Seblumnya Baca: Menelusuri Paham Keagamaan Tuanku Imam Bonjol Dalam Kitab Naskah Tuanku Imam Bonjol (Part 1)
Oleh: Muhammad Hidayatullah (Putra Pasaman, Anak Muda Minangkabau)
Pada postingan sebelumnya (part 1) saya sudah menerangkan seputar biografi Tuanku Imam Bonjol dan sekilas gambaran tentang kitab Naskah Tuanku Imam Bonjol. Maka pada kesempatan ini izinkan saya untuk melanjutkan pembicaraaan itu ke arah lebih spesifik.
Akhir-akhir ini, ada satu kelompok yang “mengklaim” secara sepihak bahkan “memaksakan” melekatkan paham keagamaan atas Tuanku Imam Bonjol secara khusus dan ulama-ulama Paderi secara umum dengan mengatakan bahwa ulama Paderi dan Tuanku Imam Bonjol itu penganut sekaligus penyebar paham salafi-wahabi di Minangkabau. Lalu apakah benar seperti itu? Apakah benar ulama Paderi menganut “paham” Wahabi yang sering mengampanyekan untuk anti tasawuf, anti akidah Asy’ariyyah (Ahlussunnah wal Jama’ah), anti mazhab, anti ziarah kubur, tahlilan dan sebagainya itu? Yuk, mari kita bantu jawab secara bertahap berdasarkan keterangan catatan-catatan Imam Bonjol dan anaknya, Sutlan Chaniago dalam Naskah Tuanku Imam Bonjol.
Maka pada kesempatan ini pula ada 4 poin yang ingin saya jelaskan sekaligus menjadi kesimpulan akhir tulisan ini:
- Tuanku Imam Bonjol berakidah Ahlussunnah wal Jamaah, Pengamal tasawuf, bertarekat dan bermazhab
- Kewalian Tuanku Imam Bonjol dan tradisi ilmu palangkahan
- Tuanku Imam Bonjol memfatwakan pengamalan tawasul arwah
- Keluarga serta pengikut Tuanku Imam Bonjol melestarikan tradisi bakar kemenyan.
Mari kita telusuri data-datanya!
- Tuanku Imam Bonjol berakidah Ahlussunnah wal Jamaah, Pengamal Tasawuf, Bertarekat dan Bermazhab
Pada saat melakukan perlawanan terhadap kompeni Belanda di Sikara Kara, Mandailing Natal, Imam Bonjol menceritakan bahwa ia dan pengikutnya (orang-orang Bonjol) saat itu berperang tanpa menggunakan senjata bedil/senapan melainkan hanya dengan modal zikir kalimah tauhid “La Ilaha illa Allah”. (Berkat pertolongan Allah dan ketinggian makrifatnya dalam ilmu hakikat), ia dan pengikutnya dapat memenangkan pertempuran yang akhirnya membuat kompeni lari tunggang langgang ke markas gedungnya. (lihat: Naskah Tuanku Imam Bonjol, hal. 44).
Data lain membuktikan bahwa Imam Bonjol berguru kepada seorang wali besar keramat yang bernama Tuanku Bandaharo. Pembuktian ini dapat dilihat dari keterangan Tuanku Imam Bonjol dan anaknya, Sultan Chaniago melalui catatan mereka masing-masing. Imam Bonjol sendiri mengungkapkan bahwa Tuanku Bandaharo adalah guru paling berjasa baginya dalam menempa hidup dan pendidikannya. (Baca: Halaman awal dan halaman 216 pada Naskah Tuanku Imam Bonjol).
Begitupun tokoh-tokoh dan masyarakat setempat di Bonjol, juga meyakini bahwa Imam Bonjol memiliki ketersambungan sanad keilmuan kepada Syekh Muhammad Saad Padang Bubuih Bonjol (mursyid dalam Tarekat Naqsyabandiyah), dan Syekh Tuanku Nan Tuo di Ampek Angkek, Agam (ulama kharismatik Minangkabau di zaman Paderi, guru besar dalam tarekat Syattariyah dan bermazhab Syafii). Selain itu, Imam Bonjol juga bersahabat dekat dengan Syekh Maulana Ibrahim al-Khalidi al-Naqsyabandiy al-Syafiiy di Kumpulan, kec. Bonjol, kab. Pasaman, serta sama-sama berjuang dalam Perang Paderi. Maulana Syekh Ibrahim Kumpulan yang bernama asli Syekh Abdul Wahab bin Fahati (1764-1914M) ini merupakan Guru Besar dalam Tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau sekaligus sebagai generasi pertama penyebar Tarekat Naqsyabandiyah ke Minangkabau setelah pulang dari Makkah dan diberi ijazah oleh Syekh Abdullah Affandi (w. 1849). Syekh Abdullah Affandy adalah salah seorang khalifah dari Syekh Khalid Kurdi (w. 1826) yang diutus ke Makkah dan kemudian mendirikan zawiyah di Jabal Abi Qubais (tempat pusat belajar ulama-ulama Jawi dalam ilmu Tarekat).
Sebuah Tesis yang ditulis oleh Buya Chairullah Ahmad dengan judul, “Naskah Ijazah dan Silsilah Tarekat: Kajian Terhadap Transmisi Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Minangkabau” pun telah membuktikan bahwa tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah telah masuk dan berkembang di Minangkabau pada awal abad ke 19 M atas jasa Syekh Ibrahim Kumpulan, kemudian Syekh Ismail melalui murid-muridnya yang berasal dari Minangkabau yang telah diijazahkannya sebagai mursyid. Bahkan, pada pertengahan abad 19 M tarekat Naqsyabandiyah lebih dominan di Minangkabau dibanding tarekat Syattariyah (walaupun mayoritas pejuang Paderi mengamalkan tarekat Syattariyah). Kesimpulan tesis tersebut membantah beberapa peneliti seperti BJO Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatera Barat; Sebuah Sumbangan Bibliografi; dan peneliti Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis yang menyatakan bahwa tarekat Naqsyabandiyah berkembang di Minangkabau pada pertengahan abad 19 M (1850) yang disebarkan oleh Syekh Ismail al-Khalidi.
Bahkan secara pengamalan, mayoritas penduduk negeri Bonjol dan sekitarnya hingga hari ini pun masih memakai mazhab Syafii dalam syariat serta masih menjaga tradisi bai`at Tarekat, tahlilan, yasinan dan ziarah kubur sebagai bukti adanya pengaruh pemahaman keagamaan yang disebarkan oleh Tuanku Imam Bonjol bersama ulama Paderi lainnya. (berdasarkan hasil wawancara penulis dengan tokoh masyarakat setempat dan pengamatan langsung di lapangan).
Bila kita telusuri lebih lanjut, ada beberapa pituah/fatwa khusus yang dialamatkan oleh Imam Bonjol kepada anaknya, Sultan Chaniago sebelum ia hendak pergi menemui Belanda untuk melakukan perundingan terakhir kalinya (hingga kelak diasingkan ke pulau Jawa terus ke Manado). Beberapa petuah khusus tersebut adalah tentang adat pusaka diam di dalam nagari dan pusaka menghunikan nagari; sifat dan prinsip/jati diri yang harus dimiliki oleh anak lelaki; martabat orang berani; pedoman dalam bergaul di tengah masyarakat; dan petuah dalam mencari guru.
Untuk poin terakhir, yakni petuah dalam mencari guru, Imam Bonjol mengatakan kepada anaknya, “Jikalau awak belum lagi berakal akan sifat duo puluah, disitulah maka tumbuah aka. Carilah guru nan tuo terlontar barang pekerjaan dan orang itu melainkan nan berakal lagi jauhari bijaksana. Itulah nan tempat berguru. Jika tidak dapat nan baitu maka janganlah berguru”. (Lihat: Naskah Tuanku Imam Bonjol/NITB, hal. 122).
Maksudnya adalah bila seorang anak belum mampu menggunakan potensi akalnya untuk memahami “sifat duo puluah” maka carilah/bergurulah kepada guru yang sudah berakal lagi arif bijaksana (tua dalam ilmu, umur, pengalaman, pengamalan dan pengahayatan lahir batin). Lebih lanjut Imam Bonjol bertutur, “bila tidak engkau temukan guru yang seperti itu maka lebih baik jangan berguru”. Artinya, guru yang dimaksud disini adalah guru yang telah kokoh secara lahir dan batin, yang mendalam keilmuannya dalam bidang ilmu tauhid, fikih, dan tasawwuf (ihsan), serta telah melalui jalan syariat, tarekat, hingga puncak hakikat dan makrifat kepada Allah.
Perlu diketahui bahwa “sifat duo puluah” disini adalah tauhid sifat 20 dalam ajaran akidah Ahlussunnah wal Jamaah yang menjadi bagian dari akidah 50 yang selalu diajarkan oleh ulama-ulama pengikut Imam Abu al-Hasan al-Asy`ari Sang Imam Besar akidah ASWAJA sebagai pelanjut akidah ajaran Baginda Rasulullah Saw.
- Kewalian Tuanku Imam Bonjol dan Tradisi Ilmu Palangkahan
Menjelang Tuanku Imam Bonjol dikhianati dalam perundingan di Palupuah oleh Belanda hingga kemudian diasingkan ke luar Sumatera, hakikatnya posisi Tuanku Imam Bonjol bersama keluarga dan pengikut setianya benar-benar terdesak dan berada dalam kesulitan yang parah setelah sekian lama dikepung oleh Belanda di setiap sudut Bonjol. Ditambah lagi banyaknya pihak-pihak dari kalangan masyarakat Bonjol yang berkhianat dan memihak kepada Belanda, akhirnya mengharuskan Tuanku Imam bersama pengikutnya untuk mengasingkan diri ke hutan rimba raya ketimbang harus tunduk kepada penjajah. Berbulan-bulan lamanya tinggal bertahan di hutan rimba dengan perbekalan seadanya, tempat persembunyian yang diserang setelah diketahui oleh penjajah, mendapati bencana penyakit, hingga kekurangan akan makanan (beras mulai habis dan tak ada yang bisa dimakan lagi kecuali talas batu). Tentu saja hal itu membuat Imam Bonjol sangat prihatin terhadap kondisi keluarga dan pengikutnya.
Dalam situasi yang demikian, datanglah Bagindo Tan Labiah dan Sutan Saidi membawa surat tuan Residen Francis yang isinya meminta Tuanku Imam Bonjol untuk tunduk di pangkal meriam yakni tunduk kepada Belanda melalui wakilnya yang bergelar Kapiten Steinmetz. (Lihat: Naskah Tuanku Imam Bonjol, hal. 95).
Setelah melalui perenungan yang mendalam dengan segala pertimbangan kemaslahatan, akhirnya Tuanku Imam Bonjol bermaksud berdamai dengan Belanda melalui cara mengutus anaknya, Sultan Chaniago (anak bungsu Imam Bonjol, sebagai wakil pengganti terhadap dirinya yang sudah uzur) dengan ditemani oleh Bagindo Tan Labiah dan Sultan Saidi (kakak kandung Sultan Saidi) untuk melakukan perundingan dengan Belanda di Palupuh. Namun sebelum ketiga utusan tersebut hendak berjalan sesuai perintah Tuanku Imam, Sultan Chaniago terlebih dahulu meminta arahan kepada ayahnya bagaimana teknis berdiplomasi yang baik serta bertanya soal “ilmu palangkahan” agar tidak keliru ketika melangkah serta agar mendapati kemudahan dalam menjalankan misi penting tersebut. (Lihat: NTIB, hal. 96).
Ilmu Palangkahan sendiri berarti ilmu tentang pedoman dalam melangkah ketika hendak memulai perjalanan dengan melihat perguliran waktu dan tanda-tanda alam. Ilmu ini sudah merupakan warisan turun temurun di Minangkabau dan tidak bertentangan dengan syariat agama Islam sama sekali.
Singkat cerita, ketika para utusan telah sampai di Bukittinggi dan sudah bertemu dengan orang yang dituju, dalam masa perundingan yang belum menemukan “kata putus/hasil” itu, disuruhlah ketiga orang tersebut untuk menginap sementara di rumah Tuan Arbacht oleh Kapiten Steinmetz. Malamnya, setelah melaksanakan salat Magrib secara berjamaah sembari menanti masuknya waktu Isya, berundinglah ketiga utusan Tuanku Imam Bonjol. Dalam perundingan itu, Sultan Chaniago tiba-tiba merenungi dan menyesali diri, apakah amanat yang diberikan ayahnya akan berhasil ditunaikan atau tidak, sebab menurutnya saat ini layaknya mereka sedang mengarungi lautan luas yang tak bertepi, entah apakah mereka akan lepas ataukah akan tenggelam. Melihat hal demikian, menjawablah Bagindo Tan Labiah sembari menyemangati Sultan Chaniago, “Jikalau benar-benar bertuah ayah Sultan, tentu akan selamat juga kita pulang pergi”. Setelah mendengar kalimat itu bertambahlah semangat optimisme Sultan Chaniago dengan penuh tawakkal kepada Allah. Lantas kemudian ia pun teringat akan petuah ayahnya, “Tantangan manguek kanai miyang, pantang cabiak kanai duri. Jangan maaduah kesakitan (jangan pantang menyerah), baitu limbago anak laki-laki”. (Lihat: NTIB, hal. 102-103)
Adapun bukti-bukti lain dari kewalian Imam Bonjol bisa ditelusuri melalui tuturan orang-orang terdekat dan sekelilingnya. Misalnya, sebuah kejadian menarik saat Tuanku Imam Bonjol bersama beberapa orang pengikut setia (salah satunya Sultan Saidi, anaknya sendiri) yang turut serta menemani dalam pengasingannya sampai di Ternate lalu hendak berlayar ke negeri Manado. Awalnya Imam Bonjol tidak suka terhadap keputusan pihak Belanda yang menyatakan bahwa ia harus dipindahkan dari Ambon ke Manado yang saat itu dikenal sebagai kawasan yang kumuh, tapi kemudian ia tetap dipindahkan. Ketika kapal laut yang dinaiki oleh Imam Bonjol bersama pengikutnya mulai berlayar dan hampir sampai di Manado, setelah sebelumnya berhenti sebentar di Ternate dan ditemui Raja Ternate, tiba-tiba kapal tersebut dengan sendirinya berputar balik ke arah pelabuhan semula selama tiga kali secara berulang-ulang hingga akhirnya sampai di Manado. Begitulah yang terjadi disebabkan keengganan Tuanku Imam Bonjol diasingkan ke Manado. (Lihat: NTIB, hal. 143)
Baca Juga: Dialektika Ulama Minangkabau
Keterangan lain yang paling tegas mengatakan bahwa Tuanku Imam Bonjol adalah seorang wali dapat diketahui melalui pernyataan anaknya, Sultan Chaniago disaat berjuang menunaikan pesan ayahnya (sebelum diasingkan) agar melanjutkan perjuangan bagi kaum Bonjol dan masyarakat Minangkabau, serta terus berupaya mempertahankan nilai-nilai Islam dan adat istiadat Minangkabau. Namun, dalam menjalankan tugas itu maka mau tidak mau ia harus bekerjasama dengan Belanda yang sudah jelas berkuasa saat itu, dengan maksud agar dapat memperbaiki/membangun kembali Bonjol, menciptakan keadilan bagi seluruh masyarakat, serta bisa meminimalisir dampak dan kebijakan-kebijakan negatif yang dibuat oleh Belanda bila tidak memihak kepada rakyat.
Segala rintangan, ujian dan cacian masyarakat yang tidak menyukainya pun harus ia hadapi dengan penuh ketabahan, bahkan ia pernah digelari dengan, “cirik masiak” yang artinya “tahi kering yang makin busuk”. Sultan Chaniago hanya bisa sabar dengan mengucapkan Alhamdulillah sembari mengharap pertolongan kepada Allah dan Rasul-Nya, beserta dengan arwah orang-orang keramat. “Jikalau lai (benar) sungguah ayah saya Waliyullah, janggutnya (jenggotnya) panjang tiga seperempat, tolong jua anak barang nan tumbuh pesakitannya akan naiak (yang sedang berada dalam masa-masa kesulitan)”. Tutur Sulthan Chaniago dalam curhatannya. (Lihat: NTIB, hal. 163).
Bersambung…..
Leave a Review