Prinsip Pertalian Adat dan Syarak
Oleh: Inyiak Ridwan Muzir
Sepuluh tahun setelah berdiri tahun 1928, Persatuan Tarbiyah Islamiyah menerbitkan majalah bernama Maandblad (Bhs. Belanda: Majalah Bulanan) Soearti. Soearti adalah singkatan dari Soeara Tarbijah. Majalah ini Terbit pertama kali Januari 1937.
Dalam edisi No. 5, Thn. I, Okt-Nov 1937, Redaksi Soearti yang dipimpin H. Sirajuddin Abbas menurunkan sebuah tulisan berjudul “Sekolah-sekolah Tarbiyah Islamiyah.” Tulisan ini adalah jawaban Hoofdbestuur Persatoen Oelama2 Tarbijah Islamijah atas berbagai pertanyaan pembaca Majalah Soearti berkaitan dengan sekolah Tarbiyah Islamiyah masa itu. Pembaca-pembaca itu berasal dari seantero pulau Sumatera. Ada pembaca yang bertanya tentang apa tujuan sekolah Tarbiyah Islamiyah. Apa saja pelajaran agama yang diajarkan di sana. Ada pula yang ingin tahu apakah di sekolah Tarbiyah Islamiyah diajarkan pelajaran umum seperti plaantkunde (ilmu tumbuhan), natuurkunde (ilmu pengetahuan alam) dan sebagainya.
Sebuah pertanyaan menarik dilayangkan pembaca dari daerah Bengkoelen (Bengkulu). Dengan ejaan lama masa itu (ejaan van Ophuijsen), pertanyaan itu berbunyi demikian:
Speciaal pertanjaan dari Benkoelen. Jaitoe kalau sekiranja Madrasah Tarbijah Islamijah ditebarkan disitoe, apakah tidak akan berlawan dengan ‘adat istiadat mereka?
Pertanyaan dari pembaca yang bernada penuh harap sekaligus cemas ini kemudian ditanggapi Redaksi dengan jawaban panjang lebar untuk ukuran sebuah tanggapan redaksi atas surat pembaca: hampir satu halaman penuh! Berikut ini hanya akan dikutipkan jawaban yang berkaitan langsung dengan pertanyaan tadi, yakni apakah madrasah Tarbiyah Islamiyah akan berlawanan dengan adat istiadat masyarakat tempatnya akan didirikan.
[…]Selain dari itoe tentang ‘adat istiadat pendoedoek jang tidak bertentangan dengan agama Islam, maka kami akan hormati dan akan kami djoendjoeng tinggi, karena kami berkejakinan bahwa toedjoean adat setiap negeri adalah akan mengatoer pendoedoeknja dengan tjara jang sebaik2nja poela.
Dalam soerat perintah jang diberikan kepada goeroe2 T. Islamijah oleh Hoofdbestuurnja nyata diterangkan bahasa (bahwa) goeroe2 itoe tidak boleh sedikit djoega membikin “onrust”, membikin katjau diantara ‘adat istiadat pendoedoek, karena ‘adat itu menoeroet timbangan dan poetoesan kami besar poela faedahnja dalam masyarakat.
Jang toea dimoeliakan, jang moeda akan dikasihi, beranak berbapak, bermamak berkemanakan, meletakkan sesoeatoe pada tempatnja, begitoelah dasar jang ditanamkan setiap hari.
Siapakah hoofdbestuur (ketua dewan) yang mengeluarkan surat perintah pada guru-guru Tarbiyah Islamiyah dalam kutipan di atas? Ketua tersebut adalah Syekh Sulaiman Arrasulii (Inyiak Canduang). (Inyiak Canduang digantikan Syekh Muhammad Jamil Jaho sebagai ketua dewan berdasarkan konferensi Perti pada Februari 1938, beberapa bulan setelah jawaban redaksi tadi terbit).
Kunci dalam jawaban redaksi yang menyandarkan diri pada surat perintah Inyiak Canduang tadi terletak pada kata “tidak boleh sedikit djoega membikin ‘onrust’ (kekacauan) di antara adat istiadat pendoedoek…”
Baca Juga: Ranah Pertalian Adat dan Syarak di Minangkabau
Prinsip Inyiak Canduang dalam Mempertalikan Adat dan Syarak
Pendapat dan perintah tegas di atas adalah khas Inyiak Canduang. Khas karena begitulah orang besar ini memahami hubungan antara dimensi kesejarahan manusia (adat) dengan dimensi doktrinal agama (syarak). Yakni dengan menjaga kedua hal tersebut seimbang, seayun-selangkah sama-sama berjalan tanpa yang satu menungkai yang lain. Namun pada saat yang sama faidah keduanya harus dipastikan tercapai dan sama-sama terasa, yakni memberi keselamatan pada manusia. Caranya adalah dengan menegakkan yang benar dan menumpas yang batil.
Dalam pesan “jangan bikin rusuh” tadi, Inyiak Canduang mengakui adanya pertikaian antara adat dan syarak. Potensi rusuh yang diantisipasi pasti karena ada yang berselisihan. Kalau tidak ada yang akan bersilang, akal sehat akan menolak menerima nasihat jangan bikin rusuh. Keduanya hendaknya dikelola dengan baik, tapi dengan ukuran yang jelas: selama tidak bertentangan dengan ajaran agama. Inilah mengapa di atas dipakai ibarat seayun-selangkah. Dalam melangkah, kaki harus bertikai, yang satu di depan, yang lain di belakang; tangan yang mengayun juga demikian. Bahkan jika dihubungkan dengan kaki, tangan yang mengayun pun harus bertikai, jika tangan kanan mengayun ke depan, kaki kiri di belakang.
Pandangan Inyiak Canduang dan pandangan ulama-ulama lain yang senada dengan beliau tidak bisa dibilang khas jika dalam perjalanan dua dimensi tadi, satu sama lain diandaikan saling tungkai (jegal). Salah satu pihak berusaha mengalahkan dan mendominasi pihak lain. Entah itu syarak yang mendakwahkan agama dengan membelalakkan mata pada adat; atau adat yang memasang kuda-kuda menyerang agama yang dipandang datang mengacau tatanan lama. Dengan kata lain, kekhasan pandangan beliau ini tidak akan terasa kalau kacamata yang dipakai melihat adalah ilmu politik dan konsep yang dipegang untuk pisau analisis adalah dominasi! Jika demikian, yang akan ditemukan hanya fenomena konflik, seperti yang dijumpai oleh ilmuwan sosial cum surveyor ketika membahas masalah ini; atau sekadar resolusi semu, seperti yang ditemukan anak siak yang pura-pura jadi ilmuwan politik.
Apa yang kita kemukakan sebagai prinsip Inyiak Canduang dalam memahami hubungan adat dan syara dapat ditemukan dalam karya beliau. Dalam manuskrip yang selesai ditulis pada 18 September 1927, yang kemudian diterbitkan menjadi kitab beraksara Arab Melayu Pertalian Adat dan Syarak (1929), Syeikh Sulaiman Arrasuliy menuliskan di subjudul “Pasal Perdamaian Adat dan Syara’” seperti berikut:
بأ سفرتى ممالو اولر دالم بانه
، توڠكت فمالو جاڠن فاته
، تانه دفالو جاڠن لمفڠ
، بانه نن كانى جاڠن روسق
، اولر دفالو اي ماتى
Bak seperti mamalu ula dalam baniah,
Tongkat pamalu jan patah,
tanah dipalu jan lumpang,
baniah nan kanai jan rusak,
ula dipalu iyo mati.
(Bagaikan memukul ular dalam persemaian [padi].
Tongkat pemukul jangan patah,
tanah yang terpukul jangan berlubang,
benih padi yang terkena jangan rusak, ular yang dipukul dapat mati.
Pernyataan metaforis (penuh ibarat) di atas jika diurai bisa selebar alam, jika dikumpar bisa seluas kuku, maka baiknya diambil saja sekira yang perlu sebagai inti. Inti itu menurut kita adalah kehati-hatian dalam bertulak-angsur melaksanakan nilai-nilai yang terkandung dalam agama maupun adat-kebiasaan. Tulak-angsur, kemoderatan, atau ke-washathiyah-an tergambar dari kontradiksi antara perbuatan memalu (memukul) dan tidak rusaknya tanah dan benih akibat pukulan itu. Akan tetapi meski hati-hati dan bertulak-angsur, bukan berarti mengabaikan tujuan utama, kematian ular yang jadi hama. Moderasi atau ke-washathiyah-an yang terlalu hati-hati sehingga lupa pada tujuan utama, hanya akan melahirkan keliberalan yang gegabah atau keradikalan yang bebal. Sementara si ular (kemungkaran atau kedurjanaan) tetap ada dan hidup.[]
Prinsip Pertalian Adat dan Syarak Prinsip Pertalian Adat dan Syarak
Leave a Review