Saya merasa cukup familiar dengan Masjid Raya Gantiang (Ganting), padahal bertahun-tahun tak pernah mampir. Aneh memang. Dulu, setiap kali hendak pergi ke Padang, bis yang saya naiki dari Pesisir Selatan, sebelum masuk kota, akan memutar melewati jalur Gantiang, Parak Gadang, lanjut ke kawasan kota lama, menyisir pantai yang kini disebut Taplau dan keluar di Jalan Damar untuk akhirnya masuk Terminal Lintas Andalas.
Saya hapal betul, selepas Tugu Tinju di Simpang Haru, bis membelok ke kiri, persis dekat sebuah kantor militer, kalau tak salah Korem 032/Wirabraja. Selepas itulah saya akan bersua dengan Masjid Ganting, yang namanya diambil dari nama kampung tempatnya berdiri sejak awal abad ke-20 itu. Jadi saya hanya lewat bertahun-tahun lamanya.
Tapi arsitekturnya yang khas, yang disebut buah akulturasi berbagai etnis di Kota Padang, membuatnya abadi dalam ingatanku hingga sekarang. Berkali-kali berniat singgah, tapi selalu berhenti di niat saja.
Karena itu, saat di Padang pertengahan Desember lalu, tak lagi terbendung saya meluncur ke masjid tua yang info lengkapnya bisa dibaca di wikipedia: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Masjid_Raya_Ganting.
Yang membuat kerinduan saya bertambah-tambah adalah keinginan berziarah ke makam Syekh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi atau dikenal sebagai Syekh Bayang (1864-1923) yang saya tahu dimakamkan di sana.
Nukilan sosok Syekh Bayang pernah saya tulis di alif.id dengan judul Mengenal Bayang, “Serambi Mekah” Pantai Barat Sumatera (2): Bayang dalam Kisaran Kiprah Para Ulama
Nukilan dari berbagai sumber itu antara lain menyebut bahwa Syekh Bayang berasal dari Pancung Taba, Bayang, Pesisir Selatan. Setelah belajar dari ayahnya, Muhammad Fatawi, ia berguru kepada salah seorang murid sang ayah, Syekh Muhammad Jamil. Setelah itu ia pergi ke Solok Selatan, berguru kepada Syekh Muhammad Shalih bin Muhammad Saman, penulis kitab fiqh Al-Kasyf (Alahanpanjang), Syekh Mahmud (Pintu Kayu) dan Syekh Musthafa (Sungai Pagu).
Sang guru, Syekh Musthafa mengambil sang murid sebagai menantu, dengan menikahkan dengan sang putri bernama Siti Raham. Setelah itu Syekh Bayang pindah ke Padang. Paman sang istri, Abdul Halim gelar Syekh Gapuak, yang merupakan salah seorang pendiri dan pengurus Masjid Gantiang meminta Syekh Bayang membuka halaqah di sana.
Tahun 1903, Syekh Bayang berhaji ke Mekah dan, sebagaimana tradisi ulama masa itu, ia lanjut belajar kepada Syekh Jabal Qubis dan Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi. Ia seangkatan antara lain dengan Syekh Muhammad Saad Mungka dan Syekh Khatib Ali. Mereka ini digolongkan sebagai “ulamo tuo” (tradisional) Minangkabau, pengamal teguh ajaran tarekat. Syekh Bayang sendiri adalah mursyid tarekat Naqsabandiyah, sekalipun Syekh Ahmad Khatib, gurunya di Mekah, termasuk pihak yang kurang berkenan dengan dunia tarekat.
Dan kita tahu, kepada Syekh Ahmad Khatib kemudian berguru pula Syekh Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), Abdullah Ahmad (yang juga pernah berkhidmat di Masjid Ganting sebelum mendirikan sekolah Adabiyah), Syekh Djamil Djambek dan Muhammad Thaib Umar yang digolongkan “ulamo mudo” yang pro pembaruan.
Gerakan pembaruan Islam di Minangkabau yang digerakkan Haji Rasul, dkk., membuka pertentangan dengan ulama tua. Untuk meredakan pertentangan itu, tanggal 15 Juli 1919 diadakan pertemuan akbar ulama Minangkabau di Padang.
Menurut Buya Apria dan Chairullah Ahmad dalam buku Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX: Dinamika Intelektual Kaum Tua dan Kaum Muda (Suluh, 2011), Syekh Bayang ditunjuk sebagai pimpinan rapat akbar tersebut karena ia diterima kedua golongan. Meski dari kalangan tua, ia dianggap moderat oleh golongan muda.
Syekh Bayang meninggal di Padang dan dimakamkan di kompleks Masjid Gantiang. Namun ketika saya datang dan bertanya di mana makam Syekh Bayang kepada beberapa jemaah dan bahkan pengurus masjid, tidak seorang pun yang tahu. Beberapa orang menyarankan saya mencari sendiri di kompleks pemakaman umum di belakang masjid. Sebagian lagi bilang dulu ada makam yang dipindahkan, tapi entah makam siapa dan dipindah ke mana.
Saya sempat bingung dan berpikir, sebegitu parahkah ingatan orang pada ulama besar penulis Kitab Taraqub ila Rahmatillah (1910) yang disebut Schrieke sebagai literatur penuh moral dari abad ke-20 ini?
Setelah cukup lama bertanya kian ke mari, akhirnya seorang bapak bernama Darmansyah mengajak saya ke sebuah rumah di belakang masjid. Menurutnya, pemilik rumah itu cukup tahu makam-makam tua di sana. Benar saja, laki-laki yang masih muda itu tahu keberadaan makam Syekh Bayang. Tapi sebelumnya, ia membawa saya ke dua makam tua persis di depan rumahnya yang ia sebut sebagai makam “Rajo Padang”, yang ternyata makam dua orang regent era Belanda.
Ada pun makam Syekh Bayang terletak dalam kompleks pemakaman umum, namun diberi pagar tersendiri yang mepet ke tembok rumah penduduk. Selain makam Syekh Bayang, di situ terdapat beberapa makam lain, agaknya kubur istri dan anggota keluarganya.
Nisan Syekh Bayang mudah dikenali. Dari segi bentuk menyerupai nisan Barus kuno, namun ornamen bintang dan padi melingkari tulisan beraksara arab, mengingatkan simbol-simbol yang banyak dipakai era Orde Baru.
Kemungkinan makam ini pernah dipugar dan nisannya dibuat kemudian. Mungkin saat Padang sedang mesra-mesranya dengan penguasa baru pasca dibuat lumpuh oleh penguasa Sukarno dalam masa peri-peri (PRRI).
Hanya saja karena kurang terawat, semua tampak menua: semen makam retak, pagar merapuh, dinding-dinding berlumut, dan rumput-rumput meninggi. Ke sini, di tengah rintik hujan, kulabuhkan niat ziarah yang bertahun-tahun tertunda. Al Fathihah, Al Fathihah, Al Fathihah
Leave a Review