Tradisi Mengaji Sistematis
Kalau diputar ulang sejarah beberapa puluh tahun di Aceh, kita menemukan bahwa sistem pembelajaran agama di Aceh itu sangat sistematis. Dimulai dengan belajar aleh ba, lalu baca al-Qur’an, setelah itu diajarkan dasar agama dalam kitab berbahasa Melayu, kitab Masailal Muhtadi. Kitab ini lebih dari cukup untuk menjadi fondasi beragama bagi awam muslimin, dimana isinya itu dari dasar akidah, fikih dan tasawuf. Jika tidak mau mendalami dunia intelektual metode itu sudah cukup bagi semua muslim. Dan kerennya, pada zaman dulu mungkin hampir semua Muslim Aceh pernah membaca kitab ini. Makanya umat cukup tahu atau paham tentang agamanya.
Nah, setelah itu biasanya bagi yang masih rajin ikut ngaji akan ikut ngaji kitab bahasa Melayu lainnya seperti kitab Bidayah dalam akidah, kitab Sabilal dalam fikih, dan kitab Yawaqit dalam tasawuf, sebagian juga ada Sirah Nabawiyah, dan semuanya dalam bahasa melayu sehingga dekat dengan awam. Orang yang sudah mengaji itu sudah punya wawasan sangat luas tentang keislaman dan sangat sistematis. Jadi karakter sebagai muslim terbentuk atas keilmuan sehingga setiap ada masalah walau tidak tahu jawabannya tapi tahu ini permasalahan apa, dan ke siapa harus merujuk. Paling tidak, arti dia menjadi seorang muslim dan hak serta kewajiban sebagai muslim,ia bisa paham.
Baca Juga: Kualitas Pendidikan
Sayangnya, seiring berkembangnya pendidikan modern, sistem pendidikan ini ditinggalkan, dan setelah menyelesaikan al-Qur’an malah akhirnya cuma ikut kajian bebas, akhirnya maklumat tentang Islam yang didapatkan tidak terarah dan tidak sistematis. Efeknya, kadang ada seorang awam ketika berdebat, misalanya masalah tahlilan, lagaknya sudah level Imam Syafi’i. Begitu ditanya apa rukun zakat dan bagaimana membayar zakat harta, atau apa rukun mandi junub, sll, maka ia kebingungan. Padahal zakat, mandi wajib, dll adalah suatu yang wajib bagi dia. Beda dengan masalah furu’ tadi. Ini karena belajar tidak sistematis, akhirnya ajaran agama itu cuma didapat dari ceramah dan syiar. Bukan ilmu yang didapatkan dengan sistematis. Itu perbedaan dengan pengajian sistematis, dimana jelas arah berislam, dan mengatahui hak dan kewajibannya sebagai muslim, mulai dari ibadah, makanan, harta, dan keluarga.
Sebenarnya kita terlalu jauh berbicara pembaharuan, bisa seperti dulu saja sudah keren. Apakah membutuhkan waktu lama belajar seperti itu? Tentu saja tidak, kitab Masailal itu sangat tipis. Bisa dikaji dalam waktu singkat, bahkan bisa diajarkan oleh santri pemula. Tidak sulit. Anak Seokalah Dasar saja bisa paham. Mudah dan sangat terarah, sesuai dengan porsi awam. Tapi hasilnya jelas, pengetahuan agama walau dasar tapi tidak sepotong-potong. Beda dengan ceramah, ya sesuai si ustad. Kalua ustadz sukanya masalah kiamat, ya info yang didapatkan kiamat terus. Ustadz suka politik, ya politik terus. Ustadnya suka bidah, ya bid’ah terus, dst.
Baca Juga: Kitab Hikam yang Sistematis
Adapun kitab seperti Masailah tauhid, fikih tasawuf, lengkap, walaupun dasar jadi mengajinya membuat orang punya pandangan umum tentang Islam. Betapa kita butuh untuk menghidupkan tradisi seperti ini! Saya tidak mengatakan tradisi itu sudah hilang sama sekali, masih banyak yang mempertahankannya terutama diperdesaan, tapi tradisi itu harus diperluas lagi, agar seperti dulu lagi. Karena sampai saat ini, saya percaya bahwa mengaji sekitar beberapa pertemuan kitab dengan mengkhatam kitab seperti Masailal itu jauh lebih membentuk karakter keilmuan sebagai seorang muslim daripada mengaji sampai dua tahun dengan ceramah tematik, seperti kiat-kiat ini, jomblo fisabilillah, dst, walaupun kita tidak mengatakan itu tidak bermanfaat. Ini penting saya utarakan. Haha..
Tradisi Mengaji Sistematis
Leave a Review