Kebekuan pemikiran di tubuh Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) disinyalir berasal dari budaya taklid yang membuta. Sikap dan prilaku taklid tersebut telah membuat lemahnya pemikiran di tubuh Perti, jika boleh dikatakan tidak berkembang sama sekali.
Taklid dalam artian menerima pendapat orang lain tanpa mengenal dalilnya telah dikatakan oleh Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dalam kitabnya, an-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat. Syeikh Ahmad Khatib merupakan seorang ulama Minangkabau yang mendapatkan derajat terhormat sebagai mufti di Masjidil Haram. Beliau adalah putra pertama Indonesia yang mendapatkan gelar tersebut dan kemudiannya menjadi guru bagi para alim ulama di Sumatera Barat khususnya pada waktu itu. Di antara murid Syeikh Ahmad Khatib yang berasal dari Sumatera Barat yaitu Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, Syeikh Muhammad Jamil Jao, Syeikh Muhammad Jamil Jambel, Syeikh DR. Karim Amrullah, Syeikh DR. H. Abdullah Ahmad dan lain sebagainya. Derajat kemuliaan sebagai mufti di Masjidil Haram itu kemudiannya diperoleh pula Syeikh Nawawi al-Bantani dan Syeikh Yasin al-Fadani.
Pelaku taklid terdiri dari orang-orang yang tidak mampu melakukan ijtihad. Pelaku taklid pada umumnya tidak mengetahui sama sekali dari mana sumber (tempat) pegangan dari pendapat yang diikutinya dan tidak mengetahui pula dari mana asal pendapat yang diperpeganginya. Dalam budaya taklid para pelakunya biasanya hanya menyebutkan “ini pendapat guru saya dan saya mengikutinya” atau “saya telah membaca sebuah kitab dan pendapat di dalamnya saya ikuti dan saya tidak mengetahui siapa yang berpendapat dalam kitab tersebut”. Pelaku taklid biasanya mengklaim bahwa pendapat yang diikutinya itulah yang benar sedangkan yang berbeda dengannya dianggap salah atau keliru. Klaim-klaim kebenaran biasanya sangat gampang terjadi dalam masyarakat yang berbudaya taklid.
Taklid biasanya dilakukan terhadap hukum Islam (fiqh) sebagai hasil dari ijtihad seorang mujtahid. Hukum Islam yang bermakna fiqh tersebut kebenarannya hanya bersifat relatif tidak absolut dan dapat pula mengalami perubahan dan kontekstualisasi sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman. Hukum Islam (fiqh) tersebut menurut Dedi Ismatullah merupakan aturan-aturan Allah sebagai produk ijtihad para mujtahid yang bersifat dinamis, bergerak mengikuti perkembangan masyarakat pada setiap zaman dan tempat. Artinya, ke mana masyarakat itu bergerak, kapan dan di mana masyarakat itu berada, hukum Islam pun bergerak mengikutinya dan berada di sana, menetapkan aturan-aturanya untuk menjadi rujukan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi.
Dalam masyarakat yang mengedepankan budaya taklid seperti dalam tubuh Perti maka nalar-nalar ijtihad diberangus habis atau dibiarkan hidup bagaikan di atas batu karang. Semua bentuk nalar ijtihad dikekang walaupun Islam dangat menganjurkannya. Jika diperhatikan dari kitab-kitab usul fiqh yang diajarkan di madrasah-madrasah Perti sangat tidak layak sebenarnya nalar ijtihad itu dikekang dan dibiarkan mati. Sangat ironis sekali jika usul fiqh sebagai ilmu dalam mengistimbatkan hukum syara’ dari Kitab, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas diajarkan di madrasah-madrasah Perti tetapi budaya taklid tumbuh subur dalam kehidupan santri-santrinya. Para santri yang menuntut ilmu di madrasah Perti selama tujuh tahun dengan tujuh jenjang kenaikan kelas pada dasarnya mereka diajarkan kitab-kitab yang berkaitan dengan usul fiqh murni.
Kitab-kitab usul fiqh yang diajarkan itu misalnya kitab Syarh al-Waraqat, karya Imam Jalal al-Din al-Mahalli, Ghayatul Usul Syarh Lub al-Usul, karya Syaikul Islam Abu Zakariya al-Anshari, Mulkhis Jam’u al-Jawami’, karya Ibn Subki, Lathaif al-Isyarat, karya Syeikh Abdul Hamid bin Muhammad, dan Jam’u al-Jawami’, karya Taj al-Din Abd al-Wahab al-Subki. Kitab-kitab tersebut pada dasarnya sebagian atau semuanya diajarkan di madrasah-madrasah Perti. Kitab Jam’u al-Jawami’ karya Taj al-Din Abd al-Wahab al-Subki atau Ghayatul Usul Syarh Lub al-Usul, karya Syaikul Islam Abu Zakariya al-Anshari merupakan kitab usul fiqh yang diajarkan pada siswa (santri) tingkat akhir.
Apabila dilihat dari berbagai macam kitab usul fiqh yang diajarkan tersebut sebenarnya kalangan jamaah Tarbiyah Islamiyah yang telah mengecam pendidikan selama tujuh tahun telah mempelajari dan memahami nalar ijtihad dalam mengistimbatkan hukum Islam (fiqh) tersebut. Jadi, kepada para pelaku taklid yang sudah pernah belajar usul fiqh dianjurkan kembali untuk memperdalam pemahaman usul fiqhnya. Usul fiqh terdiri dari dua kata, “usul” dan “fiqh”. Kata “usul” berarti sesuatu yang dibangun di atasnya selainnya seperti pondasi yang dibangun di atasnya sebuah dinding. Lawan dari kata usul adalah furu’ yang berarti sesuatu yang dibangun di atas selainnya seperti dinding dibangun di atas pondasinya. Sedangkan fiqh secara etimologi berarti paham dan dalam pengertian terminologinya fiqh berarti mengetahui hukum-hukum syara’yang jalan penetapannya menggunakan ijtihad.
Syeikh Ibrahim al-Bajuri juga memaknai fiqh secara etimologi dengan makna faham tersebut. Dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri ‘Ala Ibn Qasim al-Ghazhi, beliau mendefinisikan faham dengan “melukiskan rupa sesuatu di otak”. Sedangkan secara terminologi fiqh didefinisikan oleh al-Bajuri dengan “ilmu dengan hukum-hukum syara’ yang amaliyah lagi diusahakan dari dalil-dalilnya yang terperinci”. Pengertian fiqh yang dibuat oleh al-Bajuri sama dengan pengertian fiqh yang dibuat oleh Ibn Subki dalam kitab Jam’u al-Jawami’ fi al-Usul. Sedangkan pengertian fiqh yang berbeda dengan pengertian yang dibuat oleh Bajuri adalah pengertian fiqh yang dibuat oleh Imam Juwaini dan Imam Ahmad Syaibani. Juwaini dalam kitabnya, al-Waraqat mendefinisikan dengan “mengenal hukum-hukum syara’ yang diperoleh secara ijtihad”. Sedangkan Syaibani dalam Sittiina Masalah” mendefinisikan dengan “ilmu dengan hukum-hukum syara’ yang bersifat ijtihadiyah”. Di samping itu Zarkasi mendefinsikan dengan “mengenal hukum-hukum yang mendatang baik dengan nash maupun istimbath”.
Penerapan ijtihad dalam terminologi usul fiqh difokuskan pada masalah furu’ semata sebagaimana dikatakan oleh Syaikul Islam Abu Zakariya al-Anshari, al-ijtihad fi al-furu’ (ijtihad hanya belaku dalam masalah furu’). Syeikh Ahmad Khatib mendukung pendapat Abu Zakariya al-Anshari tersebut dan menambahkan bahwa yang dimaksud dengan ijtihad secara umum yaitu ijtihad pada furu’ (ijtihad fi al-furu’) dengan mengistimbatkannya dari dalil-dalil. Istilah ijtihad berasal dari akar katanya, j-h.d yang berarti al-thaqah (mencurahkan segala kemampuan) dan al-musaqqah,berarti menanggung beban kesulitan. Suatu kekeliruan besar akan terjadi apabila menempatkan konsep ijtihad pada sesuatu yang mudah dan ringan.
Secara etimologi Syeikh Ahmad Khatib mengatakan bahwa ijtihad berarti pengerahan segala kemampuan dalam menghasilkan sesuatu. Sedangkan secara terminologi ijtihad menurut Imam Juwaini merupakan pengerahan segala kemampuan dalam mencapai maksud. Ijtihad menurut Ibn Subki merupakan pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang faqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat zhan mengenai hukum syara’. Dan al-Qadhi al-Baidhawi mendefinisikan ijtihad dengan mencurahkan kemampuan maksimal dalam upaya menggali hukum-hukum syara’. Sedangkan Abu Zahrah dan Ibn Humam mendefinisikan ijtihad dengan pengerahan kemampuan fuqaha dalam menggali hukum ‘amaliyah dari dalil-dalil yang rinci.
Berdasarkan pengertian ijtihad yang dibuat oleh para ahli usul fiqh di atas dapat dipahami bahwa ijtihad itu merupakan sebuah proses penetapan hukum fiqh yang kebenarannya berada pada tingkat zhan yang dilakukan oleh seorang mujtahid yang merujuk kepada sumber hukum dan dalil-dalilnya. Hasil ijtihad seorang mujtahid yang berasal dari dalil zhanni maka hasilnya pun bersifat zhan. Artinya, fiqh itu merupakan produk ijtihad para mujtahid di mana kesimpulan hasilnya juga bersifat zhann dan sesuatu yang diambil dari dalil-dalil zhanni maka hasilnya juga berupa zhann. Kategori zhann seorang mujtahid yang diperoleh dari dalil zhanni berbeda dengan zhann mujtahid yang lain meskipun dari dalil zhanni yang sama. Perbedaan zhann para mujtahid itulah yang melahirkan akan perbedaan (ikhtilaf) pendapat tentang furu’ (fiqh). Di samping itu, pengertian ijtihad di atas secara eksplisit menunjukkan bahwa pelaku ijtihad (mujtahid) untuk bersungguh-sungguh dalam segala hal, baik dari segi fisik maupun psikisnya, terutama kapasitas keilmuannya. Sangat wajarlah kiranya para ulama usul kemudiannya membuat persyaratan-persyaratan ketat yang cukup selektif bagi seorang mujtahid.
Persoalan ikhtilaf (perbedaan pendapat) dalam masalah furu’ dapat dikatakan sebagai salah satu fitrah manusia. Dalam masalah agama ikhtilaf telah terjadi sejak zaman Rasulullah saw. sebagai contoh kasus dua orang sahabat Nabi yang tengah dalam perjalanan, lalu tiba waktu shalat, sedangkan keduanya tidak mendapatkan air untuk berwuduk. Mereka bertayamun dan melakukan shalat bersama-sama. Setelah itu mereka menemukan air untuk berwuduk dan waktu shalat belum habis. Salah seorang diantaranya berijtihad untuk berwuduk dan mengulangi shalatnya, sedangkan teman yang lainnya juga berijtihad bahwa shalatnya itu sah dan tidak perlu mengulanginya. Ketika keduanya sampai di Madinah dan melaporkan pengalamannya kepada Nabi. Kepada sahabat yang mengulangi shalatnya Nabi SAW bersabda, “kamu memperoleh dua pahala”, lalu kepada sahabat yang tidak mengulangi lagi shalatnya, Nabi berkomenta, “kamus sudah sesuai dengan sunnah”.
Ikhtilaf pendapat yang terjadi pada masa Nabi tidak pernah berlarut-larut apalagi sampai menimbulkan perselisihan dan perpecahan karena setiap terjadi ikhtilaf ada kata pemutusnya dari Nabi SAW. Ikhtilaf yang menimbulkan perpecahan mulai terjadi sejak zaman sahabat berawal dari wafatnya Rasulullah SAW. Dua golongan muncul dalam menyikapi peristiwa ini. Golongan pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Allah dalam al-Qur’an setelah Nabi SAW. wafat dipegang oleh Ahl al-Bayt. Golongan ini menganggap dirinya sebagai pewaris utama al-Qur’an setelah Nabi yang mengetahui makna-makna al-Qur’an dan dianggap terpelihara (ma’shum) dari berbuat dosa. Sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa Nabi SAW. sebelum wafat tidak pernah menunjuk penggatinya yang yang dapat menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah. Kelompok kedua ini berpandangan, tidak ada orang, pihak, atau lembaga yang boleh mengklaim sebagai pewaris al-Qur’an. Siapa pun orangnya, dari suku apa, dan di tempat apa pun dia berada, asalkan benar-benar memahami dan mengamalkan dapat menjadi generasi pewaris al-Qur’an dan Sunnah, sebagaimana pesan Nabi SAW yang pernah disampaikan kepada umatnya. Berkembangnya ikhtilaf dari satu generasi ke generasi berikutnya dari satu kurun ke kurun berikutnya tak terlepas dari kerangka metodologis yang digunakan seperti lahirnya mazahib al-arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali). Sampai sekarang masih terasa perbedaan-perbedaan pendapat tersebut karena selalu dikembangkan oleh para pengikutnya. Terdapatnya banyak ikhtilaf dalam pemikiran hukum Islam (fiqh) sebenarnya bukanlah benih yang dapat menimbulkan perpecahan tetapi merupakan bentuk ragam kekayaan yang terdapat dalam hukum Islam. Tetapi tak pula dipungkiri bahwa dengan adanya ikhtilaf tersebut oleh pengikutnya yang bersifat ta’asub (fanatisme) dijadikan sebagai sumbu peledak perselisihan yang dapat menimbulkan perpecahan dalam tubuh umat Islam.
Sikap dan prilaku ta’asub itu mulai menjalar ke dalam tubuh organisasi keislaman di seluruh dunia Islam termasuk pula ke dalam organisasi Perti di Sumatera Barat. Sebenarnya, sikap taklid yang terjadi dan dikembangkan oleh pelaku-pelaku pada umumnya hanya melahirkan kebekuan pemikiran namun tak dipungkiri taklid itu terjadi karena ia merupakan sunnatullah. Tidak semua orang dapat berijtihad dan sampai ke derajat ijtihad. Maka bagi mereka yang tak dapat berijtihad atau sampai ke derajat ijtihad menurut Syeikh Ahmad al-Muhi al-Syaibani dalam Hasyiyah Sarh Sittina al-Masalah, wajib bagi mereka taklid dalam masalah furu’. Jika taklid itu dipahami bahwa pelakunya menyakini dan mengamalkan pendapat yang diterimanya dan dia tidak mengetahui tempat atau dalil dari pendapat tersebut maka bagi orang yang mengetahuinya kata al-Syaibani tidak disebut pelaku taklid. Pendapat al-Syaibani ini diikuti pula oleh Syeikh Ahmad Khatib. Lebih tegasnya Syeikh Ahmad Khatib mengatakan, “memperpegangi suatu pendapat serta mengetahui dalil-dalilnya merupakan sebuah ijtihad yang menyesuai akan ijtihad mujtahid lainnya”. Syeikh Ahmad Khatib beralasan bahwa mengetahui dalil-dalil hukum itu adalah perbuatan mujtahid.
Oleh sebab itu sudah selayaknya di tubuh Perti dilakukan pencerahan intelektual (enlightened intellectuals) dan percerahaan tindakan (enlightened actions). Pencerahan intelektual dapat dilakukan dengan memperbanyak diskusi-diskusi ilmiah yang dapat mengurangi sikap dan prilaku taklid. Budaya muzakarah yang pernah berkembang dahulunya meskipun sekarang masih ada tapi sudah sangat minim sekali dilakukan sudah selayaknya dihidupkan dan disemarakkan kembali. Setiap kalangan dari pelaku muzakarah diharuskan membawa rujukan-rujukan serta diharapkan memahami dalil-dalil dari pendapat yang akan disampaikannya. Apabila budaya muzakarah ini dihidupkan kembali kemudian tumbuh subur dalam masyarakat Perti maka kebekuan pemikiran yang disinyalir selama ini bersumber dari budaya taklid dapat diminimalisir.
Sedangkan pencerahan tindakan dapat dilakukan dengan mengemukakan bahaya-bahaya yang ditimbulkan dari sikap taklid dan ta’asub. Sikap taklid dalam bidang furu’ masih dapat ditolerir karena tidak semua orang dapat menjadi mujtahid atau mencapai derajat ijtihad. Sedangkan taklid dalam bidang aqidah atau tauhid terdapat ikhtilaf, sebagian ulama seperti Ibn ‘Arabi dan Imam Sanusi mengatakan bahwa taklid di bidang tauhid itu merupakan kekufuran sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa pelaku taklid di dalam masalah tauhid masih disebut mukmin dalam ketegori mukmin durhaka dan keimanannya masih diakui.
Adapun bahaya yang ditimbulkan dari sikap ta’asub yang disebut juga dengan fanatisme atau tindakan fanatik yang membuta telah banyak menimbulkan perselisihan dan perpecahan, bahkan banyak pula yang telah menimbulkan korban jiwa. Jika sikap ini masih dipelihara di tubuh Perti maka perselisihan dan perpecahan sejak Khittah 1969 tak akan dapat diselesaikan. Sebuah teori yang dikembangkan oleh Belanda dan dilakukanya terhadap pribumi Indonesia dahulu, devide et impera jangan sampai terjadi di tubuh Perti. Bagi seluruh warga (jamaah) Perti termasuk tokoh-tokohnya di mana pun berada dihimbau untuk melakukan apa yang disebut dengan managed conflict. Setiap konflik harus diminimalisir. Managed conflict sangat penting dilakukan agar setiap sikap ta’asub yang muncul dapat dihilangkan karena pada intinya managed conflict itu menurut Susetiawan mengelola pihak-pihak yang berkepentingan menuju keseimbangan dengan mengatur melalui sistem hukum yang menjamin kepastian hukum. strategi mengelola konflik di tubuh Perti dapat dilakukan apabila prinsip harmoni diartikan sebagai keseimbangan di antara berbagai kepentingan. Jika prinsip harmoni dipahami sebagai kenyataan yang terjadi di tubuh Perti maka strategi yang diterapkan tepat disebut managed devide et impera atau mengelola devide et impera. []
Leave a Review