Heran ketika ada teman-teman yang membalas kritik seseorang secara ilmiah, ada balasan kata-kata “anda belum maqamnya” atau “ilmu anda tidak seluas beliau”. Memangnya siapa yang menentukan maqam dan luasnya ilmu? Kedua, kata siapa kalau mengkritik harus satu maqam? Kadang kefanatikan kita pada satu tokoh bisa membuat kita mengeluarkan kata-kata seperti itu. Itu tandanya kita belum benar-benar memilih sesuatu karena Allah, tapi lebih karena faktor like dan dislike pada seorang tokoh tertentu.
Oke, saya masih bisa menerima jika jawaban seperti itu untuk membela ulama-ulama di level yang berbeda seperti Syekh al-Buty, Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Wahbah Zuhayly, Habib Umar, Syekh Nuruddin Itr, Habib Zein, Syekh Ali Jumah, Grand Syekh Ahmad Thayyib, Abuya Sayyid Muhammad, dan ulama lain di level mereka. Tapi perlu diketahui, sekadar share pengalaman, saya bermuamalah dengan sebagian mereka, bahkan berguru dengan sebagian mereka, bahkan berada di jalsah khas mereka, saya dapati mereka selalu mendengar kritik dari kami para murid, bahkan kadang kami berdebat, kadang di akhir perdebatan kami bisa sepakat dan kadang juga beda pendapat. Itu biasa. Dan saya tidak perlu berbasa-basi ilmiah untuk itu. Mereka dengan lapang dada menerimanya, setelah itu jalsah bisa kembali seperti semula. Itu hal biasa dalam suasana ilmiah. Jadi membanding-bandingkan maqam dalam permasalahan ilmiah itu sama sekali bukan manhaj ulama kita.
Nah, setelah itu aku ingin mengingatkan satu hal, kita punya standar tertentu dalam rujukan ilmiah, di mana dengan standar itu, kita dengan mudah membedakan mana ulama dan mana thalib ilm level atas, dan menengah, mana mubtadi(santri baru), mana yang cuma pintar berbicara. Itu semua ada standarnya. tidak bermodalkan like–dislike saja.
Di media sosial jika anda menemukan thalib level menengah apalagi muntahin, itu sudah sangat bagus, dan kita akan memujinya, dan mempromosikannya, apalagi jika dia bisa mempermudah ilmu. Karena jarang ada ulama apalagi level tinggi yang punya waktu untuk aktif di sosial media.
Tapi walau memuji, tetap saja, kita tidak menaikkan level seseorang lebih dari kemampuannya. Nah, kata-kata “dia lebih tinggi ilmunya” dari yang saat membalas kritik itu sebenarnya bisa langsung bisa kita minta bukti dengan adanya standar ulama mengenai level keilmuan, “mana bukti ente katakan demikian?”. Apakah dia menguasai kitab-kitab Syuruh Muktamad dan Hawasyi Muthawalat? Dalam ilmu kalam apakah dia bertalaqqy kitab Syarah al-Mawaqif? Atau bahkan sekadar mathali? Dalam ilmu fikih di mana dia mengkhatamkan Tuhfatul Muhtaj? Dalam mantiq dengan siapa dia mengkhatamkan Syarah Syamsiyah, misalnya? Dalam ushul fikih dengan ulama mana mengkhatamkan kitab Muslim Talwih, misalnya? Dalam Bahasa Arab di mana dia mengkhatam Mulla Jami? Dalam ilmu hadis dengan siapa dia bermulazamah Ilal Abi Hatim atau bahkan sekadar Hadyu Sary? Kalau belum ada, maka dia belum tembus untuk level muntahin. Bahkan masih level awal tingkat menengah.
Tentu saja untuk zaman ini orang di level bisa khatam Iqtishad fil Itikad, Tadriburrawi, Itqan bersama guru sudah sangat bagus, kita bisa mengatakan dia alim. Tapi menyebutnya ulama?! Apalagi ulama besar? Tunggu dulu. Jangan rusak standar ulama hanya untuk membela satu dua orang. Jangankan memberi gelar untuk orang yang belum mengkhatamkan kitab level muntahi tadi. Sudah khatam pun belum tentu ulama. sampai ulama mengatakan dia sudah benar menguasainya, apalagi yang belum khatam.
Sekarang bagaimana dengan otodidak? Orientalis pun bisa. Pengakuan ulama mutakhasis dalam satu fan, jadi jangan sembarang meng-ulama-kan seseorang. Oh, memujinya sebagai orang alim? Silahkan, selama cukup syarat. Merekomendasikan agar membaca tulisannya atau mendengar videonya? Silahkan, jika memang dilihat dia menguasai, tapi meng-ulama-kan? Tunggu dulu!
Jika ingin mengatakan ilmunya sangat tinggi lihat dulu sanad keilmuan dan mulazamahnya. Standar ini semua bisa diterapkan tanpa perlu merendahkan seseorang, cukup mengatakan Ia beliau alim, Ia beliau thalib ilm yang bagus, tapi tetap saja beliau belum bisa dijadikan rujukan, apalagi ditinggikan melebihi apa yang beliau kuasai. Untuk awam sangat bagus diikuti, tapi thalib ilm mutaqaddim dipaksa mengikuti pendapatnya? Tentu saja mereka tidak mau. Mereka punya level sendiri. Letakan sesuatu pada tempatnya. Jangan berlebihan. Mau mengatakan fulan lebih alim dari fulan? Gampang saja, lihat saja buku apa yang telah beliau talqqqi dan ulama mutakhasis mengatakan “Ia, dia telah menguasai kitab ini dengan benar”. begitulah tradisi ilmiah Aswaja bertahan.
Baca Juga: Tasawuf Itu Ilmu dan Ilmiah, Bukan Sekadar Kata Indah
Sekarang bagaiamana kalau maqamnya lebih tinggi? Lah, siapa yang mengakui. tidak ada yang tahu kecuali Allah. Atau kalau pun manusia yang paling bisa dipercaya itu, ya, wali masyhur yang menyepakati terhadap maqam runaniyah seseoang. Itupun dhanniyat yang tidak bisa dijadikan hujah dalam membantah sebuah argumen ilmiah. Walaupun demikian orang yang melewati standar itu belum tentu lebih baik dan lebih bermanfaat dari yang santri pemula, di lapangan semua tergantung keikhlasan, tapi untuk sebuah pembahasan ilmiah, ya, itu standarnya. Jangan dilebihkan dan jangan dikurangkan. Sebagaimana banyaknya pengikut dan viral bukan standar manfaat, tapi keikhlasanlah yang jadi standar. Nah, itu bukan ranah manusia yang membandingkan.
Leave a Review