scentivaid mycapturer thelightindonesia

Menelisik Aspirasi Pendukung Khilafah di Indonesia

Menelisik Aspirasi Pendukung Khilafah di Indonesia

Hingga kini membincangkan relasi Islam dan politik di Indonesia masih tetap menarik. Selain karena umat Islam menjadi warga mayoritas di negeri ini, juga karena aspirasi politik umat Islam di Indonesia tidaklah bersifat homogen dan terus berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan, semenjak era sebelum kemerdekaan, aspirasi politik umat Islam di pentas politik nasional tidaklah tunggal. Dan hingga hari ini, aspirasi politik itu terus terjadi kontestasi di internal umat Islam sendiri.

Bukti bahwa aspirasi politik umat Islam di Indonesia tidak bersifat homogen, ini tercatat dalam sejarah di mana terjadi penghapusan tujuh kata piagam Jakarta dalam Pembukaan UUD 1945 oleh BPUPKI. Ketujuh kata tersebut berbunyi: Kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Kompromi politik terjadi, karena ada ancaman bahwa Indonesia bagian Timur akan memisahkan diri jika Piagam Jakarta tetap dicantumkan. Demi menyelamatkan kepentingan bangsa dan kepentingan nasional, akhirnya kelompok muslim menerima penggantian Piagam Jakarta menjadi, Sila Pertama dari Pancasila berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa.

Era Reformasi telah memberikan ruang begitu besar untuk ekspresi politik di Indonesia. Pasca reformasi, geliat politik umat Islam cenderung meningkat (dampak dari iklim politik yang terbuka). Berbeda dengan masa Orde Baru, dinamika politik dibatasi oleh kekuatan represif Negara, kini ruang ekspresi politik malah terbuka luas bebas. Salah satu ciri yang membedakan dinamika politik umat Islam pada era Orde Baru dan pasca-reformasi adalah, kontestasi yang terbuka antar berbagai aliran.

Terlebih, ketika dinamika gerakan Islam di Indonesia diramaikan dengan hadirnya kelompok-kelompok yang sering diistilahkan dengan Islam trans-nasional, kontestasi itu menjadi semakin riuh. Sehingga berbagai model pemikiran sama-sama merasa memiliki keabsahan untuk mengampanyekan pemikiran dan sikap politiknya. Dua di antaranya yang paling menonjol, adalah fenomena Islamisasi satu sisi, dan sekularisasi di sisi yang lain.

Dulu perdebatannya hanya sebatas bentuk negara apakah berlandas syariat Islam atau demokrasi tanpa memperdebatkan masalah batas wilayah dan nasionalisme. Kini perdebatan ini semakin riuh dengan hadirnya gagasan Islamisme trans-nasional yang tidak hanya mengampanyekan penegakan syariat Islam, melainkan juga menentang nasionalisme dan demokrasi karena dianggap di luar dari tradisi Islam.

Yang jelas, gagasan ini paling getol disuarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan jargon khasnya penegakan Khilafah Islamiyah di seluruh wilayah umat Islam. Melalui media-media, mereka mengampanyekan keharusan membentuk sistem pemerintahan tunggal di dunia dengan wujud Khilafah. Kelompok ini juga paling sering mengkritik kebijakan pemerintah Indonesia karena dinilai tidak bersesuaian dengan syariat Islam.

Syahdan, penting untuk di ingat bahwa penyebaran agama Islam di Indonesia berbeda dengan daerah muslim yang lain, tanpa terjadi konflik yang berujung pada pengaharusan peperangan. Sejak awal penyebaran Islam di Indonesia, telah terjadi relasi yang begitu khas antara Islam dan tradisi sehingga melahirkan corak keberagamaan Islam di Nusantara. Para Wali Songo sebagai pihak yang paling berjasa dalam penyebaran agama Islam di Indonesia dalam dakwanya tidak serta menghilangkan tradisi masyarakat, justru berbaur dengan masyarakat. Inilah yang menurut para ahli membuat Islam mudah diterima di Indonesia.

Ketiadaan benturan yang begitu berarti dalam dakwah Walisongo di Indonesia karena format yang dipakai adalah tradisi sufistiknya. Proses Islamisasi seperti ini disebut sebagai bentuk penetrasi secara damai. Tradisi sufistik budaya ini bahkan dikembangkan dalam pola akulturasi dengan kekuasaan formal dan kebudayaan lokal. Kalau tradisi halal-haram diterapkan begitu saja dalam budaya, agama akan mengalami keterasingan dan kekeringan. Karena itu, para wali memilih jalan sufistik menuju Tuhan. Bahkan dalam kontribusinya terhadap pengelolaan kekuasaan di zaman dinasti Islam awal di Jawa, ketika secara de jure Raden Fattah menjadi raja, namun secara de facto para wali yang memimpin spiritualitas bangsa.

Sudah jelas, sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dikumandang Sukarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, kontestasi gagasan mengenai bentuk Negara ini turut mengemuka. Meski sempat terjadi kompromi yang berimbas pada penghapusan Piagam Jakarta, perang wacana antara pengusung penerapan syariat Islam hingga yang menolaknya di Indonesia tidak pernah sepi hingga kini. Dalam sebuah catatannya, Abdurahman Wahid mengatakan, ketika para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan untuk menerima gagasan persamaan status hukum bagi semua warga negara RI, melalui pencoretan Piagam Jakarta, ini praktis mematikan gagasan Negara Islam, hingga akhirnya kemudian menggantikannya dengan istilah Negara Pancasila.

Bahkan sepuluh tahun sebelum Proklamasi, dalam muktamar di Banjarmasin pada tahun 1935, Nahdlatul Ulama telah menetapkan sebuah landasan kokoh bagi tegaknya bangsa dengan memutuskan untuk tidak mendukung terbentuknya Negara Islam, melainkan mendorong umat Islam untuk mengamalkan ajaran agamanya demi terbentuknya masyarakat yang Islami, dan sekaligus membolehkan pendirian negara bangsa.

Meski begitu dalam perjalanan bangsa ini, gagasan Negara Islam muncul kembali dengan berbagai variannya, ada yang menginginkan formalisasi syariat berbentuk Negara Islam dan ada yang memperjuangkan sebuah negara tunggal berbentuk Khilafah Islamiyah.  Kemerdekaan Indonesia sempat terusik dengan berbagai pemberontakan-pemberontakan yang beberapa di antara mengusung ide negara Islam.

Baca Juga: Jihad: Antara Sandiwara dan Keikhlasan

Pemberontakan yang cukup berpengaruh adalah pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan Negara Islam Indonesia (NII). Bahkan NII pernah menjadi suatu gerakan yang berusaha membangun supremasi Islam, hingga akhirnya mereka memproklamasikan diri sebagai sebuah negara pada 7 Agustus 1949, dan berhasil mempertahankan eksistensinya hingga 13 tahun lamanya (1949-1962). Kekuatan inipun dibungkam pemerintah melalui kekuatan militer karena dinilai makar terhadap pemerintahan yang sah.

Para penyeru Negara berbasis syariat Islam berpandangan bahwa, merealisasikan aspirasi mereka dalam kancah politik nasional secara formal merupakan sebuah kenicayaan, sebab sebagai mayoritas kemerdekaan negeri ini merupakan jasa dari masyarakat muslim Indonesia. Inilah yang melanggengkan seruan penerapan syariat Islam sejak dari Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi. Sedangkan di sisi lain sebagian kelompok muslim dan nasionalis berpandangan bahwa demi menjaga stabilitas, negara ini harus berlandaskan negara bangsa bukan berlandaskan agama.

Bagi mereka, penarikan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945 adalah konsekuensi logis dari konsensus nasional bahwa Indonesia bukan negara agama. Indonesia bukan pula negara sekuler. Indonesia adalah negara multireligius dan multietnis yang tidak mengistimewakan agama dan suku tertentu. Oleh karena itu, bagi mereka Pancasila sudah berkesesuaian dengan ajaran Islam. Syariat Islam juga tidak perlu dicantumkan secara formal sebagai dasar negara maupun dalam hukum formal negara. Bagi kelompok ini, meskipun Indonesia bukan negara Islam, namun negara tidak membatasi aspirasi umat Islam dan memberikan kesempatan bagi umat Islam untuk berkembang serta menjamin hak-hak sosial dan politiknya.

Pasca tumbangnya Orde Baru, ditandai dengan dimulainya era reformasi kini tampak beberapa ormas maupun parpol berpaham Islamisme yang bermunculan dan membawa misi yang sama yakni formalisasi syariat Islam. Di antara sekian ormas yang sejalur dalam perjuangan formalisasi syariah di Indonesia, salah ormas yang cukup getol dan vokal karena didukung dengan beberapa media adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Sedikit berbeda dengan kelompok lainnya, kelompok ini dikenal dengan jargon penegakan Khilafah Islamiyah sebagai bentuk pemerintahan tunggal seluruh negara muslim di dunia. Kalau dilihat dari poin dasar perjuangannya, sebenarnya bukan merupakan gerakan baru di Indonesia. Apa yang diusung HTI, pada dasarnya sama dengan yang diusung gerakan Darul Islam (DI), di mana mereka juga berusaha mengubah negara bangsa menjadi negara agama, mengganti ideologi negara Pancasila dengan Islam versi mereka, atau bahkan menghilangkan NKRI dan menggantinya dengan Khilafah Islamiyah.

Perjuangan formalisasi syariat Islam di Indonesia memang tidak pernah sepi, meski sejarah telah memberikan pelajaran akan kegagalan mereka berkali-kali. Mengapa demikian? Karena hampir seluruh analis politik Indonesia, termasuk para Indonesianis, tidak yakin jika diminta memprediksi pergerakan politik Indonesia. Hal ini disebabkan dinamika politik Indonesia sering kali bergerak tidak linier. Sedangkan menganalisis politik di Indonesia tidak akan pernah lepas dari menganalisis nalar politik mayoritas masyarakatnya beragama Islam.

Islam sebagai agama merupakan sistem nilai yang mencakup segala apek kehidupan manusia. Ia tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam lingkungannya. Salah satu ajaran Islam itu diyakini berhubungan dengan kehidupan politik. Adanya pandangan bahwa Islam merupakan instrumen ilahiah untuk memahami dunia, telah mendorong sejumlah pemeluknya untuk percaya bahwa Islam mencakup cara hidup yang total. Penubuhannya dinyatakan dalam syariah (hukum Islam). Bahkan sebagian kalangan Muslim melangkah lebih jauh dari itu, mereka menekankan bahwa Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan.

Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang bergerak di luar parlemen. Politik merupakan kegiatannya dan Islam adalah mabda (ideologinya). Partai ini didirikan di al-Quds, Palestina pada 1953 oleh Taqiyuddin An-Nabhani dengan maksud untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam di bawah Daulah Khilafah Islamiyah. Partai politik dan gerakan dakwah ini mendasarkan perjuangannya pada thariqah dakwah Rasulullah yang tidak pernah berkompromi dengan kekufuran yang ada.

Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia pada awal dekade tahun 1980-an. Namun ada yang beranggapan bahwa ide-ide Hizb telah hadir di Indonesia sejak Taqiyudin an-Nabhani mengunjungi Indonesia pada tahun 1972. Sulit sekali menelusuri sejarah perjalanan HTI di era dekade 1970-an, karena mereka sendiri belum ada menulis perihal kapan ide-ide HT masuk ke Indonesia, boleh dikatakan serba misteri. Aktivitas HTI hanya bisa kita lacak pada tahun 1982. Hizbut Tahrir dibawa ke Indonesia oleh Abdurrahman al Baghdadi, pimpinan Hizbut Tahrir di Australia, yang pindah ke Bogor atas undangan KH Abdullah bin Nuh, kepala Pesantren Al-Ghazali. Seperti halnya Gerakan Tarbiyah, gerakan ini yang disebarkan melalui jaringan dakwah kampus.

Menurut HTI, kaum Muslim di seluruh dunia wajib berada dalam satu negara dan wajib pula hanya ada satu khalifah bagi mereka. Secara syar’i kaum Muslim di seluruh dunia haram memiliki lebih dari satu negara dan lebih dari seorang khalifah. Kewajiban ini pula berlaku terhadap sistem pemerintahan khilafah sebagai sistem kesatuan dan haram menjadikannya sebagai sistem federasi. Dasar hukum yang digunakan adalah sebagaimana hadis yang diriwayatkan Imam Muslim: “Dari Abdullah bin Amru bin al-Ash yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Siapa saja yang telah membaiat seorang imam/khalifah, lalu ia telah memberinya genggaman tangannya dan buah hatinya, hendaklah ia menaatinya sesuai dengan kemampuannya. Kemudian jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang itu.” (HR Muslim)

Atas keyakinan bahwa Daulah Islam adalah khilafah, yaitu kepemimpinan tunggal/umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia. Maka secara ideologi, HTI dengan tegas mengharamkan kepemimpinan yang lainnya, bahkan HTI disinyalir tidak segan untuk melakukan tindakan kekerasan. Sebab menurut mereka ini telah berdasarkan perintah Rasulullah saw: “Jika dua orang Khalifah dibaiat maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya.” (HR Muslim).

Sistem pemerintahan khilafah yang dimaksud HTI adalah berdasarkan pedoman Nabi (khilafah ala minhaj al-Nubuwah). Bagi mereka sistem khilafah berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan yang dikenal di seluruh dunia; baik dari segi asas yang mendasarinya, dari segi pemikiran, pemahaman, maqayis, dan hukum-hukumnya untuk mengatur berbagai urusan. Sistem khilafah dianggap berbeda karena sistem pemerintahan Islam bukan sistem kerajaan, bukan sistem imperium (kekaisaran), bukan sistem federasi, dan bukan pula sistem republik. Secara konsepsi, khilafah menurut HTI adalah sebagaimana yang dijelaskan di dalam al-Quran, sunnah, ijma’ dan qiyas. Konsep tersebut termanifestasi secara ideal pada masa al-khulafa’ al-Rasyidun.

Bagi HTI, Islam merupakan Ideologi politiknya, sekaligus melegitimasi khilafah sebagai pelaksana hukum-hukum syariat Islam dengan pemikiran-pemikiran yang didatangkan oleh Islam dan hukum-hukum yang disyariatkannya serta untuk mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia dengan mengenalkan dan mendakwahkah Islam sekaligus berjihad. Menurut mereka jabatan khilafah tidak sama dengan kenabian, khilafah merupakan jabatan duniawi bukan jabatan ukhrawi. Khilafah ada untuk menerapkan agama Islam terhadap manusia dan untuk menyebarkannya di tengah-tengah umat manusia.

Pendiri Hizbut Tahrir, Taqiyudin An-Nabhani, dalam kitab Mafahim Hizbut Tahrir yang menjadi landasan Hizbut Tahrir, dengan jelas menentang jenis penafsiran dan petakwilan hukum Islam yang dikontekstualisasikan dengan perkembangan zaman. Bagi mereka tindakan ini yang justru menjauhkan Islam dari kehidupan. Menurut mereka hal itu merupakan usaha menginterpretasikan Islam dengan cara yang bertentangan dengan hakikat ajarannya. Semua itu menjadi sebab semakin jauhnya kaum Muslim dari pemahaman yang benar terhadap Islam, bahkan pada akhirnya Islam dijauhkan dari pengamalan ajarannya. Termasuk di sini adalah penentangan mereka terhadap kaidah-kaidah-kaidah yang menjadi patokan banyak ulama sunni.

Dalam kitab yang sama, Taqiyuddin mengkritik interpretasi jihad yang dari kalangan umat Islam yang menafsirkan bahwa jihad bermakna peperangan defensif (bertahan), bukan peperangan ofensif. Bagi Hizbut Tahrir, ini pemahaman yang keliru sebab pemahaman semacam ini menyalahi makna dan hakikat jihad yang sebenarnya. Jihad bagi Hizbut Tahrir adalah aktivitas memerangi pihak manapun yang berdiri menentang dakwah Islam, baik yang menyerang Islam lebih dahulu atau tidak. Dengan kata lain, jihad adalah menyingkirkan segala bentuk rintangan yang menghambat dakwah Islam. Jihad juga memiliki makna seruan dan dakwah kepada Islam serta berperang demi tegaknya dakwah, yaitu jihad fi sabilillah.

Dalam konteks Indonesia menurut HTI, sistem demokrasi, negara bangsa, Pancasila, dan nasionalisme adalah sistem kufur. Ia adalah hasil buatan manusia dan bukan merupakan hukum-hukum syar’i, serta tidak boleh diterima. Melaksanakan sistem demokrasi berarti melaksanakan sistem kufur. Lebih dari itu, organisasi/partai umat Islam wajib berdasarkan Islam semata, baik ide maupun metodenya. Umat Islam haram membentuk organisasi/ partai atas dasar ide seperti itu, serta umat Islam juga haram menjadi anggota ataupun simpatisan partai-partai di atas karena semuanya merupakan partai-partai kufur yang mengajak kepada kekufuran.

Tidak hanya itu, tasawuf juga telah ditegaskan oleh HTI tidak lepas dari keharaman. Tasawuf menurut mereka bukan bagian integral dari Islam, tasawuf mereka anggap berasal dari India. Tidak murni ajaran Islam. Hizbut Tahrir meyakini bahwa daulah Islam bukanlah khayalan, sebab bagi mereka sejarah telah membuktikan itu. Dimana sepanjang sejarah Islam, bentuk negara khilafah dengan segala variannya menjadi pilihan bentuk paling ideal, paling tidak bagi kepentingan umat Islam. Dari segi luasnya wilayah yang dikuasai, Islam dengan sistem khilafah telah berhasil menjadi sebuah imperium terluas sepanjang kekuasaan manusia, membentang luas mulai dari Spayol, Eropa, Semenanjung Arab, sebagai Afrika dan bahkan India dan Cina. 

Dalam kitab Ad-Daulah Al-Islamiyah, Taqiyuddin An-Nabhani menegaskan bahwa akan keberhasilan tegaknya khilafah ini. Menurut Taqiyudin, Hizbut Tahrir berusaha untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam di kawasan negeri-negeri Arab. Dari sanalah tujuan untuk melangsungkan kehidupan Islam di seluruh dunia Islam akan tercapai, yaitu dengan jalan mendirikan Daulah Islamiyah di satu atau beberapa wilayah sebagai titik sentral Islam, dan sebagai benih berdirinya Daulah Islamiyah yang besar yang akan mengembalikan kehidupan Islam, dengan menerapkan Islam secara sempurna di seluruh negeri-negeri Islam, serta mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.

Sayangnya apa yang dicita-citakan Taqiyudin ini sering mengalami kegagalan, sebab di negara tempat Hizbut Tahrir di dirikan, mereka justru ditentang. Taqiyudin awalnya merupakan anggota Ikhwanul Muslim semasa belajar di Al-Azhar Mesir. Pasca kematian Hasan Al-Banna, ia kemudian berkampanye di kelompoknya di Syria, Libanon dan Yordania. Ketika di Mesir, ikhwanul Muslimin menerima konsep nasionalisme, Taqiyyudin keluar. Ia beranggapan bahwa Ikhwanul Muslimin sudah masuk lingkaran jahiliah. Dari sini kemudian ia mendirikan mendirikan Hizbut Tahrir yang berarti partai pembebasan. Maksudnya, pembebasan kaum muslimin dari cengkraman Barat dan dalam jangka dekat membebaskan Palestina dari Israel, dengan mengonsep ideologi khilafah Islamiyah.

Hal ini ternyata tidak berjalan mulus, karena ia berideologi khilafah Islamiyah, sedangkan di negara tempat ia mendirikan Hizbut Tahrir telah berdiri negara nasional, maka akhirnya berbeda dengan masyarakatnya. Di Lebanon, sudah berdiri negara nasionalis yang multi agama, Di Syiria juga telah menjadi negara sosialis, begitu juga Yordania telah berdiri sebagai negara sesuai kondisi masyarakatnya. Akhirnya Hizbut Tahrir itu menjadi organisasi terlarang di negara asal berdirinya. Karena ia menganggap nasionalisme itu sebagai jahiliah modern.

Namun meski menjadi organisasi terlarang, Hizbut Tahrir tetap bekerja dan menyusup ke tentara, ke berbagai organisasi profesi dan masuk juga ke parlemen. Hizbut Tahrir masuk ke partai politik dengan menyembunyikan identitasnya. Dari situlah kemudian terjadi upaya-upaya untuk melakukan kudeta terhadap pemerintah yang sah pada jaman Raja Husen. Sehingga sebagian anggota Hizbut Tahrir diajukan ke pengadilan dan dihukum mati. Sampai sekarang Hizbut Tahrir masih jadi organisasi terlarang di Yordania.

Senada dengan itu, kendala eksistensi Hizbut Tahrir di beberapa negara Islam/muslim adalah, bahwa dinegara seperti di Yordania sewaktu HT didaftarkan oleh Taqiyuddin an-Nabhani kepada pemerintah untuk diakui sebagai organisasi politik tidak mendapatkan ijin, sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan dinyatakan ilegal. HT juga dilarang mengadakan kegiatan di Bangladesh, karena diduga melakukan tindakan kekerasan, dan dianggap teroris, sehingga 40 aktivisnya ditangkap pemerintah. Nasib serupa terjadi di Tunisia, pemuda-pemuda HT ditangkap pemerintah, karena melakukan kritik keras terhadap kebijakan politik pemerintah.

Di Turki yang selama ini dinilai menjadi sebab runtuhnya kekhilafahan, HT tidak dapat bergerak leluasa, 200 aktivis ditangkap pemerintah, 80 di antaranya masuk penjara. Di Pakistan, 30 pemuda HT ditangkap, karena diduga terlibat dalam teroris. Semua kasus ini menandakan bahwa ada problem serius mengiringi keberadaan HT di negara-negara Islam, sehingga menjadi kendala tersendiri dalam mewujudkan khilafah al-Islamiyyah yang selama ini menjadi inti perjuangannya. Berbeda dengan di Indonesia yang disebut negara muslim, dengan Pancasila sebagai ideologi negara, keberadaan HT sejak kedatangannya sampai sekarang tidak mengalami problem perjuangan karena belum pernah terjadi penangkapan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia oleh pemerintah. Konflik fisik dengan sesama anggota gerakan Islam lainnya juga belum pernah terjadi, bahkan perkembangan HTI cukup berhasil.

Baca Juga: Mata Uang Sunnah?

Kini HTI tengah mencari tempat untuk memulai proses khilafah, Indonesia menjadi pilihan tepat untuk menjadi titik awal tersebut. Hal ini dengan jelas terpampang dalam buku berjudul Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia. Ini dikarenakan Indonesia selain sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia, demokrasi yang menjadi pilar Indonesia memberikan kebebasan bagi mereka untuk mengampanyekan khilafah.

Melihat konsepsi Hizbut Tahrir, serta riwayat perjuangan mereka hingga ditolak di negara asalnya, sangat jelas konsepsi khilafah di kemudian hari akan sangat berpengaruh, bahkan bisa mengancam konsep NKRI. Internasionalisasi yang lintas batas teritorial jelas akan menghilangkan batas-batas teritorial suatu negara bangsa seperti Indonesia. Konsep khilafah juga mengaharuskan perubahan fundamental dasar-dasar negara bangsa seperti Indonesia. dengan kata lain, kalau sistem khilafah diterapkan di Indonesia, maka Indonesia saat ini akan hilang dari peredaran. []

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf, sempat Nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Dan sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Penulis bisa dihubungi melalui Fb: Salman Akif Faylasuf dan No hp: 081907461607