama sejak masuknya pengaruh Islam ke daerah ini sejak abad ke-16. Dengan berbagai modifikasi, aksara tersebut kemudian lebih dikenal dengan sebutan huruf Arab Melayu. Pengaruh yang lebih berarti dari penggunaan aksara ini adalah semakin terbiasanya masyarakat Minangkabau untuk menuliskan berbagai cerita, kaba, petuah dan tambo yang pada sebelumnya hanya diwariskan melalui tradisi lisan (Hendra Naldi, 2008).

Pemilihan diksi (kosa kata) yang dilakukan oleh penulis dalam Kisah Muhammad Arif  juga menarik dan sangat variatif. Di samping menggunakan kosa kata Minangkabau, penulis memperkaya karyanya dengan istilah-istilah bahasa Arab dan Belanda.  Kosa kata Arab yang terkait dengan masalah hukum Islam dan ilmu lainnya sering dijumpai dalam berbagai rangkaian cerita pada sub-sub judul dalam Kisah Muhammad Arif, seperti kata nasikh, mansukh, umum, khas dan lain sebagainya. Kosa kata bahasa Belanda, seperti besluit, landraat ambtenar dan lain sebagainya membuat karya Syekh Sulaiman al Rasuli itu memiliki daya tarik untuk dibaca oleh masyarakat Minangkabau (Syekh Sulaiman Arrasuli, 1938). Pemilihan diksi, baik Arab maupun Belanda, merefleskikan bahwa Syekh Sulaiman Arrasuli merupakan sosok penulis yang memiliki pengetahun yang cukup memadai terhadap kedua bahasa asing tersebut.

Baca Juga: Sulaiman Arrasuli Tokoh Pendidikan Islam Bercorak Kultural Bag II

Gaya penulisan Kisah Muhammad Arif lebih bercorak karya sastra yang ditampilkan dengan menggunakan unsur-unsur puisi. Sekalipun gaya penulisan terkesan agak berirama, tetapi hubungan antar kata dalam sebuah kalimat dan kalimat dalam sebuah pragraf lebih mendekati bentuk penulisan sebuah prosa. Gaya penulisan seringkali dihiasi pula dengan petatah dan petitih adat Minangkabau yang berbentuk pantun (puisi). Pada bagian pendahuluan, misalnya, dibuka dengan sebuah ungkapan yang berbentuk pantun (puisi) untuk menjelaskan tema makro dan tujuan kenapa Kisah Muhammad Arif itu ditulis oleh Syekh Sulaiman Arrasuli.

Bagalah ka ujuang karang
Tertumbuk ka pulau batu
Dengan nama Allah kami mengarang
Memuji Tuhan yang satu

Berlarat-larat ka tanah jambi
Singgah sebentar ke surian
Kami salawat atas nabi
Sahabat dan Ali kemudian

Balari-lari ka sibanyak
Singgah makan ka limpasi
Memintak maaf bakeh nan banyak
Kami mengarang kabar fantasi

Bakejar-kejar ka subarang
Berlari-lari bendi beroda
Kabar tamsil kami karang
Untuk pengajar bagi yang muda

Berbagai sub-judul dalam rangkaian cerita pada Kisah Muhammad Arif sangat banyak dijumpai ungkapan berbentuk pantun (puisi) untuk mendukung tema-tema yang digulirkan di dalamnya. Metode semacam ini dilakukan penulis secara sosiologis lebih memiliki pengaruh, mengingat masyarakat pembaca di Minangkabau sudah terbiasa memahami pesan-pesan melalui petatah dan petitih adat dalam berbagai ranah kehidupan sosial. Sejalan dengan ini, konstruksi sosial Minangkabau mendukung lahirnya karya-karya yang dihiasi oleh pesan-pesan yang ditampilkan melalui pantun, seperti Kisah Muhammad Arif. Terkait sumber, penulis memang tidak menyebutkan secara eksplisit dari sumber-sumber mana pesan-pesan yang digulirkan dalam penceritaan. Tetapi mencermati tampilan cerita dan kedalaman pesan di dalamnya terlalu naif pula untuk menyatakan bahwa Kisah Muhammad Arif tidak memiliki sumber-sumber sebagai yang dilakukan oleh sejarawan profesional. Karya ini sekalipun ditulis dalam bentuk roman dan imajinasi penulis memegang peran dominan dalam merangkai cerita, tetapi dalam teks dijumpai beberapa informasi yang berasal dari hadits nabi, seperti hadits yang menyebutkan bahwa tidak sempurna iman seseorang sebelum mengasihi saudaranya sebagaimana mengasihi dirinya sendiri. Berbagai pesan yang terkait dengan nasehat terhadap penghulu, ulama, pemuda, perempuan dan orang tua juga merefleksikan bahwa Kisah Muhammad Arif ditulis oleh sesorang yang memiliki khazanah bacaan dan penelusuran sumber-sumber yang sangat mendalam tentang historiografi tradisional Minangkabau (tambo) dan agama Islam.

Semua karya Syekh Sulaiman Arrasuli kelihatannya tidak menyebutkan sumber-sumber pengambilan data. Risalah al-Qaul al-Bayan (1928), misalnya, juga tidak mencantumkan sumber. Meskipun di dalamnya ditemukan beberapa jenis catatan inferensial, semua itu tidak berhubungan dengan sumber. Catatan inferensial tersebut hanya berupa keterangan (syarah) terhadap beberapa istilah yang dipandang menyulitkan para pembaca memahami maksud yang disampaikannya dalam buku itu. Kondisi semacam itu bukan hanya dijumpai pada karya Syekh Sulaiman Arrasuli, melainkan juga karya-karya ulama lainnya di Minangkabau yang muncul pada permulaan abad ke-20. Karya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabauwi dengan judul Izhar Zaghli al-Kazibin fi Tasyabbuhihiim bil al-Shadiqiin yang terbit pada tahun 1908 juga memiliki corak yang sama dan tanpa menyebutkan sumber-sumber pengambilan informasi (Syekh Ahmad Khatib, 1908). Gaya penulisan tanpa menyebut sumber-sumber kelihatannya belum berkembang di kalangan penulis lokal di Minangkabau pada permulaan abad ke-20. Gaya penulisan semacam itu pula yang dilakukan oleh Syekh Sulaiman Arrasuli dalam merangkai tema-tema dalam karyanya, Kisah Muhammad Arif.

Baca Juga: Wasiat Syekh Sulaiman Arrasuli dalam Ijazah MTI Canduang

Alur penceritaan (skematik) di dalamnya terdiri dari penduhuluan, isi dan penutup. Pendahuluan memiliki durasi cerita sepanjang tiga halaman lebih yang menampilkan tujuan kenapa karya tersebut ditulis oleh Syekh Sulaiman Arrasuli, yaitu pelajaran bagi generasi muda. Tujuan ini sekaligus menjadi tema makro (utama) yang dimajukan dalam proses penceritaan secara keseluruhan. Pengembangan tema ini sudah mulai dilakukan penulis dari bagian pendahuluan dengan cara mengenalkan sosok seorang perempuan Minangkabau yang memiliki kepribadian, pengetahuan agama yang luas dan akhlak yang mulia. Perempuan dimaksud adalah Siti Budiman yang merupakan anak dari Tuanku Lebar Alam di kampung Telaga Manis Kenagarian Teluk Paham yang ketika itu berada di bawah kendali pemerintahan Laras Nan Dua (Syekh Sulaiman Arrasuli, 1938). Pengetahuan agama yang luas, kesalehan dan kecantikan Siti Budiman menjadi daya tarik banyak pemuda di kampung Telaga Manis dan mereka ingin mempersuntingnya sebagai isteri. Apalagi umur Siti Budiman sudah mencapai delapan belas tahun menjadi faktor pendorong bagi orang tuanya, Tuanku Lebar Alam, untuk mencarikan jodoh buat anak perempuannya. Atas persetujuan Siti Budiman, pilihan jatuh kepada Muhammad Shadiq (Fakieh Arifin), yaitu sosok laki-laki shaleh yang memiliki pengetahuan agama yang luas. Meskipun ia hanya seorang petani di kampung, tetapi banyak masyarakat sekitar yang belajar agama kepada Muhammad Shadiq.

Sejumlah pihak yang dilibatkan dalam teks adalah Siti Budiman, Tuanku Lebar Alam dan Muhammad Shadiq (Faqih Arifin). Relasi yang dibangun antar aktor tersebut bersifat kompromistis dan jauh dari tendensi komplik, mengingat masing-masingnya memiliki pandangan yang sama dalam penceritaan. Detail uraian tentang Siti Budiman mendominasi jalannya cerita dan tokoh lain hanya sebagai pendukung terhadap peran dimainkan oleh perempuan tersebut. Alur cerita semacam ini merefleksikan bahwa penulis mengajak masyarakat pembaca untuk memahami ide cerita yang terkait dengan Siti Budiman sebagai perempuan Minangkabau yang memiliki wajah cantik, pengetahuan agama yang luas dan rajin melakukan amal shaleh. Sejalan dengan tema utama buku ini, beberapa karakter Siti Budiman yang ditampilkan oleh penulis dalam teks cerita merupakan bagian dari pelajaran penting yang mesti teladani oleh generasi muda di Minangkabau (Syekh Sulaiman Arrasuli, 1938).

Setelah pendahuluan, alur penceritaan terdiri sub-sub cerita yang masing-masingnya menggulirkan tema yang saling terkait. Setiap tema yang ditampilkan pada sub-judul merupakan pengembangan dari tema utama yang dimajukan pada bagian pendahuluan. Sub-sub penceritan pada bagian isi dijumpai dalam karya Syekh Sulaiman Arrasuli ini sebanyak tiga belas buah. Sipendengki datang membujuk (Syekh Sulaiman Arrasuli, 1938) merupakan sub-judul pertama yang menggulirkan tema tentang rayuan dan godaan dari seorang perempuan kaya yang menghasut Siti Budiman agar mau berpisah dengan suaminya. Lebih jauh, perempuan kaya yang tidak disebutkan identitasnya itu menyampaikan kepada Siti Budiman: “….wahailah upiek Siti Budiman, sarancak ikolah awak, saelok ikolah tampang, mengapa badan dipasusah, elok caraikan suami kau nan miskin sarupo iko, bulieh diganti jo nan kayo, nan bapadi labieh dimakan, nan batoko banyak, badan kau sanang baibadah, tak mencari-cari makan….” (Syekh Sulaiman Arrasuli, 1938). Siti Budiman tidak terpengaruh oleh rayuan tersebut dan tetap mempertahankan hidup bersama suaminya. Bagi Siti Budiman, ilmu dan amal jauh lebih utama dari pada harta dan kekayaan dunia.

Baca Juga: Filosofi Ijazah

Sub-judul kedua adalah Siti Budiman Kabaranak (Syekh Sulaiman Arrasuli, 1938) yang mengusung tema tentang kelahiran anak laki-laki yang bernama Muhammad Arif, yaitu tokoh utama yang dijadikan sebagai judul buku Syekh Sulaiman Arrasuli. Dua tahun kemudian, Siti Budiman melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama dengan Siti Arifah. Sekitar satu tahun umur anak perempuannya, sang suami, Muhammad Shadiq, meninggal dunia tanpa mewariskan harta yang banyak kepada keluarganya. Dengan harta seadanya, Siti Budiman membesarkan kedua buah hatinya. Ia tidak mau menikah lagi meskipun Siti Rahimah, isteri Datuk Raja Adil (kakak Siti Budiman), meminta Siti Budiman untuk mencari pengganti suaminya. Karajo Siti Budiman Semenjak Suami Mati (Syekh Sulaiman Arrasuli, 1938) menjadi sub-penceritaan ketiga dan menampilkan tema tentang pekerjaan Siti Budiman dalam membesarkan dan mendidik kedua anaknya. Pada siang hari, Siti Budiman sibuk dengan aktivitas jahit dan merenda. Malam harinya, ia mengajarkan al-Qur’an dan agama kepada anak-anak di kampung Telaga Manis. Selain itu, banyak juga masyarakat kampung tersebut yang belajar agama dan menjahit kepada Siti Budiman. Untuk nafkah kedua putra dan putrinya, Siti Budiman tidak mengalami kesulitan dan apalagi orang-orang yang datang berziarah ke makam suaminya sering pula membawa perlengkapan untuk kedua anaknya.

Alur penceritaan berikutnya (keempat) diikuti oleh sub-judul Muhammad Arif Akan Masuk Sikola (Syekh Sulaiman Arrasuli, 1938). Tema yang dikembangkan terkait dengan keinginan Siti Budiman yang mau menyerahkan anak sulungnya, Muhammad Arif, untuk belajar ke sekolah dasar. Pengembangan tema ini diawali oleh latar yang menjelaskan bahwa Muhammad Arif telah berumur delapan tahun, bacaan al-Qur’an sudah tamat, rukun dan syarat, serta sifat dua puluh sudah diketahui pula seperlunya. Sejalan dengan ini, Muhammad Arif, sebagaimana dikatakan oleh Siti Budiman kepada Datuk Raja Adil (mamak Muhammad Arif) dalam suatu perbincangan di rumahnya sendiri, sudah saatnya belajar di sekolah. Respon Datuk Raja Adil sangat positif dan secara diplomatis ia menjawab bahwa niat adiknya itu bagaikan pucuk dicinta ulan tiba. Sebagai mamak, niat Siti Budiman itu sudah tertanam dalam pikiran Datuk Raja Adil. Namun karena kemiskinan dan kesusahan hidup niat tersebut belum disampaikan kepada adiknya dan bahkan anak lelakinya yang bernama Sibuyung Sungguh sudah berumur sepuluh tahun belum juga masuk sekolah. Bagi Siti Budiman, perbincangan dengan Datuk Raja Adil bukan bertujuan untuk meminta biaya pendidikan buat anaknya, melainkan meminta izin dan restu kepada kakaknya sebagai mamak dari Muhammad Arif. Penghasilannya sehari-hari ungkap Siti Budiman sudah cukup untuk membayar biaya pendidikan anaknya dan bahkan ia meminta Datuk Raja Adil untuk memasukkan Sibuyung Sungguh ke sekolah dengan biaya yang berasal dari dirinya. Bagian akhir dari sub-judul Muhammad Arif Akan Masuk Sikola lebih banyak menceritakan kecerdasan Muhammad Arif selama di bangku pendidikan. Kelas satu, dua dan tiga dijalaninya hanya dalam rentang waktu satu tahun dan kemudian pada tahun itu juga Muhammmad Arif menamatkan sekolah.

Sejalan dengan tamatnya sekolah Muhammad Arif, alur penceritaan dilanjutkan dengan tema nasehat Siti Budiman yang dikemas dalam cerita pada sub-judul Siti Budiman Memberi Nasehat (kelima) (Syekh Sulaiman Arrasuli, 1938). Nasehat-nasehat itu terkait dengan acuan dan pandangan hidup yang mesti dijalani oleh Muhammad Arif dan Siti Arifah, baik secara individual maupun sosial kemasyarakatan. Secara individual, Muhammad Arif dan Siti Arifah dituntut untuk menentukan salah satu pekerjaan dalam kehidupan, memperteguh pendirian dan mempraktekkan pengetahuan agama dalam kehidupan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, Muhammad Arif dan Siti Arifah dibekali dengan pandangan etika pergaulan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh, nasehat-nasehat yang disampaikan oleh Siti Budiman kepada kedua anaknya ditampilkan dalam bentuk penyatuan antara nilai-nilai Islam dan adat Minangkabau. Dalam pergaulan sehari-hari, misalnya, Muhammad Arif dan Siti Arifah diajarkan untuk memuliakan yang tua, mengasihi yang kecil dan mengajak teman sebaya seiya-sekata (mufakat). Pandangan ini dipertajam dengan kutipan hadits yang menyebutkan bahwa tidak sempurna iman seseorang sebelum mengasihi saudaranya seperti dirinya sendiri. Pengembangan tema dalam sub-judul ini dilakukan oleh penulis dengan cerita panjang tentang kehidupan generasi muda waktu itu yang hanya mengedepankan penampilan tanpa mempertimbangkan nilai adat Minangkabau dan agama Islam. Mereka hidup dengan pola tiru-meniru, tidak memiliki prinsip dan kemandirian ekonomi. Cerita yang terkait dengan ini memiliki detail yang panjang dan hampir memenuhi semua alur penceritaan yang dijumpai pada sub-judul Siti Budiman Memberi Nasehat.

Baca Juga: Memaknai Kitab-Suci Pendidikan Inyiak Canduang Bag i

Sub-judul keenam adalah Siti Arifah Akan Masuk Sekolah (Syekh Sulaiman Arrasuli, 1938) yang memuat tema tentang keinginan Siti Budiman yang mau menyerahkan anak perempuannya ke sekolah dasar dan MIS Perempuan. Keadaan Siti Arifah selama belajar di sekolah dasar hanya sedikit diceritakan dan hanya sekedar menyebutkan bahwa anak perempuan Siti Budiman mampu menamatkan sekolahnya selama dua tahun. Setelah itu, alur penceritaan diikuti oleh sebuah latar yang mendukung keinginan Siti Budiman yang mau menyerahkan anak perempuannya ke sekolah keterampilan dengan nama MIS Perempuan. Latar itu terkait dengan keterampilan memasak, menjahit dan kegiatan rumah tangga. Kemudian alur cerita diikuti oleh nasehat-nasehat Siti Budiman di seputar etika perempuan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk etika kepada guru setelah belajar di sekolah nantinya. Pada bagian akhir sub-judul dipergunakan oleh penulis untuk menampilkan tentang Siti Arifah belajar di sekolah MIS Perempuan.

Alur penceritaan dilanjutkan dengan sub-judul ketujuh, yaitu Muhammad Arif Akan Masuk Sikola Agama (Syekh Sulaiman Arrasuli, 1938). Sejalan dengan sub-judul ini, tema yang digulirkan di dalamnya terkait dengan keinginan Muhammad Arif belajar di sekolah agama. Keinginan itu disampaikan kepada ibunya bersamaan dengan beberapa pilihan profesi yang ditawarkan oleh Siti Budiman, yaitu menjadi orang alim, saudagar, ambtenar dan penghulu. Pengembangan tema cerita dilakukan penulis dengan cara mengungkap secara panjang lebar beberapa nilai yang terkait dengan etika menuntut ilmu agama. Dalam aspek materi, ilmu yang bersifat fardu ‘ain hendaklah dipelajari terlebih dahulu dan kemudian diikuti oleh ilmu-ilmu yang bersifat fardu kifayah, sunat, dan mubah. Lebih jauh, etika ini dikontekstualkan dengan kecendrungan generasi muda ketika itu yang dalam banyak kasus kurang memperdulikan urutan ilmu-ilmu yang disebutkan sebelumnya. Konsekuensinya ilmu sudah sampai ke mana-mana, membicarakan eropa dan tanah arab, tetapi masalah yang terkait dengan ilmu fardu ‘ain belum mereka ketahui. Mereka lebih mementingkan ilmu pengetahun umum dari pengetahuan agama. Terkait dengan pengembangan tema cerita, etika kepada guru juga diungkapkan oleh penulis dengan panjang lebar. Di dalamnya bukan hanya dijelaskan bagaimana prilaku yang seharusnya diperankan oleh seorang murid kepada guru, melainkan juga resiko yang sering diterima bagi mereka yang melawan kepada guru. Di antara resiko yang sering dijumpai dalam kehidupan masyarakat ketika itu adalah memperoleh azab di dunia, ilmu kurang bermanfaat dan mengalami kekeliruan (malesek).

Setelah tamat sekolah agama, tema cerita berikutnya direfleksikan dalam sub-judul yang kedelapan, yaitu Muhammad Arif Akan Jadi Guru (Syekh Sulaiman Arrasuli, 1938) Maksud guru di sini sebagaimana dijelaskan oleh penulis adalah bahwa setelah tamat kelas tujuh pada sekolah agama, Muhammad Arif merupakan tempat bertanya masyarakat banyak dan kehadirannya adalah sebagai guru dalam kehidupan sosial. Untuk mengembangkan tema, penulis merangkai cerita dalam bentuk nasehat seorang ibu yang bijaksana kepada anaknya. Sejalan dengan ini, Siti Budiman sebagai tokoh ibu memberikan beberapa pandangan kepada Muhammad Arif agar pandai bergaul dan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Masyarakat yang belajar kepada Muhammad Arif mungkin saja berasal dari latar belakang yang beragam dan menghadapi mereka sangat membutuhkan sifat ikhlas, sehingga tidak muncul kasih-sayang yang berbeda dalam mengajar mereka. Muhammad Arif juga perlu berhati-hati menjelaskan berbagai pertanyaan masyarakat yang terkait dengan masalah hukum Islam. Kekeliruan menetapkan hukum tersebut bisa berakibat fatal dan dapat memasukkan seseorang ke dalam neraka.

Baca Juga: Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Tarekat Taqlid dan Ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah

Pengembangan tema berikutnya dilanjutkan dengan rangkaian cerita berupa nasehat Siti Budiman kepada Muhammad Arif agar hati-hati dalam menyampaikan fatwa agama. Apalagi berbagai paham keagamaan yang dipandang aneh ketika itu sudah banyak muncul ke permukaan, seperi masalah qunut, pengakuan terhadap nabi baru dan ajaran Qadariyah. Dampak dari paham yang aneh tersebut melahirkan berbagai pertikaian dalam kehidupan sosial, seperti hiruk-pikuk dalam nagari, murid melawan kepada guru, putusnya hubungan silaturrahim dan lain sebagainya. Dalam hubungan ini, penulis menekankan pada bagian akhir cerita bahwa paham keagamaan yang benar adalah ajaran yang sesuai dengan pendapat para sahabat, tabi’in dan ulama yang hidup satu abad kemudian. Rasul sendiri pernah menyebutkan bahwa zaman yang paling baik adalah abad yang tiga (sahabat, tabi’in dan ulama yang hidup satu abad berikutnya). Sebab ilmu pengetahuan keagamaan dan amalan yang terkait dengan kehidupan akhirat jauh lebih jelas dan terang pada abad yang tiga itu.

Sub-judul kesembilan hingga penutup menampilkan tema tentang nasehat-nasehat Siti Budiman yang dirangkai dalam bentuk cerita yang berisi nasehat seorang ibu kepada anak-anaknya. Nasehat pertama terkait dengan nasib Muhammad Arif seandainya ditakdirkan oleh Yang Mahakuasa menjadi seorang ambtenar dengan sub-judul, Nasehat Siti Budiman Kalau Anaknya Jadi Ambtenar (Syekh Sulaiman Arrasuli, 1938). Sejalan dengan nasehat Siti Budiman, Muhammad Arif dituntut untuk berperilaku jujur dalam memegang jabatan, membawa masyarakat kepada kebaikan, memajukan nagari, membangun ekonomi, serta menghidupkan adat dan syara’. Selain itu, Muhammad Arif juga dituntut untuk melakukan musyawarah dengan ninik mamak dan melaksanakan berbagai keputusan yang diambil oleh iman dan khatib dalam nagari. Dalam memeriksa perkara, Muhammad Arif sebagaimana nasehat Siti Budiman hendak bersikap lemah-lembut dan bermuka manis, sehingga mereka yang sedang diperiksa dapat mengungkapkan fakta sebenarnya. Ambtenar dan jaksa yang berprilaku kasar tidak perlu ditiru oleh Muhammad Arif, karena sikap yang demikian membuat mereka yang sedang diperiksa merasa takut dan menimbulkan kekeliruan dalam menetapkan hukum. Nasehat lain yang terkait dengan jabatan ambtenar sebagaimana dikatakan oleh Siti Budiman adalah sikap rendah hati dan tidak sombong. Untuk menekankan pentingnya sifat ini, penulis pada bagian akhir cerita menampailkan sebuah kisah tentang seorang ambtenar, laras dan jaksa yang rendah hati, tidak sombong dan peduli kepada masyarakat. Ketika ambtenar, laras dan jaksa tersebut meninggal dunia, banyak masyarakat yang datang mengunjunginya. Setelah beberapa tahun berikutnya, masyarakat tetap mengingatnya dan berziarah ke makamnya. Seiring dengan itu, doa-doa dari berbagai lapisan masyarakat tetap mengalir terhadap arwahnya.

Nasehat kedua adalah pandangan terhadap Muhammad Arif jika nantinya menjadi saudagar dan orang kaya yang ditampilkan dalam dengan sub-judul kesepuluh, yaitu Nasehat Untuk saudagar dan Orang Kaya (Syekh Sulaiman Arrasuli, 1938). Sebagai saudagar, Muhammad Arif sebagaimana nasehat Siti Budiman muncul sebagai orang yang membangun nagari dan membantu kehidupan karyawan. Berikutnya, Siti Budiman menambahkan semoga Muhammad Arif muncul sebagai saudagar yang suka menolong dan keuntungan besar tidak menjadi tujuan. Sebab, saudagar yang mengutamakan keuntungan besar secara bersamaan ketidak-jujuran akan menjadi perilaku orang tersebut dan sesuatu yang tidak baik bisa saja disebut baik. Lebih jauh nasehat Siti Budiman tentang saudagar dan orang kaya ini dikembangkan oleh penulis melalui cerita panjang di seputar kehidupan orang-orang kaya. Mereka itu sebagaimana ditampilkan dalam teks terdiri empat kelompok. Kelompok pertama disebut orang kaya pemurah, yaitu mereka yang mau berkurban dan mengharap nikmat Allah. Kelompok kedua adalah orang kaya kikir yang hanya mengutamakan keuntungan besar dan kurang mempertimbangkan halal dan haram. Kelompok ketiga adalah orang kaya mubazir yang sering menggunakan hartanya untuk bermain judi dan memenuhi kebutuhan hawa-nafsu lainnya. Sedangkan kelompok yang keempat adalah orang kaya Qarun, yaitu mereka yang memiliki harta kekayaan hanya untuk kepentingan mereka sendiri dan tidak memiliki kepedulian sosial.

Baca Juga: Imajinasi Kearaban Lidah Minang dan Fantek

Nasehat ketiga berisi pandangan tentang penghulu di Minangkabau yang kehadirannya sangat penting dalam membangun nagari. Nasehat ini dikemukakan pada sub-judul yang kesebelas, yaitu Nasehat Untuk Jadi Penghulu (Syekh Sulaiman Arrasuli, 1938). Nasehat lain yang disampaikan oleh Siti Budiman kepada Muhammad Arif seandainya ia menjadi penghulu di nagari nantinya agar memiliki jasa baik dan menetapkan sesuatu hukum secara adil. Sebelum menyampaikan substansi nasehat, penulis terlebih dahulu memulai cerita pada sub-judul ini lewat sebuah prolog yang menjadi latar munculnya nasehat-nasehat Siti Budiman (tema). Seandainya Datuk Raja Adil meninggal dunia dan orang-orang sepayung sepakat untuk mengangkat Muhammad Arif menjadi penghulu, maka jabatan tersebut sebagaimana dikatakan oleh Siti Budiman tidak boleh dielakkan. Jabatan penghulu adalah suatu hal yang lumrah dalam nagari Minangkabau. Pepatah adat menyebutkan: biri-biri tabang ka sasak, di sasak ka tangah halaman, dari ninik turun ka mamak, dari mamak turun ka kamanakan.

Nasehat tentang penghulu di Minangkabau yang disampaikan oleh Siti Budiman kepada Muhammad Arif adalah pengetahuan di seputar rukun dan syarat menjadi penghulu, serta hal-hal yang merusak jabatan tersebut. Sebelum pengetahuan ini dijelaskan oleh Siti Budiman, penulis memaparkan bahwa asal mula jabatan penghulu di Minangkabau berasal dari Nabi Muhammad SAW. Beliau di samping menjadi rasul adalah juga sebagai penghulu yang bertugas memimpin di alam semesta. Sepeninggal nabi, kepemimpinan umat dilanjutkan oleh para sahabat, mulai dari Abu Bakar Shiddiq hingga Ali bin Abi Thalib. Di Minangkabau, kebiasaan memimpin masyarakat sebagaimana yang dilakukan nabi diambil-alih oleh para penghulu. Sedangkan pengetahuan nabi dalam bidang agama dilanjutkan oleh iman dan khatib (ulama) dalam nagari. Justru itu, penghulu dan ulama merupakan dua unsur penting dalam nagari dan di bawah kekuasaan mereka masa depan kehidupan masyarakat nagari di Minangkabau. Dalam kaitannya dengan pemerintahan penghulu dan ulama, penulis memperkaya cerita dengan semangat keislaman, terutama hadits nabi yang menyebutkan bahwa dua golongan umatku berdamai, maka kehidupan masyarakat akan damai. Sebaliknya jika keduanya tidak berdamai, maka suatu negeri akan rusak. Sejalan dengan hadits ini, penulis mengibaratkan jabatan penghulu di Minangkabau bagaikan pendayung dalam nagari (perahu) dan ulama adalah pengemudi yang akan meruluskan jalannya perahu.

Rukun dan syarat menjadi penghulu sebagaimana dimaksudkan oleh Siti Budiman sebelumnya terdiri dari tiga belas bagian, yaitu berakal, berilmu pengetahuan, berani, pandai memerintah, pemurah, sabar, bermulut manis, lemah-lembut, lurus, tidak banyak kelakar, tidak pendusta, pengasih dan berbudi baik.

Semua rukun dan syarat ini merupakan pakaian penghulu yang memerintah pada nagari-nagari di Minangkabau. Sekiranya rukun dan syarat itu tidak lagi menjadi pakaian penghulu secara bersamaan peran penghulu tersebut berubah menjadi pengulun, pangalie, pangulai, pengelok dan lain sebagainya. Penyimpangan peran semacam ini diceritakan oleh penulis dengan panjang lebar pada bagian akhir sub-judul untuk mendukung tema yang terkait dengan nasehat untuk calon penghulu di Minangkabau.

Nasehat keempat yang disampaikan Siti Budiman kepada Muhammad Arif terkait dengan kehidupan berumah tangga. Nasehat ini dimuat pada sub-judul yang kedua belas (Nasehat Kepada Muhammad Arif Kalau Akan Berkawin) (Syekh Sulaiman Arrasuli, 1938). dan dirangkai dalam cerita yang meliputi pemilihan jodoh, etika di tengah keluarga perempuan (samando), kewajiban suami dan tanggung-jawab orang tua. Dalam memilih perempuan, Siti Budiman menyampaikan kepada Muhammad Arif agar memilih seseorang yang memiliki rasa malu, sopan santun dan berbudi baik. Kehadiran Muhammad Arif dan etika di tengah keluarga isteri (samando) mendapat ruang yang lebih banyak dalam cerita pada sub-judul ini. Substansi pesan berhubungan dengan perilaku yang mesti diperankan oleh Muhammad Arif, yaitu perilaku yang sesuai dengan alur dan patut. Untuk mendukung pesan ini, penulis menjelaskan beragam jenis samando di Minangkabau yang terdiri samando kacang miang, langau hijau, kutu dapur, lapiek buruek, bapak paja dan ninik mamak. Terkait kewajiban suami, Siti Budiman menyampaikan kepada Muhammad Arif beberapa nasehat yang berisi kewajiban suami dalam mendidik isteri dan memenuhi segala perlengkapan rumah tangga. Kemudian kewajiban sebagai bapak adalah mendidik anak dengan pengetahuan, terutama pengetahuan berhubungan dengan masalah ketuhanan.

Nasehat kelima yang merupakan bagian akhir isi cerita ditujukan kepada Siti Arifah dengan sub-judul Nasehat Kepada Siti Arifah Tentang Adab Bersuami (Syekh Sulaiman Arrasuli, 1938). Pesan yang disampaikan kepada anak perempuan Siti Budiman itu berada di seputar etika bersuami. Nasehat diawali oleh pesan dari Siti Budiman tentang sosok laki-laki yang pantas dijadikan suami, yaitu orang yang memiliki akhlak yang mulia. Setelah itu, pesan yang dikemas dalam bentuk cerita ini dilanjutkan dengan etika seorang isteri yang meliputi tugas-tugas melayani dan mempersiapkan perlengkapan suami. Etika isteri terhadap suami merupakan pesan utama yang ditampilkan oleh penulis dalam sub-judul ini. Hampir semua cerita di dalamnya berkisah tentang bagaimana seorang isteri memperlakukan suaminya dalam kehidupan berumah tangga. Sekalipun suami berpoligami, isteri mesti melayaninya dengan baik dan menerima perempuan yang baru dinikahinya itu dengan senang hati.

Pihak-pihak yang ditampilkan pada bagian isi terdiri dari Siti Budiman, Muhammad Shadiq (Faqih Arifin), Muhammad Arif, Siti Arifah, Tuanku Lebar Alam, Datuk Raja Adil, Siti Rohimah, Sipendengki, penghulu, ulama, orang tua dan pemuda-pemudi kampung Telaga Manis. Mereka terdiri dari keluarga besar Siti Budiman dan kelompok masyarakat lain untuk mendukung jalannya penceritaan. Relasi yang dibangun antar anggota keluarga bersifat damai dan jauh dari sikap yang berseberangan. Sedangkan relasi yang muncul di kalangan anggota keluarga Siti Budiman dan kelompok lain sering ditampilkan dalam bentuk perbedaan pandangan. Sikap Siti Budiman dan Sipedengki, misalnya, digambarkan teks memiliki pertentangan. Sipedengki yang berusaha untuk memisahkan kehidupan Siti Budiman dan Muhammad Shadiq secara tegas ditentang oleh perempuan tokoh utama dalam cerita. Pada sub-judul ini, jalan cerita tentang Siti Budiman tetap mendominasi untuk mendukung pengembangan tema utama, yaitu pelajaran bagi generasi muda. Cara semacam ini jelas mengajak pembaca untuk memahami keteguhan seorang perempuan Minangkabau yang bernama Siti Budiman.

Baca Juga: Bahasa Arab Saisuak Kala di MTI

Dalam berbagai sub-judul sering dijumpai alur cerita yang mempertentangkan nilai-nilai yang bersifat normatif dengan kenyataan sosial. Nasehat-nasehat yang terkait dengan nilai-nilai yang disampaikan oleh Siti Budiman kepada Muhammad Arif dan Siti Arifah dikembangkan dengan realitas sosial yang saling berseberangan. Cara semacam ini dilakukan oleh penulis untuk mempertajam isi pesan dan pengembangan tema dalam penceritaan secara keseluruhan. Sejalan dengan ini, penulis mengajak masyarakat pembaca memahami nilai-nilai tersebut dan kehadirannya sangat penting di tengah berbagai penyimpangan dalam kehidupan masyarakat.

Pada bagian penutup, Syekh Sulaiman Arrasuli menampilkan ringkasan tentang pembagian manusia. Pembagian manusia yang dimaksud terdiri dari pembagian penghulu, ulama, anak muda dan orang tua. Gaya penyajian juga dalam bentuk cerita yang dimulai dari pembagian penghulu, yaitu penghulu kayu gadang, penghulu nan di tanjuang, penghulu ayam gadang, penghulu buluh bambu, penghulu katu-katu, penghulu topi tua dan penghulu gadang sarawa. Penghulu yang benar-benar memerintah tugas dan kewajiban adalah penghulu kayu gadang yang berfungsi sebagai tempat berlindung bagi masyarakat. Cerita dilanjutkan dengan pembagian ulama yang terdiri dari ulama matahari, ulama sumbu lampu, ulama ulama nan pamacah, ulama banyak lancah, ulama bagai kancah, ulama ruak sabun dan ulama pangawit. Di antara mereka hanya ulama matahari yang berperan sebagai penerang dalam kehidupan masyarakat.

Anak muda sebagaimana diceritakan dalam teks juga memiliki beberapa pembagian, yaitu pemuda pasurau, pemuda palapau, pemuda parisau, pemuda pangusau dan pemuda lingkisau. Pemuda yang baik adalah pemuda pasurau yang biasa juga disebut dengan pemuda sejati yang memegang teguh nilai-nilai adat dan agama. Anak muda perempuan juga ditampilkan oleh penulis pada bagian penutup dan terdiri dari perempuan sejati, simarewan, simambang rewan dan gadih palawan. Perempuan sejati merupakan sosok yang terbaik dari mereka, yaitu perempuan yang memegang teguh ajaran Allah dan Nabi Muhammad SAW, serta mengikuti perintah kedua orang tua. Sedangkan pembagian orang tua diceritakan pada bagian akhir dan mereka terdiri dari orang tua karambie masak, orang tua bibir tak menentu, orang tua diamuek badak jantan dan orang tua riang-riang asam. Masing-masing kelompok memiliki karakter yang berbeda-beda dan mereka yang terbaik adalah orang tua karambie masak. Mereka memiliki pengaruh yang baik dalam kehidupan masyarakat (Syekh Sulaiman Arrasuli, 1938). []

Tulisan ini pernah dimuat di Mozaik Islam Nusantara, Padang: Imam Bonjol Press, 2014 dengan Judul Roman Kisah Muhammad Arif: Penghampiran Historiografi terhadap Karya Syekh Sulaiman Arrasuli. Diterbitkan kembali untuk tujuan pendidikan.

DAFTAR BACAAN

Azyumardi Azra (2003), Surau; Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi Modernisasi. Jakarta: Logos.

____________ (1985), Surau di Tengah Krisis dalan Dawan Rahardjo,(Ed)  dalam Pergulatan Dunia Pesantren, Jakarta: P3M.

Danil M. Chaniago (199*0, “Kegagalan Politik Pendidikan Islam Hindia Belanda di Minangkabau 1928: Kasus Goeroe Ordonanntie”, Laporan Penelitian. Padang: IAIN IB.

Deliar Noer (1990), Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.

Dobbin, Christine (2008), Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Paderi, Minangkabau 1784-1787. Jakarta: Komunitas Bambu.

Edison dan Nasrun Datuk Marajo Sungut (2010), Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau, Bukittinggi: Kristal Multimedia.

Edward (editor) (1981), Rowayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat. Padang: Islamic Centre Sumatera Barat.

Graves, Elizabeth E. (2007), Asal-Usul Elit Minangkabau: Respons terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Hamka (1967), Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Jakarta: Djajamurni.

Hendra Naldi (2008), “Booming” Surat Kabar di Sumatra’s Westkust. Yogyakarta: Ombak.

Irhash A. Shamad dan Danil M (2007), Islam dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau. Jakarta: Tintamas.

Kahin, Audrey (2008), Dari Pemberontakan Ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1928. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kafrawi Ridwan, Etal. ( Ed ) (1993), Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru.

Kato, Tsuyoshi (2005), Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Balai Pustaka.

Sabaruddin Ahmad (1979), Kesusasteraan Minangkabau Klasik dan Hubungannya dengan Kesusasteraan Indonesia. Jakarta: Departemen P dan K.

Saharman (2007), Pemikiran Ulama Perti tentang Masalah Khilafiyah dalam Ibadah, Sosial, dan Politik, (1928-1973), Padang: IAIN Press.

Sanusi latief (1988), Gerakan Kaum Tua di Minangkabau, disertasi. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah.

Syafnir Abunaim (1988),  Tuanku Imam Bonjol: Sejarah Intelektual Islam di Minangkabau, Padang: Esa.

Sulaiman Arrasuli (1939), Kisah Muhammad Arif, Bukittinggi: Drukerij Agam.

_______________(1923), Samarat al-Ihsan fi Wiladat Sayidid al-Insan, Bukittinggi: Drukerij Agam.

_______________(1928), al-Qaul al-Bayan, Fort de Kock: Mathba’ah Islamiyah.

_______________(2003), Pertalian Adat dan Syara’, alih tulisan oleh Hamdan Izmy, Jakarta: Ciputat Press.

Taufik Abdullah (1979), Adat dan Islam: Suatu Tinjauan Mengenai Konflik di Minangkabau. Padang: FKPS-IKIP Padang.

______________(1990), Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatera 1927-1933, terjemahan Lindayanti dan Guntur. Padang: Universitas Andalas.

Tim Peneliti Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang (2007), Riwayat Hidup 30 Ulama Sumatera Barat, Padang: Lembaga Penelitian IAIN.

Yulizal Yunus (2008), dkk, Beberapa Ulama di Sumatera Barat, Padang: UPTD Museum Adityawarman Sumatera Barat.

Yusran Ilyas (1995), Syekh H. Sulaiman Arrasuli: Profil Ulama Pejuang (1871-1970), Padang: Sarana Grafika. LABEL