Membentuk Masyarakat Madani dari Spirit Hijrah (Bag I)
Tahun baru Islam (on the new hijri year), dalam kalender Indonesia ditulis tahun hijrah. Dalam tatanan sejarah tahun hijrah dimulai dan dibentuk masa Khalifah Umar Ibn al Khattab ra, agar umat Islam mempunyai kalender yang tidak meniru atau taqlid kepada kalender kaum Nasrani. Zaman Rasulullah dan Khalifah Abu Bakar as Shidiq ra, masih belum dikenal nama-nama tahun. Sehingga pada waktu itu, penamaan tahun selalu dikaitkan dengan kejadian dan peristiwa, seperti ‘aam al fil (tahun gajah), tahun ketiga dari kenabian, tahun pertama sudah hijrah dan seterusnya. Hal ini menyulitkan kaum muslimin ketika itu. Oleh karena itu, pada masa kekhalifahan Umar Ibn al Khattab ra, tepatnya tahun 17 H dan merupakan tahun keempat dari kekhalifahannya[1], dirintislah sistem penanggalan Islam.
Para sahabat Nabi termasuk Umar berikhtiar mencari dan memproses dibuatnya kalender hijrah yang berbeda dengan kalender buatan Nasrani yaitu kalender masehi. Tidak lama kemudian disepakatilah tahun dimana Nabi Muhammad saw hijrah dari Makkah ke Madinah sebagai tahun pertama kalender Islam, lalu disepakati dinamai tahun hijrah. Sedang penggunaan bulan (qamar) dijadikan rujukan penerapan awal bulan pada kalender hijrah ini. Landasannya para sahabat senior berijtihad dengan mencari dalam hadits-hadits dan kesaksian mereka ketika berinteraksi langsung atau tidak langsung dengan Nabi Muhammad saw. Setelah ijtihad itu, ditetapkan 12 bulan sebagai bulan-bulan yang ada dalam tahun hijrah, hal ini sesuai bunyi QS. at Taubah ayat 36,[2] dan nama bulan diawali dengan Muharram dan diakhiri Dzulhijjah.[3]
Dimulainya tahun kalender hijrah saat momentum hijrah Nabi saw ke Madinah,[4] karena momentum hijrah ini merupakan moment bersejarah sebab dari situlah, eksistensi Islam dan kemapanan keimanan pengikut Nabi mulai terlihat dan diperhitungan, dan moment ini sekaligus juga sebuah perubahan dari suasana yang kelam, terancam dan terusir menuju kepada suasana yang merdeka, bebas dan damai. Karena, disamping hijrah Nabi ke Madinah adalah hijrah perintah dari Allah swt, hijrah ini juga mempunyai arti yang sangat besar bagi eksistensi Islam di bumi ini sehingga disebut masyarakat madani. Dalam zaman baru itu pula betapa amal usaha serta langkah-langkah yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya, baik menghadapi umat Islam sendiri maupun berhadapan dengan dunia luar telah merubah tatanan kehidupan bangsa Arab saat itu.
Peristiwa perjalanan hijrah Nabi bersama para sahabat dapat dipetik hikmah bahwa didasarkan pada keinginan untuk berpindah dari situasi yang buruk (al-syarr) ke/menuju situasi yang baik (al-khayr). Oleh karena itu, keinginan untuk berhijrah harus dilandasi spirit memperoleh kebaikan yang lebih baik dan bermakna. Memaknai hijrah tidak hanya sebatas peristiwa sejarah belaka, tapi juga mengandung spirit kehidupan bermanfaat dan berperadaban.
Sepanjang masa selalu ada pergantian tahun hijrah, pergantian tahun selalu dimaknai dan diartikan berbeda-beda, bergantung cara masing-masing orang merayakannya. Tahun hijrah adalah bagian yang penting dan tak terpisahkan dari Tarikh Islam, ia merupakan tonggak sejarah Islam, dimana kebangkitan Islam menemukan momentum yang tepat. Hijrah sesungguhnya menempati posisi yang utama. Sebab, peristiwa ini bukan saja menandai babak baru penanggalan Islam melainkan juga menjadi titik balik peradaban Islam terkonstruksi dengan gemilang. Karena itulah, setiap tahunnya kita memperingati peristiwa hijrah sebagai tahun baru Islam, harapannya tentu disamping memutar kembali klise peristiwa fenomenal itu, juga mencoba memunguti makna hijrah secara aktual dan kontekstual.
Baca Juga: Sulaiman Arrasuli Ulama Pujangga nan Ahli Adat
Pengertian dan Makna Hijrah
Kata hijriyah atau hijrah di dalam kamus Hans Wehr (A Dictionary of Modern Written Arabic, Third Printing, London: George Allen and Unwin LTD, 1971), diambil dari kata hajar-a–yahjur-u yang berarti to emigrate, to dissociate, etc., yang secara sederhana dalam bahasa Indonesia berarti berpindah dari satu tempat ke/menuju tempat yang lain.
Dalam bahasa Arab term hijrah berasal dari akar kata ( هـ ج ر) yang mengandung dua arti:
1). Memutuskan, misalnya seseorang hijrah meninggalkan kampung halamannya menuju kampung lainnya (الجرج من بلد اجرى ), atau berubah dari satu keadaan kepada satu keadaan lain Ini berarti ia memutuskan hubungan antara dirinya dengan kampungnya.
2). Menunjukkan pada arti kerasnya sesuatu ( الهجر الهجير الهاجرة ) berarti tengah hari di waktu panas sangat menyengat (keras).
Imam al Asfahani cenderung pada arti pertama, menurutnya hijrah berarti berpisahnya seseorang dengan yang lain, baik berpisah secara badaniah, lisan, atau dengan hati. Meninggalkan suatu daerah berarti berpisah secara fisik (badan). Membenci seseorang berarti memisahkan dirinya dengan orang lain secara psikhis (qalbiyah), dan secara lisan berarti tidak mau berbicara dengan orang lain. Ibn Faris dan al Asfahani dalam memaknai term hijrah hanya semata-mata melihat dari sisi bahasa saja tanpa mengaitkan dengan aspek lainnya. Berdasarkan pengertian bahasa ini, maka orang yang tidak saling berbicara (saling membenci) adalah termasuk hijrah.
Meskipun berbeda pendapat dalam mengartikan kata hijrah, para ahli bahasa berkesimpulan bahwa hijrah adalah menghindari/menjauhi diri dari sesuatu, baik dengan raga, lisan dan hati. Hijrah dengan raga berarti pindah dari suatu tempat menuju tempat lain. Hijrah dengan lisan berarti menjauhi perkataan kotor dan keji. Sementara hijrah dengan hati berarti menjauhi sesuatu tanpa menampakkan perbuatan. Ini berdasarkan hadis dari Abdullah bin Habsyi, bahwa Rasulullah saw bersabda yang dirmaksud dengan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah. (HR. Abu Dawud).
Secara syar‘i, para fukaha mendefinisikan hijrah ialah keluar dari darul kufur menuju Darul Islam.[5] Definisi hijrah semacam ini diambil dari fakta hijrah Nabi saw sendiri dari Makkah (yang saat itu merupakan darul kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam), pindahnya Nabi dan umatnya untuk kelangsungan dakwah Islam. Pengertian hijrah dalam versi tidak akan pernah akan terjadi lagi, sebagaimana dalam hadis:
لاهجرة بعد الفتح ولكن جهاد ونية واذاستنفرتم فانفروا – رواه بخارى
Artinya: Tidak akan pernah ada hijrah pasca penaklukan Kota Makkah (fath al makkah), akan tetapi yang dimaksud hijrah setelah ini adalah jihad, dan niat. Jika kamu diminta untuk berperang maka jangan menghindar. (HR. Bukhari).
Hijrah dalam terminologi ini, mengandung dua makna, yaitu hijrah makani dan maknawi. Hijrah makani adalah hijrah secara fisik berpindah dari suatu tempat yang kurang baik menuju yang lebih baik, dari negeri kafir menuju negeri Islam. Adapun hijrah maknawi artinya berpindah dari nilai yang kurang baik menuju nilai yang lebih baik, dari kebathilan menuju kebenaran, dari kekufuran menuju ke-Islaman.
Makna terakhir oleh Ibnu Qayyim dinyatakan sebagai al-hijrah al-haqiqiyyah. Alasannya, hijrah fisik adalah refleksi dari hijrah maknawi itu sendiri. Dua makna hijrah tersebut sekaligus terangkum dalam hijrah Nabi saw dan para sahabatnya ke Madinah. Secara makani jelas mereka berjalan dari Makkah ke Madinah menempuh padang pasir sejauh kurang lebih 450 km. Secara maknawi jelas mereka hijrah demi terjaganya misi Islam. Nabi saw dan para sahabat hendak membangun komunitas yang selanjutnya dikenal dengan masyarakat madani. Bangunan peradaban dalam masyarakat di Kota Madinah itulah yang kemudian memancar dan mampu memberi warna dunia dengan segala pancaran cahaya keimanan, kekuatan aqidah yang membentang, sinaran budi yang menembus jagad semesta raya.
Konstruksi bangunan peradaban Islam dimulai sejak berawalnya hijrah. Secara historis faktual, masyarakat Madinah sebagai komunitas yang menerima kedatangan kaum Muhajirin telah dengan sepenuh hati membuka lebar kesempatan untuk bergabung dan menempati wilayah Yatsrib sebagai tempat hunian yang layak dan nyaman.
Hijrah pengertian saat ini adalah meninggalkan hal-hal negatif dalam diri sendiri dengan mengubah sikap, mental, akhlak, dan gaya hidup ke arah yang lebih baik menurut ajaran dan tuntunan Islam hingga hari kiamat.
Baca Juga: Pentingnya Mengaji Akidah dari al-Aqwal al-Mardhiyyah
Kedudukan Hijrah
Hijrah merupakan simbol iman yang hakiki (manifsetasi iman sejati), bahwa seorang yang berhijrah berarti telah mengikrarkan diri dengan beriman kepada Allah swt dan Rasul-Nya, sedangkan aplikasi dari keimanan tersebut adalah siap dan rela meninggalkan segala sesuatu yang akan terjadi, seperti hijrah demi mempertahankan akidah yang diyakini.
Hijrah adalah urusan yang berat dan sulit, terdapat onak dan duri, terkadang harus mengarungi lautan, mendaki puncak-puncak gunung, hidup di antara serangga berbisa dan binatang-binatang buas. Hijrah ini sangatlah berat, karena di samping harus memiliki kesabaran, juga dituntut memiliki ketahanan ideologi dan keyakinan agar tidak mudah terbujuk rayuan dan godaan dari kenikmatan dunia yang fana, dan memiliki ketangguhan diri dan tidak mudah lentur saat mendapatkan cobaan dan siksaan yang setiap saat menghadangnya, berusaha membedakan diri walaupun mereka hidup di tengah-tengah mereka, karena ciri khas seorang muslim sejati “yakhtalitun walaakin yatamayyazun” (bercampur baur namun memiliki ciri khas tersendiri/tidak terkontaminasi).
Padahal jiwa manusia berdasarkan tabiatnya lebih menyenangi kampung halamannya dan senang melihat wajah-wajah yang akrab di matanya dalam masa yang panjang. Meskipun demikian, jika seorang yang beriman merealisir ibadah itu (hijrah) dan mengiringinya dengan berjuang, maka sesungguhnya dia layak untuk mengharap rahmat Allah. Oleh karenanya hijrah mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di sisi Allah swt, hijrah menjadi identik dengan kata benar. Allah swt menyebut orang-orang yang berhijrah dengan sebutan orang-orang yang benar. Akan tetapi Allah membuat orang-orang yang menang bukan semata orang-orang yang benar.[6] Maka dari itu derajat shiddiq (benar) itu lebih tinggi, karena ia selalu berkaitan dengan kedudukan hijrah, yang mana jihad itu tidak akan sempurna tanpanya.[7]
Hijrah merupakan ujian dan cobaan, karena setiap orang yang hidup pasti akan mendapatkan suatu cobaan, terutama bagi orang yang beriman, sebesar apa keimanan seseorang maka sebesar itu pula cobaan, ujian dan fitnah yang akan dihadapi. Meninggalkan harta, keluarga, sanak famili dan tanah air merupakan cobaan yang sangat berat, apalagi tempat yang dituju masih mengambang, sangat tidak bisa dibayangkan akan kerasnya ujian dan cobaan yang dihadapi saat manusia sudah mengikrarkan diri sebagai hamba Allah. Oleh karenanya hijrah sama derajatnya dengan jihad, karena hijrah merupakan salah satu cara mempertahankan akidah dan kehormatan diri, maka Allah swt mensejajarkannya dengan jihad fi sabilillah yang tentunya ganjarannya pun akan sama dengan jihad.[8]
Baca Juga: Membaca Kemunculan-Jamaah Shalahuddin, Lembaga Dakwah Kampsu (LDK) Tertua di Indonesia
Hijrah Tempo Dulu
Peristiwa hijrah Nabi saw dan sahabatnya paling tidak, memberikan gambaran sebagai berikut:
1. Pemisah antara kebenaran dan kebatilan antara Islam dan kekufuran, serta antara Darul Islam dan darul kufur. Paling tidak, demikianlah menurut Umar Ibn al Khattab ra ketika beliau menyatakan: Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. (HR Ibn Hajar).
2. Tonggak berdirinya Daulah Islamiyah (Negara Islam) untuk pertama kalinya. Dalam hal ini, para ulama dan sejarahwan Islam telah sepakat bahwa Madinah setelah hijrah Nabi saw telah berubah dari sekadar sebuah kota menjadi sebuah negara Islam, bahkan dengan struktur yang menurut cendekiawan Barat, Robert N. Bellah mengatakan terlalu modern untuk ukuran zamannya, saat itu Nabi Muhammad saw sendiri yang menjabat sebagai kepala negaranya.
3. Awal kebangkitan Islam dan kaum Muslim yang pertama kalinya, setelah selama 13 tahun sejak kelahirannya, Islam dan kaum Muslim terus dikucilkan dan ditindas secara zalim oleh orang-orang kafir Makkah. Demikianlah sebagaimana pernah diisyarakatkan oleh Aisyah ra.:
كَانَ الْمُؤْمِنُونَ يَفِرُّ أَحَدُهُمْ بِدِينِهِ إِلَى اللهِ تَعَالَى وَإِلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَخَافَةَ أَنْ يُفْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَّا الْيَوْمَ فَقَدْ أَظْهَرَ اللهُ اْلإِسْلاَمَ وَالْيَوْمَ يَعْبُدُ رَبَّهُ حَيْثُ شَاءَ
Artinya: Dulu ada orang mukmin yang lari membawa agamanya kepada Allah dan Rasul-Nya karena takut difitnah. Adapun sekarang (setelah hijrah,) Allah swt benar-benar telah memenangkan Islam, dan seorang mukmin dapat beribadah kepada Allah swt sesuka dia. (HR al Bukhari).
Pasca hijrah ketertindasan, diskriminasi, ketidakadilan dan kemalangan umat Islam berakhir sudah, kemudian Islam bangkit dan berkembang pesat hingga menyebar ke seluruh Jazirah Arab serta mampu menembus berbagai pelosok belahan dunia.
Hijrah Masa Kini
Sungguh spirit hijrah rasanya masih relevan untuk diperbincangkan agar direfleksikan dalam kehidupan person maupun kolektif, berbangsa dan bernegara dengan moral addin(regelius) menuju masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai sipil dalam wadah masyarakat madani (social sovety) sebagaimana yang dipraktekkan oleh Rasulullah saw setelah kemenangan Kota Makkah (fathul makkah) terkenal dengan konsep Piagam Madinah dimana masyarakat dalam kehidupan sosialnya bercampur baur tanpa membedakan ras, suku dan keyakinan, hidup saling menghargai dan berdampingan dibawa payung panji kebesaran Piagam Madinah langsung di bawah komando Nabi Muhammad saw, selaku imamul ummah (kepala negara) sebagai otoritas tertinggi kekuasaan umat Islam dan juga bagi non Islam, dan sekaligus sebagai nabi dan rasul.
Dalam konteks kekinian hijrah yang disambut setiap tahun lebih kepada memperingati peristiwa penghijrahan Rasulullah dan sahabat dari Kota Makkah al Mukarramah ke Kota Madinah al Munawwarah. Dari peristiwa hijrah ini menyingkap satu perjuangan yang pantang menyerah atau mengaku kalah di samping menjadi garisan pemisah di antara kebenaran dan kebatilan. Hijrah juga diibaratkan sebagai satu jembatan yang menghubungkan antara dua tahap masa perjuangan Nabi yaitu periodesasi Makkah selama lebih kurang 13 tahun, dan periodesasi Madinah selama lebih kurang 10 tahun.
Peristiwa hijrah, tentunya masih sangat relevan untuk dikembangkan dalam konteks kekinan dalam rangka menunjang pembangunan nasional. Untuk maksud tersebut, maka hijrah dalam konteks masa kini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, yaitu:
1.Hijrah mental, yaitu hijrah dibidang mental berupa pengendalian nafsu ammarah ke nafsu lawwamah dan nafsu muthmainna Nafsu ammarah senantiasa mengikuti perintah nafsu, tanpa mempedulikan pertimbangan akal dan budi. Nafsu lawwamah ialah nafsu yang sudah mawas diri dari hal-hal yang dimurkai Allah swt. Sedangkan nafsu muthamainnah ialah kecendrungan jiwa yang selalu mengembalikan segala perkara kepada Allah swt dan tidak pernah mengembalikan urusan menurut nafsu serakahnya.
2.Hijrah kultural, yaitu hijrah dari keterbelakangan menuju kemajuan. Keterbelakangan kita masih banyak, jumlah anak dengan jumlah yang dapat sekolah belum memadai, begitu pula lainnya.
3.Hijrah sosial, yaitu hijrah dari keadaan sosial yang terpecah-pecah kepada keadaan sosial yang bersatu padu, sebab wujud persatuan dan kesatuan adalah dasar bagi ketahanan nasional.
4.Hijrah material, yaitu hijrah dalam ekonomi. Hijrah dari ekonomi yang kurang kepada ekonomi yang layak, sebab ajaran Islam mengharuskan bekerja keras untuk mendapatkan kebahagian di dunia dan di akhirat.
Konseb hijrah ini, telah dicanangkan oleh bangsa Indonesia sejak masa reformasi. Namun sangat disayangkan, pelaksanaan reformasi ataupun hijrah tersebut belum dapat dilaksanakan dengan sepenuh.[]
[1] Lihat Ibnu Hajar, Fath al-Bari, jilid 7, hlm. 268
[2] Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.
[3] Nama-nama bulan tahun hijriyah, yaitu: Muharram, Shafar, Rabi’ul Awal, Rabi’ul Akhir (tsani), Jumadal Awal, Jumadal Akhir (tsani), Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah.
[4] Perlu diketahui bahwa sebenarnya secara historis, Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah, terlahir dan wafat juga bulan Rabiul Awwal.
[5] Lihat An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, jilid II, hlm. 276. Darul Islam dalam definisi ini adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariat Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan yang keamanannya berada di tangan kaum Muslim. Darul kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan syariat Islam dan keamanannya bukan di tangan kaum Muslim, sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam.
[6] Allah berfirman: (Yaitu) orang-orang fakir muhajirin yang diusir dari kampung halaman mereka dan dari harta mereka karena menuntut karunia Allah dan keridaan-Nya. Dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. al Hasyr ayat 8).
[7] Allah berfirman: Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya akan memperoleh tempat pindah yang banyak di bumi serta kelapangan rizki. (QS. an Nisa’ ayat 100).
[8] Lihat QS. al Baqarah ayat 218 dan QS. al Anfal ayat 72 dan 74.
Redaksi tarbiyahislamiyah.id menerima tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email: redaksi.tarbiyahislamiyah@gmail.com
Membentuk Masyarakat Madani dari Spirit Hijrah (Bag I) Membentuk Masyarakat Madani dari Spirit Hijrah (Bag I) Membentuk Masyarakat Madani dari Spirit Hijrah (Bag I) Membentuk Masyarakat Madani dari Spirit Hijrah (Bag I) Membentuk Masyarakat Madani dari Spirit Hijrah (Bag I) Membentuk Masyarakat Madani dari Spirit Hijrah (Bag I)
Leave a Review