Sudah mafhum bahwa, beragama dengan gampang menghakimi (judgmental), intimidasi, dan mudah terbawa kekerasan verbal, psikis dan bahkan fisik, bisa jadi (memang) karena merujuk pada dalil-dalil teks tertentu. Akan tetapi, dalil-dalil teks yang mereka gunakan itu tidaklah memadai dan bukanlah jaminan bahwa beragama seperti itulah yang diajarkan
Artinya, beragama yang terlalu “teks-oriented” dengan penafsiran yang kaku, hitam putih, belum tentu cocok dan bermanfaat bagi kehidupan manusia dan lingkungan dalam konteks yang makin kompleks dan majemuk di sini dan sekarang. Ada dalil-dalil sejarah, keadaan masyarakat, ilmu pengetahuan, akal sehat, dan karakter manusia yang pada dasarnya baik dan memiliki cinta, mencintai dan dicintai.
Memang, permasalahan hidup zaman sekarang tidak ada yang mengenai pada satu agama saja, melainkan melampaui batas-batas agama. Kita membutuhkan beragama yang menghargai kemajemukan manusia dan kesamaan kemanusiaan, siapapun dan dimanapun.
Syahdan, persoalan keagamaan yang sering terjadi dan muncul di tengah masyarakat karena keterpakuan orang beragama pada teks. Misalnya, pendapat Evie Evendi Gapleh yang menyatakan Nabi Muhammad saw., sebagai orang yang sesat, akibat secara serampangan dan tanpa ilmu mengartikan secara harfiah dhallan (ضالا) dalam surah Al-Dhuha [93]:7.
Begitupun juga dengan Firanda Andirja, menyatakan kedua orang tua Rasulullah berada di dalam neraka, sebab mengartikan secara harfiah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim (baik riwayat Anas bin Malik maupun Abu Hurairah). Dan, ada juga pernyataan yang mengundang perselisihan terkait sampai tidaknya bacaan Alfatihah untuk orang yang sudah wafat.
Tentu saja, bagi sebagian orang, terikat pada teks dalam hal keberagamaan adalah berpegang kepada kemurnian ajaran agama itu sendiri, karenanya benar dan mulia. Mereka tidak memedulikan bahwa ada sejarah yang melatarbelakangi kelahiran dan pembuatan teks itu.
Karena itu, tak heran jika mereka mengatakan bahwa “teks adalah sumber kesegalaan”. Mereka yang menggunakan konteks dan nalar semata dianggap telah mengkhianati kalam suci itu. Bahayanya, sikap harfiah dalam memahami teks agama dapat menimbulkan ragam permasalahan di masyarakat.
Misalnya, kelompok Jihadis, Salafi-Wahabi, dan Takfiri sangat mudah dan senang menuduh kelompok Islam lainnya sebagai pembuat bidah. Imbalan bagi pelaku sesat itu adalah neraka. Tak jarang sifat kafir sering disematkan kepada siapapun yang pandangan keberagamaannya lain dengan mereka.
Prilaku tak-bersahabat itu muncul dari keyakinan teguh pada satu atau beberapa teks dari al-Qur’an atau Hadits. Padahal, kelompok yang sering dituduh sesat pun mengambil rujukan dan dasarnya dari al-Qur’an dan Hadits yang sama.
Muara masalahnya adalah pada teks. Teks di dalam kajian ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora) juga dalam ilmu-ilmu sosial adalah sangat penting. Para peneliti dan sarjana selalu berhubungan dengan teks. Sejarawan, agamawan, pengkaji film, kritikus sastra, kesusastraan, kebahasaan, kearsipan, arkeologi, sosiologi, dan antropologi selalu bekerja dengan teks.
Ilmu-ilmu tentang kajian naskah dan teks itu, atau Filologi, (atau kajian teks lainnya, tekstologi, atau analisis wacana/discourse analyse) amat bermanfaat dalam kajian Islam. Tentunya, khazanah klasik Islam dapat terbaca seperti sekarang berkat kerja keras para filolog. Dengan bantuan kajian naskah, akan membentuk dan memberikan hujjah yang sangat kuat. Sebab, semua hujjah berdasarkan teks yang berasal dari masa lampau, yaitu dari masa dan waktu yang menjadi inti kajian tersebut.
Tak hanya itu, kelompok Jihadis, Salafi-Wahabi, dan Takfiri berpaku pada teks, tanpa melihat konteks sejarah teks tersebut, proses pembuatan teks, latar belakang, dan keadaan yang mengitari teks itu, dan lainnya. Filologi mendorong peneliti dan para sarjana untuk melihat teks dari berbagai sudut pandang. Ia sangat bermanfaat untuk melihat teks-teks keagamaan dari segala arah keilmuan. Filologi mendekati kepada teks dan maksud yang asli dari penulis atau pembuatnya. Namun, tidak bermaksud memberikan penafsiran tunggal.
Kajian atas naskah-naskah teks keagamaan amat berguna untuk melihat bahwa produksi teks tidak dihasilkan dari ruang hampa. Teks berkait-kelindan dengan lingkungan, bahasa, budaya, dan rasa yang berada dan melingkupinya. Dalam hal ini, al-Qur’an yang merupakan kalam suci tidak luput dari proses kebudayaan dan kesejarahan. Latar belakang masyarakat, keadaan politik, sifat dan sikap kebahasaan, perasaan dan prilaku orang, dan semua aspek kemanusiaan dan kealaman memengaruhi pembentukan al-Qur’an itu, apalagi Hadits dan Sunah.
Misalnya, soal memakai jubah dan memanjangkan jenggot. Bagi yang melulu terpaku pada teks, maka sabda dan laku Rasulullah saw. tentang jubah dan jenggot adalah hal yang harus diikuti secara mutlak. Akibatnya, bagi yang tidak memakai jubah dan tidak memanjangkan atau tidak mempunyai jenggot, maka dianggap tidak mengikuti sunnah Nabi, dan karenanya bukan umat Islam yang baik. Alasannya sederhana, tidak mengikuti apa yang telah Rasulullah contohkan.
Namun demikian, bagi yang memahami keadaan dan latar-belakang Hadits dan Sunah tersebut, maka sikap dan laku Rasulullah saw. yang terkait dengan pribadinya, bukan hal yang wajib mutlak diikuti. Sebab, terkait yang demikian dengan pribadi (basyar) Nabi dan kebudayaan Semenanjung Arab saat itu.
Ini soal menarik tentang apa yang universal dan berlaku umum di manapun dan mana yang partikular atau khusus dalam Islam, tentang mana yang global dan mana yang tempatan atau lokal di dalam Islam. Inilah kemudian yang membuat satu kegalauan bagi Shahab Ahmed (w. 2015) hingga ia terdorong menulis What Is Islam?, salah satu buku yang amat penting dalam kesarjanaan Islam saat ini.
Apa yang universal dalam Islam adalah apa yang tercakup dalam kalimat Islam rahmatan lilalamin. Dengan kata lain, hal yang harus diikuti umat Islam adalah hal-hal yang bernilai universal. Artinya, berlaku umum di manapun dan kepada siapapun seperti menghormati orang lain, mengasihi mereka yang dhuafa’ dan mustadafin, menjaga alam dan merawat lingkungan-hutan dan mencegah perusakan hutan, menjaga laut dan sungai dari sampah dan limbah, berlaku jujur, tidak mencuri, membunuh, memperkosa, dan lainnya.
Sikap mencoba memahami dan membedakan mana yang masuk dalam ranah pribadi Rasulullah saw. dan mana yang masuk dalam ranah kesunahan, sesungguhnya didukung penuh dan telah diajarkan oleh keilmuan amat penting dalam Islam, yaitu Usul Fikih atau Filsafat Hukum Islam.
Kita bisa mengambil satu kitab Usul Fikih kontemporer, seperti karya Muhammad Abu Zahrah (w. 1974): Ushul al-Fiqh. Dengan amat gamblang, Abu Zahrah menjelaskan bahwa apa yang terkait dengan pribadi dan kebiasaan Nabi Muhammad dan itu bagian dari adat dan kebiasaan masyarakat Arab bukanlah sunah yang harus diikuti, seperti jubah dan jenggot. Dalam kajian usul fikih, hal-hal yang bisa jadi kita anggap melampaui teks dan tidak Islami, ternyata merupakan pembahasan yang lumrah.
Bagi yang berpandangan kurang-terbuka akan berpendapat bahwa landasan dalam Islam adalah hanya al-Qur’an dan Hadits (dikenal sebagai gerakan pasca-mazhab). Oleh karena itu, usul fikih yang mengandalkan kemampuan kajian teks yang kuat dianggap tidak bersumber dalam Islam, dan akibatnya harus dikesampingkan.
Tentulah, bagi yang punya pandangan seperti ini hanya memperlihatkan bahwa ia tengah menolak ilmu pengetahuan. Justru, saat para fuqaha (ahli hukum Islam) mencoba memahami al-Qur’an dan Hadits, mereka menemukan metodologi yang bisa digunakan oleh fuqaha setelah mereka. Bapak pendiri Usul Fikih ini adalah Imam Syafi’i, pendiri mazhab Syafi’i yang menjadi anutan Muslim se-Asia Tenggara.
Jelasnya, keilmuan di dalam Islam sangat mengandalkan kemampuan mengkaji teks. Filologi atau metodologi dan pendekatan lainnya atas teks akan menjadi alat bantu yang amat baik bagi para sarjana dalam memahami teks-teks keislaman. Memang, menjadi ahli agama itu harus orang yang sudah melalui pendidikan, seperti di pesantren, sehingga ia mampu memahami teks keagamaan.
Sayangnya, sekarang, siapapun bisa dan mendadak jadi ahli agama berkat mesin pencari google, atau mengaku langsung berguru kepada Rasulullah saw. dan para sahabat. Kemudian, mereka para ustaz karbitan ini berceramah di hadapan khalayak ramai dan memberikan informasi yang salah. Jadilah mereka dhallun wa mudillun, tersesat dan menyesatkan (umat).
Ringkasnya, siapapun yang menelan bulat-bulat dan mengambil satu teks suci agama secara harfiah akan berdampak fatal bagi kehidupan masyarakat dan bangsa. Terlebih lagi, jika hal ini dilakukan oleh para mualaf, mantan-narapidana yang tobat, atau santri post-islamisme, yang menjadi ustad atau ulama dadakan. Wallahu a’lam bisshawab.
*) Salman Akif Faylasuf. Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.
Leave a Review