Sebelumnya Baca: Menelusuri Paham Keagamaan Tuanku Imam Bonjol dalam Kitab Naskah Tuanku Imam Bonjol (Part 2)
Oleh: Muhammad Hidayatullah (Putra Pasaman, Anak Muda Minangkabau)
Pada part 2 saya sudah mencoba menyinggung bebera poin yang berhubungan dengan paham keagamaan Tuanku Imam Bonjol. Sekarang saya lanjutkan.
- Tuanku Imam Bonjol Memfatwakan Pengamalan Tawasul Arwah
Dalam perjalanan pulang dari Bukittinggi menuju Bonjol setelah melaksanakan tugas yang diamanahkan ayahnya, Sultan Chaniago singgah sebentar di Palupuah dan bermalam di rumah Malin Magok. Sebentar tidur terdengarlah ayam berkokok yang menandakan sebentar lagi waktu Subuh akan tiba. Ketika Sultan Chaniago sudah bangun dari tidurnya, tiba-tiba Bagindo Tan Labiah bertanya kepadanya, “Lai pandai Sultan ilmu manampuah urang banyak (apakah Sultan mempunyai ilmu menempuh/menundukkan/menghindari orang banyak)?”. Lalu menjawab Sultan Chaniago, “Kalau itu kata kakak kita minta saja kepada Allah. Kita kembalikan kepada ninik kita seorang-seorang. Saya basaru (menyeru/tawassul) kepada ninik (kakek) dengan ayah serta ninik saya yang bergelar Datuk Buruk. Inyo nan babatu mejan banyak (yang sudah berada di alam kubur)”. (Lihat: NTIB, hal. 109).
Bila diperhatikan secara cermat kalimat di atas maka dapat dipastikan bahwa Sultan Chaniago ikut mengamalkan tradisi tawasul yang dalam ilmu zikir tarekat, hakikat, dan makrifat diajarkan serta menjadi sebuah keharusan. Sultan memohon pertolongan kepada Allah (dari segala gangguan kejahatan yang akan menghadang dalam perjalanan nantinya) melalui keberkahan wasilah/perantara arwah para wali dan orang-orang saleh. Pada situasi tersebut dia bermaksud bertawassul kepada ayah, kakek dan neneknya yang sedang berjarak jauh secara fisik bahkan sudah berbeda alam (yang berbatu mejan/nisan atau berada di alam kubur). Singkat cerita, setelah itu Sultan Chaniago dan Bagindo Tan Labiah semacam mendapat pertolongan dan kemudahan dari Allah di dalam perjalanan mereka, misalnya badan tidak basah ketika terjadi hujan lebat, sebagaimana tuturannya, “Sudah tiba hujan lebat maka di saat itulah kami melanjutkan perjalanan. Atas pertolongan Allah tidaklah kami kehujanan saat itu. Sekitar sepuluh langkah dari arah kiri, kanan, muka dan belakang kami saat berjalan itu tidaklah dapat disentuh hujan. Ini berkat pertolongan Allah Subhanahu wa Ta`ala”. (Lihat: NTIB, hal. 112)
Suatu ketika Sultan Chaniago dan Rajo Mudo melakukan perjalanan (kejadian berlangsung di Palupuah di waktu yang berbeda). Lalu di tengah jalan mereka dicegat oleh delapan orang penyamun yang meminta uang sebanyak satu ringgit seorang. Setelah diberi oleh Rajo Mudo atas suruhan Sultan Chaniago, mereka meminta lagi tiga ringgit seorang dengan alasan karena kalah menyabung ayam di Palupuah. Melihat gelagat itu, terjadilah perkelahian antara Rajo Mudo seorang diri dengan mereka hingga larut malam. Di saat Rajo Mudo kewalahan karena kehausan, Sultan pun kemudian bertawasul dengan meminta pertolongan ayahnya yang sekarang entah di mana. Sambil mengunyah pinang tua, lalu dihembuskan kepada lawan, akhirnya Rajo Mudo keluar dari pertarungan itu atas suruhan Sultan, sedangkan mereka (penyamun) terus berkelahi dengan sesamanya sampai menjelang Subuh. (Lihat: NTIB, h. 193).
Sepertinya, amalan tawasul (bahkan termasuk ilmu palangkahan, ilmu pitunduak, dll) yang dipraktikkan oleh Sultan Chaniago tidak terjadi secara spontan begitu saja, melainkan merupakan penerapan terhadap pitua/fatwa yang telah diajarkan oleh ayahnya selama ini secara khusus, serta hasil dari proses pembelajaran di bidang agama yang ia terima sejak kecil dari surau ke surau, dari satu guru ke guru yang lain di Minangkabau.
Menjeleng Tuanku Imam diasingkan, Sultan Chaniago sempat bertanya dalam keadaan bersangatan sedih,“Kemanakah saya akan mengadu dan bersandar bila nanti tumbuh kemalangan dan kesempitan, sedangkan ayah akan pergi berjalan yang suatu saat entah akan kembali entah tidak. Sesungguhnya Allah Ta`ala Maha Berkehendak dengan sendiri-Nya”. Mendengar hal demikian, berpetuahlah Tuanku Imam Bonjol, “Jikalau bersua sasak dan sampit di waang, maka sarulah ninik waang yang bergelar Datuak Buruak, badan saya tidak akan bercerai dengan waang, mandiang Pakiah Saidi melainkan sungguah-sungguah manyaru. Maka serulah kami nan barampek itu”. Maksud dari fatwa Tuanku Imam tersebut adalah bila nanti anaknya mendapati suatu kesulitan dan kemalangan, maka basarulah (bertawasullah) melalui ayahnya, mendiang kakeknya yang bergelar Datuak Buruak serta almarhum kakaknya Pakiah Saidi. Tawasul tersebut harus dengan sungguh-sungguh, sebab hakikatnya mereka saling terhubung dan tidak bercerai. Dan sejatinya intisari dari tawasul sendiri bukanlah meminta pertolongan kepada arwah, melainkan meminta pertolongan kepada Allah melalui perantara berkahnya para wali dan orang soleh.
- Keluarga serta Pengikut Tuanku Imam Bonjol Melestarikan Tradisi Bakar Kemenyan
Suatu ketika Sultan Chaniago bersama kaumnya di kampuang Chaniago, Bonjol pernah dituntut untuk membayar utang yang tidak seharusnya ia bayar (sebab yang berpiutang adalah Rajo Manang) kepada Datuk Bandaharo di Ganggo Mudiak (generasi belakangan yang menerima gelar Datuk Bandaharo setelah masa Imam Bonjol). Namun Sultan Chaniago tidak mau membayar karena menurutnya perkara tersebut tidak bersesuaian dengan aturan hukum Islam dan hukum adat yang berlaku. Perdebatan sengit pun terjadi di kedua belah pihak dan kaum pendukung masing-masing hingga kemudian menimbulkan cekcok perkelahian antara keduanya.
Oleh karena belum juga menemukan solusi terhadap permasalahan yang sedang dibicarakan, akhirnya Sultan Chaniago dan kaumnya sepakat untuk mencari keadilan ke Bukittinggi. Menjelang keberangkatan ke Bukittinggi, berkatalah Kak Uwo (keluarga Imam Bonjol) di tengah khalayak, “Bajalanlah buyung panggilan kepada anak laki-laki, nak kami pasarokan ke tempat nan kiramat (pergilah buyung, nanti akan kami hantarkan doa ke tempat/makam keramat)”, kemudian dipangganglah kemenyan lalu mendoalah Tuanku Mudo masa itu. (Lihat: NTIB, hal. 177).
Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa tradisi membakar kemenyan sudah menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat Minangkabau kala itu. Data lain yang ikut memperkuat pernyataan di atas adalah tatkala Sultan Chaniago membantu tuan Kemendur Boursten dalam mengantarkan surat dari Bonjol ke Bukittinggi, menjelang berangkat ia juga diasapi oleh ibunya dengan kemenyan peninggalan Tuanku Imam Bonjol sebanyak tujuh kali keliling, sebagaimana perkataan ibunya, “Duduklah dahulu anak, biar denai hasapi dahulu badan ang, ada juga lai kumayan ditinggalkan ayah anak”. (Lihat: NTIB, hal. 190).
Selain itu, ketika Sultan Chaniago dinobatkan sebagai wakil Laras Alahan Panjang oleh sekalian penghulu, ia lantas menangis dan meratapi nasibnya yang harus memikul beban berat amanah tersebut. Dalam situasi yang demikian, dia pun bertawasul dan meminta izin kepada ayahnya, lalu kepada ruh mendiang Tuanku Bandaharo (guru Tuanku Imam Bonjol), dan mendiang Datuak Sati yang bergelar Rajo Pahlawan. Dalam proses tawasul itu ia tak luput mengasapi sorban ayahnya dengan kemenyan berikut pakaian mendiang Kak Uwo Kandung yang bergelar Pakiah Saidi. Sorban dan pakaian tersebut dibawa tidur oleh Sultan Chaniago. Dan dalam tidur lelapnya, Sultan Chaniago bermimpi didatangi oleh orang-orang yang ditawasuli tersebut sembari memberi petuah-petuah berharga kepadanya. (Lihat: NTIB, hal. 216)
Adapun keterangan-keterangan di atas semakin memperkokoh keyakinan bahwasanya paham keagamaan Tuanku Imam Bonjol beserta pengikut Paderi saat itu bahkan masyarakat Minangkabau secara umum adalah berpahamkan Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini sejalan dengan pernyataan Buya Hamka dalam bukunya, “Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao”. Di situ dinyatakan bahwa kaum Paderi tidak pernah menganut paham wahabi-salafi. Mereka hanya mendapat “pengaruh” Wahabi pada tataran semangat dan cara berdakwah, bukan pada paham agama yang anti Tasawuf, anti Asy’ariyyah, dan anti mazhab sebagaimana yang digambarkan hari ini oleh sebagian orang. Sedangkan penyematan istilah “gerakan pembaharuan” saat itu mungkin bisa diartikan dalam konteks upaya peneraparan syariat secara kaffah dan paripurna dalam kehidupan masyarakat yang mengikat setiap individu untuk menjalankannya seperti melaksanakan salat, puasa, zakat, haji (bagi yang mampu) serta meninggalkan judi, minuman keras, sabung ayam dan sebagainya. (Hal ini juga pernah didiskusikan bersama gurunda almukarram Buya Apria Putra)
Satu hal yang mesti dipahami adalah bahwa Harimau Nan Salapan (tokoh-tokoh generasi awal Paderi) tidak pernah anti tarekat dan tasawwuf. Hal itu dapat dibuktikan melalui bacaan terhadap manuskrip Surat Keterangan Syekh Jalaluddin karya Syekh Jalaluddin Fakih Shaghir. Disitu diceritakan bahwa ketika Harimau Nan Salapan memulai gerakannya, mereka berupaya meminta dukungan dan restu kepada Tuanku Nan Tuo, seorang ulama kharismatik di zaman itu sekaligus merupakan guru dari Tuanku Nan Renceh. Tetapi kemudian Tuanku Nan Tuo, sang sufi besar dalam Tarekat Syattariyah tersebut tidak memberikan dukungan kepada mereka disebabkan tidak sepakat dalam hal kerasnya cara/metode dakwah yang mereka gunakan. Bukan karena persoalan perbedaan paham keagamaan. Sederhananya, Harimau Nan Salapan menginginkan cara dakwah yang keras, frontal dan langsung sikat, sementara Tuanku Nan Tuo ini lebih menyukai cara yang moderat (ditengah-tengah), lemah lembut, dan bertahap.
Jadi, maklum saja bila gerakan Paderi waktu itu terlihat frontal, keras dan berapi-api dikarenakan situasi kondisi yang memaksa (masih berkembang biaknya budaya jahiliyah dengan pesat, serta dipicu oleh berbagai konflik lainnya) untuk menjalankan amar makruf nahi mungkar, belum lagi soal penjajahan yang terjadi dimana-mana mengharuskan mereka untuk melakukan perlawanan terhadap kolonial. Sedangkan gerakan Tarekat (mayoritas bertarekat Syattariyah) juga ikut memberikan sumbangsih atau pengaruh yang luar biasa bagi perjuangan, serta menjadi kekuatan besar dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah saat itu sebagaimana diakui oleh Snouck Hurgronje dan Martin van Bruinessen. Hal yang sama agaknya juga terjadi kepada Pangeran Diponegoro bersama pengikutnya di tanah Jawa yakni turut menjadikan tarekat (khususnya Syattariyah) sebagai basis pertahanan dan obor perlawanan terhadap penjajah sebagaimana diakui oleh Peter Carey.
Disamping itu, seorang Ulama besar Minangkabau yang juga ahli adat, bernama Syekh Sulaiman Arrasuli atau yang akrab disapa Inyiak Canduang (1871-1971 M) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “Syarak” pada adagium “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” adalah agama Islam dalam I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah (mengikut paham Syekh Abu Hasan `Ali al-Asy’ari dan Syekh Abu Mansur al-Maturidi), sedangkan dari segi fiqh bermazhabkan kepada al-Imam al-Syafi’i atau Syafi’iyyah. Dan terakhir, bertasawwuf. (Lihat: Buku Ayah Kita karya KH. Bahruddin Rusli).
Baca Juga: Hamka dalam Karyanya “Antara Fakta dan Khayal Tuangku Rao”
Lebih lanjut beliau menegaskan bahwasanya mazhab Syafii telah berurat berakar dan mendarah daging pada bangsa ini. Dan upaya mendongkel-dongkel syafi’iyyah adalah merupakan suatu pelanggaran dalam hukum adat Minangkabau, sesuai pepatah yang berbunyi: “mangguntiang nan lah bunta, manyumbiang nan lah rato (menggunting barang yang bundar, menyumbing barang rata). Beliau sangat tidak suka kepada orang yang berpaham bak baling-baling di atas bukit, kemana angin berarah kesana pula ia menghadap. Artinya tidak istiqomah dalam bermazhab apalagi sampai tidak mau mengikut bermazhab.
Sekian! Semoga bermanfaaat dan terima kasih. Kalo ada masukan atau kritikan dan tambahan, silahkan. Saya menerima dengan lapang dada.
Wallahu A’lam.
Leave a Review