scentivaid mycapturer thelightindonesia

Mencari Suaka Ilmu dan Musik di Pesantren

Mencari Suaka Ilmu dan Musik di Pesantren

Oleh: Hasan Basri Marwah

Ketika seorang terjebak di sebuah ruangan yang sesak, ia tidak saja merasakan ketidaknyamanan, tapi ia merasakan kesulitan bersikap, mengambil sudut pandang berbeda. Itupun bukan sudut pandang berbeda dalam artian biasa dan akademis, tapi sudut pandang berbeda lantaran pengalaman panjangnya bergulat untuk mempertahankan pandangan dan sikapnya sendiri. Apa yang akan dilakukannya? Ke mana ia mencari suaka dari kelesuan lingkungan?

Menonton film? Membaca sastra? Mendatangi gedung teater? Mengunjungi museum? Menziarahi kuburan? Mengambil piknik di penginapan semacam di tengah pedesaan atau di kaki perbukitan? Silaturahim ke rumah teman dekat? Ke kafe sambil ngopi (atau ngebeer)? Atau umrah ke Tanah Suci?

Kelesuan intelektual jika pengalaman di atas klunya ke arah sana biasanya akan membaik dan menemukan kelapangan ketika diobati dengan main musik atau mendengarkan musik berkualitas. Main musik sangat sedikit dilakukan oleh mereka yang mengalami pergulatan intelektual karena jarang ada pemikir yang sekaligus juga seorang musisi. Antara pemikiran dan musik memiliki rasa lebih cocok dan dekat satu sama lainnya. Terlebih ketika pemikiran itu melampui batasan formal, sampai pada tahapan sebagai seni. Pemikiran sebagai seni akan menemukan ritme dari seluruh kontradiksi dalam lapangan pemikiran dan realitas dalam musik. Tidak itu saja, musik lebih mampu menggemakan dan (bahkan) menggambar seluruh anasir realitas dalam kehidupan yang memiliki level ‘di atas peristiwa biasa:” rintik hujan, serenade, gelombang laut dan sebagainya.

Misalnya, ketika seorang mendapatkan dirinya tidak mampu mengkritik lingkungannya, mungkin ia akan merasa lebih baik ketika memutar Polina Ostentikaya atau Sally Makovkaya atau Waljinah atau Slamet Gundono daripada membuat status tentang ketidaksampaiannya menulis kritik terhadap internal lingkungannya.

Di luar aspek teknis, dalam banyak penelitian disebutkan musik dialami setiap orang paling tidak sebagai pengalaman kesaharian. Sebagai limpahan peristiwa sehari-hari, di mana setiap orang berusaha menata rutinitasnya sebagai perulangan yang memberikan makna. Pertama, musik memberikan efek agensi kepada setiap orang. Kapisitas, kemampuan, dan dorongan dipengaruhi oleh musik. Lepas dari kaidah yang sulit dibenarkan, bahwa musik, seperti halnya lapangan seni lainnya (sastra, seni rupa, dll), memiliki kebaikan-kebenaran-keistimewaan bawaan, memberikan pengaruh pada bagaimana setiap orang menata-mengorganisasi dirinya. Kedua, musik dalam berbagai penelitian empirik memberikan ‘ruang suaka’ untuk menampung kebuntuan dan kelesuan harian dari kehidupan yang rutin. Musik sebagai sebuah asylum. Artinya, musik membuka kebuntuan, melahirkan inklusi, kebersamaan, keterlibatan dan sampai pada titik tertentu: kesejahteraan lahir-batin dalam level maknawi.

Di sekitar kita, seiring waktu, aktivitas intelektual sudah tidak menjadi prioritas. Apalagi musik, memiliki sedikit ruang dan porsi di dalam keseharian.

Belakangan melalui IG saya sering “chat” dengan berapa anak muda Iran. Mereka tidak percaya dengan mitos keunggulan ras dalam hubungannya dengan kemajuan intelektual. Aryanisme bukan ras super terkait perkembangan intelektual. Sebagai negara yang mempertahankan standar kurikulum tanpa meniru atau mengikuti standar pendidikan dasar negara lain, Iran relatif memiliki kualitas pendidikan dasar yang lebih baik dibanding berapa negara Eropa sekalipun. Anak anak SD,SMP dan SMU menghabiskan waktu 7 sampai 8 jam belajar matematika (kalkulus, dll ).

Mata pelajaran matematika juga berlaku bagi para santri yang akan memperdalam ilmu agama. Para calon Mullah tidak cukup belajar ilmu Mantiq seperti di belahan negeri lain. Mereka masih dibekali dengan penguasaan matematika dan beberapa kurikulum klasik yang lebih utuh (tidak dalam pengertian sempurna). Masyarakat Iran mewarisi kerikulum klasik secara lebih utuh, menurut salah seorang anak muda Iran, karena mereka beruntung tidak mengalami kolonialisme yang intensif dan berat seperti di beberapa belahan dunia Asia-Afrika lainnya. Pengalaman kolonial, di luar dugaan saya, ternyata menjadi parameter dalam mengukur keberlangsungan pendidikan sebuah bangsa.

Dua imgran dari Iran di Kanada dan Swedia menceritakan kedatangan mereka ke Eropa pada usia ketika masih SMP, mereka mengalami kemenduaan: sukacita bisa mendapatkan status imgran resmi di negara yang lebih sesuai dengan pandangan politik keluarga mereka, tapi pada sisi lain mereka masih memendam cinta untuk tanah air mereka. Dan terkait sekolah mereka menyebut bahwa pendidikan dasar di Iran lebih baik daripada di negara baru mereka. Hal ini disampaikan dengan nada biasa, tanpa pretensi merasa lebih baik dan lebih hebat (superior).

Menurut mereka berdua, orang Iran juga memiliki model kekeluargaan yang kondusif bagi pengetahuan, di mana semua warga Iran, Syiah maupun Sunni, sangat pro-pengetahuan, mengutamakan pendidikan dan keluarga sendiri menjadi ruang pendidikan yang tidak kalah ketat dengan sekolah.

Masih menurut mereka, model pendidikan sekolah mereka di Iran lebih dekat dengan Rusia karena mereka mempertahankan tradisi pendidikan turun temurun, tidak memberikan ruang penjiplakan sistem pendidikan dari luar, dan melakukan inovasi di sana sini secara ketat.

Tidak itu saja, di Iran beberapa pakar genetika (saya lupa nama-nama yang mereka sebutkan) mengakui ketakutan sebagian orang Iran akan percampuran genetika karena dampak persebaran orang Iran ke berbagai belahan dunia. Tidak mengherankan kalau sebagian besar orang Iran lebih memilih menetap di Iran dengan segala realitas paska-kolonialnya. Tapi sebagian besar generasi muda Iran hari ini tidak mensiteguhi masalah keunggulan genetika. Aryanisme memberikan mereka sudut pandang: di manapun di dunia selalu ada kaidah superioritas mental berdasarkan etno-religi yang tumbuh dengan subur dalam konteks politik dan ekonomi yang tidak adil. Aspek etno-religi (termasuk ras) bagaimanapun selalu menjadi basis persaingan politik-ekonomi umat manusia.

Bandingkan misalnya dengan boarding school yang didirikan anak anak muda NU dan berlatar pesantren lainnya. Bukan mendirikan pesantren, tapi lembaga pendidikan lebih umum yang digawangi anak pesantren. Dapatnya hanya mahalnya saja. Kembangannya, hanya cas-cus bahasa Inggris dan bahasa Arab.

Seharusnya dari tradisi klasik pesantren, pendidikan dasar di pesantren harus mementingkan empat unsur:

Pertama, kurikulum kepesantrenan yang meliputi pengajaran bahasa (terutama bahasa Arab) beserta kaidahnya. Targetnya tidak hanya bisa membaca kitab tetapi memelihara tradisi ketelitian membaca teks dan mendalam dalam mengambil kesimpulan.

Memastikan minat baca santri agar tahan membaca buku dengan riang gembira dan bisa lama (selama beberapa jam). Maka persyaratan perpustakaan menjadi penting. Misalnya penting memonitor, berapa buku yang sudah dibaca tuntas oleh seorang santri agar jangan seperti banyak santri belakangan yang sampai tamat es dua tidak pernah hatam membaca satu bukupun.

Seberapa banyak bacaan itu mempengaruhi sudut pandang para santri dalam melihat realitas? Jika tidak merubah sudut pandang, jangan-jangan memang tidak ada buku yang pernah mereka baca secara tuntas? Di titik inilah yang disebut: membaca sebagai transformasi diri, memiliki sudut pandang dan kekhasan dalam melihat persoalan. Pengetahuan bukan soal informasi, tapi pengetahuan sebagai pengalaman.

Termasuk unsur kepesantrenan adalah para santri mengenal dan mengamalkan (tidak harus semua yang dikenal diamalkan) bacaan, doa, award, ahzab dan lainnya yang menjadi medium penguatan batin manusia di dunia pesantren. Sejauh mana pengamalan bacaan-bacaan yang notabene memiliki vitalitas bawaan itu mempengaruhi pembentukan diri para santri, dari pengamalan itu merubah pandangan mereka tentang semesta dan realitas kehidupan. Kalau saja pengamalan khazanah kebatinan akan melahirkan sudut pandang kemapanan, seperti pengamalan dengan tujuan halus untuk mencapai kemapanan materi dan mempertehankan atau melampui sesama, maka pengamalan itu sebenarnya adalah kemunduran. Disiplin kebatinan justeru untuk menyangga para santri dalam mengarungi kehidupan yang tidak sempurna dan bahwa setiap orang dan segala sesuatu memiliki vitalitas batiniah yang satu sama lain saling mengirim sinyal sehingga menjadi medium interaksi sosial yang paling hemat dan efektif.

Tradisi atau kebiasaan orang pesantren belajar bahasa Arab dan kaidahnya harus dibarengi dengan pengembangan minat baca dan tirakat karena kitab Alfiyah Ibnu Malik misalnya yang menjadi sendi kaidah bahasa Arab (Nahwu) merupakan mantra, istigasah dan jalan batin daripada sekadar pelajaran kaidah bahasa.

Kedua, mengambil hal-hal baru sambil memulihkan kurikulum lama yg hilang, seperti penguatan pengajaran dan pendidikan matematika untuk tingkat pendidikan dasar sampai es satu. Ini membutuhkan formulasi yang memakan waktu panjang. Minat anak pesantren ke ilmu sosial memang perlu dikurangi dengan jalan menata muatan ilmu eksakta di level pendidikan dasar.

Bagi santri yah sudah terlanjur mendalami ilmu sosial ketika masuk kuliah, tinggal mengasah kebiasaan belajar mandiri dengan membiasakan diri membaca buku 5 Samapi 9 jam dalam 24 Jam. Mengurangi belajar dari mendengarkan senior. Mengurangi dongeng tentang kehebatan senior.

Pada bagian ini, penting menambahkan muatan seni agar tidak hadrahan dan sastra saja. Penting menimbang seni lainnya, seperti gambar dan seni musik sebagaimana dibahas di awal tulisan ini.

Ketiga, setiap lembaga pendidikan yang disokong orang pesantren harus mampu mengelola tata rumah tangga lembaga agar lebih cair dan egaliter tanpa kebablasan adab. Lembaga harus memiliki standar kebersihan. Lembaga pendidikan harus mencerminkan kerja kolektif daripada kejamaahan yang tunduk di kaki figur tertentu (kecuali mau membabat alas untuk sebuah pesantren, persyaratannya mungkin lebih rumit lagi).

Keempat, para santri dalam lembaga pendidikan berbasis pesantren harus memiliki hubungan langsung dengan masyarakat sekitar. Segenap peserta dan pelaku pendidikan harus berhubungan baik dengan masyarakat sekitar. Model hubungannya ditentukan sesuai pengalaman.

Kalau kultur belajar sudah terbentuk, bisa menghabiskan waktu sampai 7 sampai 8 membaca, sangat masuk akal seorang santri membutuhkan pelepasan dengan mendengar musik berkualitas atau seni lainnya.

Hasan Basri
Lurah Pesantren Kaliopak, Yogyakarta dan Pengurus LESBUMI PBNU, Jakarta