Salah satu pokok pembahasan dalam pendidikan Indonesia adalah bagaimana pendidikan memiliki relevansi terhadap perkembangan zamannya (Dr. E. Mulyasa, 2002). Dalam arti yang lebih singkat, pendidikan dituntut untuk menyiapkan para lulusan yang siap mengisi pos-pos dalam kehidupan bermasyarakat. Pos-pos itu dapat kita sebut dengan pekerjaan.
Sebelum masuk lebih jauh, kita coba melihat kembali realitas dunia pendidikan Indonesia hari ini. Apakah sebenarnya pendidikan itu hanya memiliki misi pragmatis untuk memenuhi lapangan pekerjaan? Apakah lembaga atau instansi pendidikan tak ubahnya ‘pabrik’ yang siap mencetak para buruh untuk dipekerjakan nantinya? Atau sederhananya saja, apakah pendidikan harus berdampak dalam kehidupan nyata kita, di tengah-tengah tontonan masalah sosial masyarakat yang agaknya kelihatan tidak terdidik sedikit pun?
Bagaimana Pendidikan dan Pekerjaan Berkaitan
Sebagaimana yang kita tahu, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan memiliki budi pekerti yang luhur (Pahlephi, 2022). Ibarat jauh panggang dari api, agaknya pendidikan kita sudah mulai menjauh dari orientasi.
Hal itu dapat kita lihat dari segelintir masalah dalam dunia pendidikan hari ini. Kebijakan Kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka misalnya, menuai banyak kontroversi. Kebijakan itu dianggap telah mengguncang paradigma pendidikan yang memaknai ‘belajar’ secara sempit hanya dengan ‘berlatih kerja’ (Suwignyo, 2023). Pendidikan hanya lebih bersifat teknikal-vokasional dengan segala tawaran programnya.
Selain itu, masalah kesejahteraan guru dan dosen menjadi masalah yang tidak ada hentinya. Alih-alih menjadi pahlawan dalam republik, para pendidik terus didiskriminasi secara struktural melalui kebijakan-kebijakan yang ada. Guru atau dosen tidak ada bedanya dengan buruh yang bekerja di bawah tekanan para pemodal (Fathana & Rohanawati, 2023).
Belum lagi, jika melihat sekelumit masalah sosial yang ada di negeri kita ini. Mulai dari permasalahan skala mikro di masyarakat. Seperti banyaknya kasus pelecehan seksual, penyalahgunaan narkotika, pergaulan bebas, dan kriminalitas lainnya. Dalam skala makro-pun juga begitu, pendidikan belum dapat mendidik manusia untuk dapat jauh dari budaya-budaya korupsi, hoax, eksploitasi alam, pemenuhan hak asasi manusia, dan masih banyak masalah lainnya.
Apakah pendidikan telah memisahkan kita dari kehidupan, sebagaimana yang disebut oleh W.S Rendra dalam sajak seonggok jagungnya? Bagaimana mungkin, Indonesia dengan masyarakat yang mayoritas memeluk agama melakukan hal-hal seperti itu?
Menyelasarkan Pendidikan dan Pekerjaan
Sekelumat masalah di atas, sudah seharusnya dapat kita selaraskan sebagaimana mestinya. Pendidikan adalah modal bagi manusia untuk menjalani kehidupan, sedangkan pekerjaan adalah cara manusia untuk bertahan hidup. Dua hal ini sudah bukan barang baru dalam kehidupan manusia, sebab sejak zaman dahulu manusia sudah belajar dan bekerja untuk melanjutkan kelangsungan hidupnya.
Jurgen Habermas menyebutkan ada tiga media yang berhubungan dan terkait kelindan dalam hidup manusia untuk kelanjutan hidupnya. Tiga media itu adalah pekerjaan, komunikasi, dan etik-emansipatoris (Habermas, 1971). Manusia memiliki kebutuhan untuk melakukan penyelidikan perihal teknik atau pekerjaan, kebutuhan untuk memahami makna dari konsep-konsep ilmu pengetahuan secara umum termasuk agama, dan kebutuhan manusia untuk dapat bebas dari ketertindasan dan perlakuan yang menekan.
Dalam menyelaraskan antara pendidikan dan pekerjaan, tiga media ini perlu menjadi perhatian serius. Pendidikan harus dapat memenuhi tiga aspek sebagaimana yang dikenalkan oleh Benjamin Bloom, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik manusia. Pendidikan hanya akan melahirkan para pekerja-pekerja teknis jika tidak dapat memenuhi hal itu. Bahkan dalam kemungkinan paling buruk, pendidikan hanya akan melahirkan para buruh yang akan semakin ditindas hak-haknya. Para buruh dan pekerja yang akan teralienasi dari dirinya sendiri, karyanya (produk kerja), keluarga, dan bahkan masyarakat di sekitarnya. Pendidikan lepas dari kehidupan.
Manifesto Iman, Ilmu, dan Amal dalam Pendidikan Indonesia
Bagi Indonesia, pendidikan yang baik adalah pendidikan memanifestasikan iman, ilmu, dan amal. Hal itu sudah menjadi keniscayaan sebab Indonesia adalah negara Pancasila. Nilai-nilai dalam Pancasila hanya akan terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara jika pendidikan mengakomodir iman, ilmu, dan amal.
Iman sebagai manifestasi nilai-nilai ketuhanan harus menjadi core value dalam dunia pendidikan. Kemantapan iman harus didorong dengan kematangan ilmu pengetahuan. Sehingga, amal atau pekerjaan kita haruslah bersifat ilmiah atau sebaliknya ilmu bersifat amaliah. Begitulah ketiganya, harus memiliki hubungan satu sama lain untuk menjaga keseimbangan.
Dalam kitab suci umat Islam, kata-kata iman banyak disandingkan dengan ilmu dan amal. Artinya, setiap ilmu dan amal kita haruslah memiliki dimensi transsendental ketuhanan. Ilmu pengetahuan yang kita pelajari, baik itu fisika, kimia, biologi, filsafat, sastra, komunikasi, ekonomi, dan apa saja dapat berdimensi ibadah jika dibentengi dengan iman. Tak lupa pula, amal perbuatan kita dalam kehidupan sehari-hari harus berdasarkan pada iman dan ilmu tersebut.
Purna-Kata
Pada bulan Mei ini, kita memperingati hari-hari besar. 1 Mei sebagai Hari Buruh, 2 Mei sebagai Hari Pendidikan, dan 5 Mei sebagai hari berdirinya Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) yang dikenal dengan gerakan pendidikan, dakwah, dan amal sosial. Bagi masyarakat PERTI, bulan Mei adalah Hari Pendidikan dan Kebudayaan Islam sekaligus.
Tampaknya, dalam merefleksikan kembali pendidikan, kita perlu merujuk makna Tarbiyah dalam Islam. Secara morfologis, Tarbiyah adalah bentuk Mashdar dari rabba-yurabbi-Tarbiyyatan. Kata ini juga dapat dikembalikan pada 3 kata kerja (dalam bahasa arab) yang berbeda. Pertama, rabba-yarbuu yang berarti berkembang. Kedua, rabiya-yarbaa yang berarti tumbuh. Dan ketiga, rabba-yarubbu yang berarti memperbaiki, mengurus, memimpin, menjaga, dan memelihara (Nawawi, 2021).
Hal ini juga tidak jauh berbeda jika kita menilik makna pendidikan yang dikenalkan oleh Ki Hajar Dewantara dengan falsafah “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.” Falsafah itu memiliki arti, “di depan memberi teladan, di tengah membuat karya, di belakang memberi dorongan/motivasi.” Dalam masyarakat Minagkabau juga demikian, dikenal suatu falsafah pendidikan yang berbunyi, “anak dipangku, kamanakan dibimbiang, urang kampuang dipatenggangkan.” Artinya adalah, “anak dipangku[1], kemenakan dibimbing, dan orang kampung diperhatikan.”
Sebenarnya, kita tidak kekurangan referensi untuk merefleksikan pendidikan di Indonesia hari ini. Bagaimana pendidikan itu harus lekat dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan yang memiliki dimensi transsendental-ketuhanan sebagai wujud penghambaan. Pendidikan yang memperluas wawasan cendekiawan-intelektual. Dan pendidikan yang dapat dimanifestasikan dalam kepribadian, akhlak, moral, dan tanggung jawab sosial.
Referensi
Dr. E. Mulyasa, M. (2002). Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
Fathana, H., & Rohanawati, A. N. (2023, Mei 1). Dosen adalah buruh: pengakuan ini adalah langkah pertama dalam memperjuangkan kesejahteraan akademisi. Retrieved from The Conversation.com: https://theconversation.com/dosen-adalah-buruh-pengakuan-ini-adalah-langkah-pertama-dalam-memperjuangkan-kesejahteraan-akademisi-204209
Habermas, J. (1971). Knowledge and Human Interests. Boston: Beacon Press.
Nawawi, R. N. (2021, April 29). 5 Mei, Hari Pendidikan Islam (Tarbiyah Islamiyah). Retrieved from tarbiyahislamiyah.id: https://tarbiyahislamiyah.id/5-mei-hari-pendidikan-islam-tarbiyah-islamiyah/
Pahlephi, R. D. (2022, November 20). Memahami Fungsi dan Tujuan Pendidikan di Indonesia. Retrieved from detik.com: https://www.detik.com/bali/berita/d-6412949/memahami-fungsi-dan-tujuan-pendidikan-di-indonesia#:~:text=Tujuan%20pendidikan%20nasional%20adalah%20untuk,amanat%20Undang%2Dundang%20Dasar%201945.
Suwignyo, A. (2023). Guncangan Kampus Merdeka. Jakarta: Kompas.
[1] Anak dipangku memiliki makna bahwa orang tua sebagai lingkungan terdekat dari sang anak harus memberikan pendidikan yang benar dan tepat.
Leave a Review