Sebelumnya Baca: Menebak Kriteria Bid’ah Ustaz Khalid Basalamah (bagian 1)
Video kedua, berjudul “Bagaimana kaidah bidah dan cara mengenal bidah, Ustdz DR Khalid Basalamah, MA”, berdurasi 3:53 menit, dimuat di Channel Lentera Islam semenjak 16 Mei 2016, dan telah ditonton 101 ribu kali hingga saat ini. Dari tampilan dan kualitas suaranya, termasuk pakaian yang digunakan oleh Ustaz Khalid, video ini jelas berbeda dari yang pertama. Jadi, ini bukanlah satu video yang dipotong menjadi dua atau lebih sehingga mengesankan bahwa penjelasannya sengaja dipotong-potong. Bukan.
Menariknya, di video kedua ini Ustaz Khalid menyampaikan kriteria bid’ah yang agak berbeda. Beliau menyatakan, “yang Nabi Saw. tidak contohkan, tidak juga dicontohkan oleh para sahabat, ulama umumnya memasukkannya dalam kategori bid’ah. Dan ini, masuk dalam perilaku-perilaku, perbuatan-perbuatan, perkataan, ini masuk di dalamnya.”
Jika di video sebelumnya dikatakan bahwa kriteria bid’ah adalah segala amaliah yang tidak dilakukan atau diajarkan oleh Nabi, maka di video kedua ini dikatakan bahwa bid’ah adalah segala amaliah yang tidak dikerjakan oleh Nabi dan sahabat Nabi.
Lalu, Ustaz Khalid menambahkan penjelasan dengan mengutip Hadis berikut:
واياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فى النار
[Jauhilah perkara-perkara yang baru (diada-adakan), karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah; setiap bidah adalah sesat; dan setiap yang sesat masuk neraka]
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, al-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Kualitasnya sahih menurut Imam Tirmizi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan al-Hakim.
Lalu, saat menjelaskan istilah “محدثات الأمور” (perkara yang baru), Ustaz Khalid mengatakan bahwa kriteria bid’ah itu merujuk pada Hadis ini:
عليكم بسنة وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ
(Berpeganglah kalian pada sunnahku dan pada sunnah khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Berpeganglah dengannya dan gigitlah dengan geraham kalian)
Ustaz Khalid melanjutkan, yang dimaksud dengan “محدثات الأمور” (perkara yang baru) adalah perkara yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi dan tidak pula oleh Khulafaur Rasyidin. Berikut kutipan pernyataan beliau:
“semua yang muhdatsat, yang tidak saya (Nabi) contohkan, yang tidak khulafaurrasyidin contohkan, maka dia adalah perbuatan bid’ah, wa kullu bid’atin dhalalah, dan perbuatan bid’ah itu, artinya yang tidak saya (Nabi) contohkan, yang tidak khulafaurrasyidin contohkan, adalah bid’ah” (durasi 1:33-1:52).
Nah, menarikanya lagi, jika sebelumnya dikatakan bahwa bid’ah adalah segala amalan/perbuatan yang tidak dicontohkan oleh Nabi (saja), lalu berubah menjadi segala yang tidak dilakukan oleh Nabi dan sahabatnya, tapi kemudian berubah lagi menjadi segala perbuatan yang tidak dilakukan oleh Nabi dan khulafaurrasyidin.
Di video kedua ini, hanya sekali Ustaz Khalid menyebut “sahabat” (yaitu di awal), tapi “khulafaurrasyidin” disebut berkali-kali, sehingga memberikan kesan penekanan bahwa kriteria bid’ah itu memang segala yang tidak dicontohkan oleh Nabi dan khulafaurrasyidin saja, bukan sahabat secara umum.
Benar bahwa khulafaurrasyidin itu sahabat Nabi juga, tapi tidak semua sahabat itu tergolong khulafaurrasyidin. Khulafaurrasyidin terbatas pada empat orang, yaitu Abu Bakar Shidiq, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Kriteria dan cakupan ini (apakah sahabat secara umum atau khulafaurrasyidin saja) tentunya perlu diperjelas, sebab konsekuensinya sangat besar.
Kalau mengikuti alur berfikir Ustaz Khalid yang dari awal memang terlihat literalis-tekstualis, sepertinya beliau lebih cenderung pada khulafaurrasyidin saja, bukan sahabat secara umum. Sebab, redaksi Hadisnya adalah “وسنة الخلفاء الراشدين” (sunnah khulafaurrasyidin), bukan “وسنة اصحابي” (sunnah sahabatku), dan Ustaz Khalid cenderung mengambil pemahaman lurus sesuai redaksi yang tersedia.
Dengan demikian, menurut Ustaz Khalid, segala amalan yang dicontohkan oleh khulafaurrasyidin bukanlah bid’ah, melainkan termasuk sunnah juga. Kalau begitu, amalan yang dicontohkan oleh Abu Bakar, Umar, dan Usman sebagaimana disebutkan di atas tadi tidak jadi masuk dalam kategori bid’ah. Upaya pengumpulan Alquran menjadi mushaf dan pendirian baitul mal di masa Abu Bakar, berarti bukan bid’ah. Shalat tarawih 20 rakaat setiap malam Ramadhan di masa Umar bin Khatab bukanlah bid’ah. Azan dua kali menjelang Jum’at yang diperintahkan oleh Usman, juga bukan bid’ah.
Dan memang, di video ceramah Ustaz Khalid yang lain, yang khusus membahas shalat tarawih, Ustaz Khalid menyatakan dengan tegas bahwa shalat tarawih 20 rakaat itu termasuk sunnah, karena dicontohkan oleh sahabat Umar bin Khatab. Mestinya clear sampai di sini.
Namun, kriteria ini juga masih perlu diuji. Kalau cakupan yang bukan bid’ah hanya sampai pada khulafaurrasyidin yang empat orang itu, bagaimana dengan ijtihad-ijtihad sahabat yang lain? Bahkan, Siti Aisyah sang ummul mukminin sendiri, memiliki sekitar 600 fatwa, dan 200 di antaranya adalah—meminjam istilah Prof. Said Aqil Husen al-Munawar—fatwa mandiri. Bayangkan, kalau kriteria sunnah-bid’ah hanya dibatasi sampai khulafa’urrasyidin, berarti setidaknya Siti Aisyah akan diklaim telah melakukan bid’ah sampai 200 kali. Na’uzubillah.
Ada banyak amaliah sahabat yang sebelumnya tidak dicontohkan oleh Nabi, juga tidak oleh Khulafaurrasyidin. Abu Hurairah, misalnya, berzikir menggunakan kerikil atau buhulan-buhulan tali untuk menghitung zikirnya, padahal cara berziikir (menghitung zikir) yang dicontohkan oleh Nabi adalah menggunakan ruas-ruas jari tangan. Buhulan tali yang dilakukan oleh Abu Hurairah inilah kemudian yang menginspirasi umat Islam membuat asesoris bernama tasbih. Apakah kita mau mengklaim bahwa Abu Hurairah, sahabat yang terbanyak meriwayatkan Hadis Nabi, telah berbuat bid’ah? Ada lebih dari 5.000 Hadis yang diriwayatkan melalui Abu Hurairah. Kalau beliau sampai diklaim sebagai pembuat bid’ah, bagaimana status hadis-hadis yang ribuan itu?
Baca Juga: Apa yang Salah dengan Pernyataan “Ini Bid’ah”?
***
Anggaplah sekarang kriterianya sampai di sahabat (walau sesungguhnya belum clear dalam penjelasan Ustaz Khalid). Lalu para netizen berkomentar: kalau semua yang tidak dilakukan oleh Nabi dan sahabat itu dianggap bid’ah, berarti menggunakan gadged, naik pesawat, naik mobil, dan menggunakan peralatan-peralatan mutakhir lainnya juga bid’ah?
Ustaz Khalid pun memberikan penjelasan dalam banyak video ceramahnya bahwa bid’ah itu terkait urusan amaliah atau ritual ibadah semata. Adapun untuk urusan duniawi, interaksi sosial, atau muamalah, maka itu bukanlah bid’ah. Memakai gadged, naik pesawat, naik mobil, dan sejenisnya itu tidak terkait langsung dengan ibadah, karena itu, jelas Ustaz Khalid, tidak termasuk bid’ah.
Penjelasan yang disampaikan oleh Ustaz Khalid tersebut memang sejalah dengan sepasang kaidah fikih (asas hukum) yang sangat terkenal. Untuk hal-hal yang sifatnya ubudiyah, maka berlaku kaidah (selanjutnya disebut kaidah pertama):
الأصل فى العبادة التحريم الا ما دل الدليل على خلافه
[hukum asal setiap ibadah adalah haram, kecuali ada dalil yang menunjukkan sebaliknya]
Maksudnya, setiap ibadah itu harus menunggu adanya dalil terlebih dahulu, baru boleh dikerjakan. Kalau tidak ada dalil, maka haram dikerjakan.
Sementara, untuk urusan di luar ibadah atau sesuatu yang bersifat muamalah, maka berlaku kaidah (selanjutnya disebut kaidah kedua):
الأصل فى المعاملات الإباحة الا ما دل الدليل على خلافه
[hukum asal untuk urusan muamalah (interaksi sosial) adalah mubah (dibolehkan), kecuali ada dalil yang menunjukkan sebaliknya (melarang)]
Maksudnya, untuk urusan-urusan yang bersifat duniawi atau non-ibadah, maka pada dasarnya boleh saja dilakukan selagi tidak ada larangan. Kalau sudah ada larangan, baru dihentikan. Tapi kalau tidak ada larangan, silakan lanjutkan.
Baik, mari kita uji konsistensi penjelasan Ustaz Khalid tersebut, terutama untuk kategori muamalah (non-ibadah), karena untuk urusan-urusan ibadah sudah tergambar dalam video pertama dan kedua!
Video ketiganya berjudul “Bagaimana hukumnya merayakan ulang tahun dalam Islam? Ustadz DR Khalid Basalamah, MA” di channel Youtube Lentera Islam, diupload pada 30 Juni 2016, dan telah ditonton hingga saat ini sebanyak 427 ribu kali. Di sini, Ustaz Khalid menyatakan:
“Nabi Saw. gak pernah rayain ulang tahunnya. Gak usah sibuk ulang tahun tiap tahun gitu kan… Nabi Saw. gak pernah rayain hari lahirnya, gak juga sahabat, gak juga tabi’in, gak juga orang-orang saleh”.
Ada dua poin yang menarik diperhatikan dari pernyataan Ustaz Khalid di video ketiga ini. Pertama, Ustaz Khalid mulai merujuk pada tabi’in (generasi kedua setelah Nabi) dan orang-orang saleh. Padahal, dalam video pertama tadi, Ustaz Khalid sangat ketat membatasi hanya sampai Nabi, lalu di video kedua agak diperluas sampai khulafaurrasyidin. Kali ini, Ustaz Khalid mulai merujuk pada tabi’in dan orang-orang saleh.
Andaikan rujukan terhadap tabi’in dan orang-orang saleh ini dilakukan dari awal (video pertama dan kedua), tentunya Ustaz Khalid tidak perlu sampai mengharam-bid’ahkan tarekat-tarekat, karena tarekat (tentunya yang mu’tabarah) adalah amaliahnya orang-orang saleh. Kalau memang mau merujuk pada tabi’in dan orang-orang saleh, mestinya maulid Nabi, tahlilan, dan amalan-amalan yang diharamkan di video pertama itu, tidak perlu sampai diharamkan, karena semua itu diamalkan semenjak lama oleh para orang saleh. Bahkan, sejumlah amaliah yang dianggap bid’ah itu, telah dikerjakan semenjak generasi sahabat.
Kedua, Ustaz Khalid mencampuradukkan urusan ibadah dengan non-ibadah. Perhatikan kembali kalimatnya: “Nabi Saw. gak pernah rayain ulang tahunnya. Nabi Saw. gak pernah rayain hari lahirnya”. Kalimat ini menunjukkan bahwa, menurut Ustaz Khalid, karena perbuatan ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi, berarti haram dilakukan oleh umatnya. Demikian berarti, Ustaz Khalid berpatokan pada kaidah pertama (tentang ibadah), bahwa semua yang tidak ada contohnya dari Nabi berarti haram dilakukan.
Ini yang saya maksud dengan pencampuradukan tadi. Padahal, kegiatan ulang tahun itu jelas bukan ritual ibadah. Ibadah apakah yang diduplikasi atau diimitasi oleh kegiatan ulang tahun sehingga harus dianggap sebagai bid’ah? Kalau tidak ada kaitannya dengan ibadah, kaidah yang mestinya diberlakukan adalah yang kedua, yaitu: selagi tidak ada larangan dari Nabi, maka boleh dikerjakan.
Bagaimana jika dalam perayaan ulang tahun itu terdapat perbuatan-perbuatan munkar, mubazir, dan maksiat? Ya, larang saja perbuatan munkar dan maksiatnya, biarkan hal-hal yang tak perlu dilarang! Bukankah kita tak perlu membakar lumbung padi hanya gara-gara ada tikus yang menggerogoti?
Mengapa harus mengharamkan sesuatu yang memang tidak haram? Betapa suramnya wajah agama kalau setiap tindakan masyarakat selalu dibayang-bayangi dengan haram dan bid’ah. Mengutip penjelasan Buya Yahya Zainul Maarif, ulang tahun itu sejatinya adalah pekerjaan baik, karena ulang tahun berarti mengingat umur, dan mengingat umur berarti mengingat kematian, karena semakin umur bertambah, semakin kematian mendekat. Sebab itu, kata Buya Yahya, jika ada perbuatan-perbuatan munkar dan maksiat dalam kegiatan ulang tahun, cukup larang yang bagian munkar dan maksiatnya, lalu biarkan yang lainnya.
Seiring itu, Darul Ifta’ al-Mishriyah (Lembaga Fatwa Mesir), salah satu lembaga rujukan bagi ulama-ulama di dunia, juga mengeluarkan fatwa nomor 3467 pada 22 Mei 2011 bahwa merayakan ulang tahun pada dasarnya boleh dilakukan (selagi tidak menyertakan perbuatan-perbuatan terlarang). Ada unsur mensyukuri nikmat umur dalam kegiatan itu. Apalagi, kita juga diajarkan memanjatkan berdoa yang esensinya relevan dengan ulang tahun, yaitu:
اللهم طول عمورنا وصحح أجسادنا
[Ya Allah, panjangkanlah umur kami dan sehatkanlah jasmani kami]
***
Baik. Kita ke video keempat yang berjudul “Hukum Memasang Bendera 17 Agustusan” di channel Youtube Islam Teduh, diupload pada 1 Agustus 2016, dan telah ditonton hingga saat ini sampai 20 ribu kali. Di sini, perihal bendera, Ustaz Khalid mengatakan:
“Ini karena merayakan hari kemerdekaan yang menunjukkan kegembiraan, kalau saya Allahu a’lam, yang saya tahu tidak apa-apa”.
Di sini ustaz Khalid mengatakan bahwa mengibarkan bendera negara sebagai ungkapan kegembiraan atas nikmat kemerdekaan, maka boleh dilakukan.
Namun, jika dikaitkan dengan pernyataan beliau di video pertama mengenai maulid nabi yang dianggap bid’ah, maka layak kiranya diketengahkan sebuah pertanyaannya: mengapa ungkapan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad tidak boleh diungkapkan sedangkan kegembiraan atas kemerdekaan negara boleh? Bukankah itu sama-sama ungkapan kegembiraan?
***
Kriteria ini penting, karena dalam tradisi keilmuan Islam, setiap istilah mesti dijelaskan batasan dan kriterianya terlebih dahulu sebelum ia dioperasionalkan. Karena itu, dalam berbagai literatur disiplin-disipilin keilmuan Islam, setiap pembahasannya hampir selalu diawali tengan ta’rif (definisi dengan segala batasan dan kriterianya yang jelas). Jika ta’rif tidak jelas, maka istilah dan pembahasan itu tentu tidak bisa dioperasionalkan.
Dalam berbagai literatur, definisi mengenai bid’ah ini sebenarnya gampang ditemui. Dalam Kitab Fathul Bari bi Syarh Sahih Bukhari, karangan Ibnu Hajar al-Asqalani, misalnya, dijelaskan bahwa bid’ah adalah:
ما احدث ولييس له اصل فى الشرع
[perbuatan yang tidak ada dasar/dalilnya dalam agama/syara’]
Dikatakan di situ bahwa bid’ah adalah perbuatan yang tidak ada dasar/dalilnya dalam agama. Dalil itu apa saja? Setidaknya ada empat, yaitu Alquran, Sunnah, Ijma’, dan qiyas. Jadi, jika tidak ditemukan ungkapan eksplisit atau suatu persoalan di dalam Alquran dan Sunnah, tapi ada ijma’ ulama tentang itu, maka itu adalah dalil. Jika tidak ada dalam Alquran, Sunnah, dan Ijma’, tapi bisa diberlakukan qiyas (dengan rukun dan syarat yang sah), maka itu juga dalil. Yang empat ini adalah dalil yang disepakati oleh semua ulama. Masih ada dalil-dalil lain, tapi memang tidak semua ulama menerapkannya, seperti maslahah mursalah, istihsan, sad al-dzari’ah, urf, dan seterusnya.
Lantas, bagaiamana mengoperasionalkan definisi bid’ah tersebut? Ibnu Hajar al-Asqolani melanjutkan:
وما كا ن له اصل يدل عليه الشرع فليس ببدعة
[kalau ada perbuatan baru, tapi masih ada dalil yang mendukungnya, maka itu bukanlah bid’ah]
Sejelas dan seterang itu sebenarnya. Karena itu, perayaan maulid Nabi, ziarah kubur, tahlilan, berdoa setelah shalat, dan sebagainya, yang jelas-jelas ada dalil pendukungnya, maka tidak boleh diklaim sebagai perbuatan bid’ah.
Ibnu Hajar al-Asqolani melanjutkan, bahwa secara bahasa, kata “bid’ah” ini awalnya bermakna netral. Wajar kiranya ketika Umar bin Khatab, saat menjelaskan perkara shalat tarwih 20 rakat di tiap malam Ramadhan pada masa kepemimpinannya itu, berkata:
فنعمة البدعة هذه
[bid’ah yang paling nikmat adalah ini]
Umar bin Khatab mengakui bahwa perbuatan itu sebagai bid’ah, dalam pengertian bahwa Nabi semasa hidupnya tidak pernah mengerjakan (bid’ah secara bahasa). Namun, bid’ah yang dimaksud oleh Umar bin Khatab bukanlah dalam pengertian yang jelek, melainkan dalam pengertian yang baik. Inilah yang saya maksud dengan diksi “netral” di paragraf awal tulisan ini.
Baca Juga: Vonis Bid’ah Itu Berat, Sekelas Ibnu ‘Arafah Saja Tak ‘Kuat’
Namun, setelah diadopsi menjadi terminologi agama, lanjut Ibnu Hajar, barulah kata bid’ah ini bermakna jelek. Oleh karena itu, menurut Imam Syafi’i (sebagaimana dinuqil oleh Ibnu Hajar al-Asqolani juga), bid’ah itu terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (bid’ah yang baik) dan bid’ah madzmumah (bid’ah yang jelek). Bagaimana membedakan keduanya? Kembali patokannya adalah definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqolani di atas. Jika ada dalil pendukungnya, berarti itu bid’ah yang baik, tapi jika tidak ada dalil pendukung, maka itu bid’ah yang jelek.
Sepertinya, Ustaz Khalid tidak merujuk pada definisi tersebut, tapi juga tidak mengemukakan definisi lain yang lebih jelas, terukur, dan bisa dioperasionalkan. Karena itu, hingga catatan ini hendak diakhiri, saya memang masih menebak-nebak seperti apa kriteria dan batasan bid’ah menurut Ustaz Khalid Basalamah.
Satu hal yang bisa saya simpulkan sementara: jika selama ini banyak orang beranggapan bahwa ceramah-ceramah Ustaz Khalid Basalamah terlalu kaku dan serius, mereka salah! Justru, dalam topik bid’ah ini, Ustaz Khalid sebaliknya! Karena itu pula, paragraf terakhir ini sengaja saya tulis untuk berseloroh, sedangkan yang lainnya serius.[]
Kriteri Bid’ah Kriteria Bid’ah Kriteria Bid’ah
Syukron. Barakallahu fiik. Jazaakumullahu khoir