Tiga pekan yang lalu, pengamat ekonomi Unand, Prof. Elfindri melalui media lokal menyarankan pedagang di pasar-pasar tradisional di Padang harus segera hijrah menjadi pedagang modern di pasar modern pula. Dalam artian tidak hanya pembenahan fisik lokasi pasar yang dilakukan, tapi juga SDM pedagang. Menurutnya modernisasi pasar harus dilakukan secara holistik meliputi pasar yang tertata rapi, bersih, nyaman dan aman bagi pengunjung.
Di pasar modern barang yang diperjualbelikan juga mempunyai performa yang baik dan menarik, serta memakai label. Standar harga harus jelas dicantumkan pada kemasan barang, sehingga pembeli tidak ragu dan tidak dirugikan.
Pendapat dan saran Prof. Elfindri di atas perlu dilihat menggunakan dua sudut pandang dalam melihat dan memahami pasar. Pertama pasar sebagai sebuah tempat (market place) dan yang kedua pasar sebagai sebuah sistem (market system). Pasar sebagai market place mengacu pada pasar yang selama ini dipahami oleh banyak orang, yaitu tempat dimana bertemu antara pedagang dan pembeli (A place where buying and selling occurs). Kemudian, pasar sebagai market system, mengacu pada setiap proses yang sistematis yang memungkinkan banyak pelaku pasar untuk menawar dan bertanya: membantu penawar dan penjual berinteraksi dan membuat penawaran (any systematic process enabling many market players to bid and ask: helping bidders and sellers interact and make deals) (McConnell & Brue, 2005).
Dengan dua pendekatan di atas, pertama dalam perspektif pasar sebagai sebuah ruang (market place), modernisasi pasar penting dilakukan untuk seluruh pasar tradisional. Dalam hal ini pasar tradisional harus tertata rapi, bersih, nyaman dan aman bagi pengunjung. Memiliki fasilitas yang baik seperti tempat parkir, atau bahkan penyejuk ruangan. Pasar tradisional harus terhindar dari stereotype kotor, semraut, tidak rapi, kumal, becek dan kesan negatif lainnya. Sejauh ini kondisi pasar tradisional di kota Padang, terutama Pasar Raya tidak bebas stereotype negatif ini. Dalam hal ini, pasar perlu pembenahan dan penataan ruang seara modern sehingga memberikan kesan bersih, rapi, aman dan nyaman.
Pembenahan terhadap ruang pasar harus menjadi tanggung jawab pemerintah dan tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta karena pasar merupakan hajat hidup orang banyak. Sebagai ruang hajat hidup orang banyak, pasar tidak boleh diprivatkan dengan melimpahkan penataan dan pengelolaannya kepada swasta. Pelimpahan pengelolaan kepada swasta hanya akan menjadikan pasar dikooptasi oleh pemilik modal besar. Selain itu, pembenahan pasar merupakan kewajiban pemerintah dalam rangka pemenuhan hak-hak ekonomi warga.
Kedua, dalam perspektif pasar sebagai sistem (market ystem), modernisai pasar semua barang memakai label, standar harga yang jelas dan dicantumkan pada kemasan barang sama saja dengan menjadikan pasar tradisional menjadi pasar modern. Hal ini tentu saja ancaman bagi pedagang tradisional dan sistem dagang orang minang. Sejauh ini, jamak diketahui semenjak pusat perbelanjaan modern pertama (Sarinah) mulai berkembang di Indonesia pada tahun 1966-an dan diikuti oleh pusat perbelanjaan dan ritelritel lain, lalu bercokolnya pemodal kuat dalam sistem pasar modern dengan sistem manajemen terpusat, telah mematikan banyak pasar tradisional dengan pedagang bermodal kecil.
Pasar tradisional, terlepas dari kekurangannya tetap memiliki keunggulan. Keunggulan pasar tradisional adalah pada sistem tawar menawar harga yang menjadikan harga bersaing ketat antara satu pembeli dengan pembeli lainnya. Harga sangat ditentukan oleh kesepakatan antara pedagang dan pembeli dalam proses tawar menawar, bukan bedasarkan keinginan penjual atau pembeli semata.
Melalui sistem tawar menawar yang ketat antara penjual dan pembeli ruang interaksi yang lebih intensif akan terbangun antara penjual dan pembeli. Proses interaksi ini yang menjadikan pasar tradisional memiliki kekhasan dengan memanusiakan pengunjung dimana interaksi terjadi timbal balik antara manusia dengan manusia, tidak antara manusia dengan (system) mesin pada perbelanjaan modern.
Sistem pasar tradisional sekaligus menjadi ruang belajar bagi penjual, terutama pembeli dalam proses negosiasi. Proses tawar menawar yang alot menjadi labor praktek dalam latihan negosisasi. Meskipun tidak ada riset yang menunjukkan kepastiannya, namun kemampuan negosisasi orang Minang setidaknya dapat dilihat dari proses tawar menawar. Kemampuan tawar menawar tersebut, seakan menjadi identitas dari cara berbelanja orang Minang baik di Sumatera Barat maupun di luar.
Selain keunggulan pada sistem tawar menawar, pasar tradisional memberikan ruang belajar yang luas bagi pedagang tanpa modal untuk menjadi pedagang. Di pasar tradisional, sistem perkaderan untuk menjadi pedagang berjalan secara informal melalui transformasi pengalaman dari pedagang senior kepada pedagang junior. Bebeda dengan pasar modern yang tidak memberikan ruang belajar kepada karyawan mereka untuk menjadi pedagang.
Jika pasar tradisional di Padang dimodernisasi dengan sistem modern layaknya pusat perbelanjaan, dipastikan pedagang dengan modal kecil akan tergusur dan jiwa dagang orang minang tidak akan berkembang. Posisi mereka akan digusur oleh pedagang padat modal. Apalagi jika pengelolaan pasar melibatkan dan atau diserahkan pada swasta sebagai pemodal.
Terkait dengan kekhawatiran pembeli akan tertipu degan harga, tidak perlu harus mengubah pasar tradisional menjadi pasar modern dengan mengacu pada sistem di pusat perbelanjaan. Pemerintah cukup melakukan pengawasan terhadap permainan harga. Pengawasan oleh pemerintah bisa dilakukan antara lain dengan memasang papan daftar harga barang yang dijual di pasar tradisional dengan mengupdate harga barang yang dijual di pasar.[]
Tulisan ini sudah pernah dimuat di Haluan tanggal 23 Juli 2015, Suara Mahasiswa pada 31 Juli 2015 dan sekarang dimuat lagi di Web. ini untuk pembelajaran
Redaksi tarbiyahislamiyah.id menerima tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email: redaksi.tarbiyahislamiyah@gmail.com
Leave a Review