Tuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Syahab, lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat pada tanggal 1 Januari 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Khatib Bayanuddin Syahab (ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Sedangkan ibunya, (dalam beberapa sumber menyebutkan) berasal dari Tanah Maroko dan merupakan keturunan Ahli Bait Rasulullah Saw. Muhammad Syahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, Tuanku Mudo, dan Tuanku Imam.
Berbicara soal Tuanku Imam Bonjol maka tentunya tak bisa dilepaskan dari Gerakan Paderi (1803-1837) dan Minangkabau secara khusus, maupun Indonesia secara umum. Begitu pula ketika menggambarkan sosok beliau secara spesifik, maka beragam sudut pandang pun dikemukakan, mulai dari gambaran beliau sebagai tokoh pemberontak (dalam kacamata Kolonial Belanda), seorang pahlawan Indonesia asal Minangkabau yang menjunjung tinggi semangat nasionalisme dan anti penjajahan, seorang ulama besar dan pejuang Islam yang masyhur dengan gerakan pembaharuannya, tokoh ekonomi dan politik di masanya, ahli militer dan strategi perang, tokoh intelektual pemersatu antara kaum agama dan kaum adat di bumi Minangkabau yang puncaknya ditandai dengan deklarasi falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”, hingga penyematan kepada beliau sebagai seorang yang frontal, dan berperan besar dalam penyebaran paham wahabi di Minangkabau (apakah benar seperti itu? Nanti kita bicarakan). Dan pandangan-pandangan seperti ini tentunya tergantung kepada siapa yang menulis sejarah, sumber bacaan yang dibaca serta bagaimana persepsi masing-masing pembaca dalam menafsirkan sejarah hidup beliau.
Perang Pederi misalnya, sampai sekarang sudah banyak hasil penelitian yang bisa diakses mengenai Tuanku Imam Bonjol dan Perang Paderi, di antaranya studi Rusli Amran (1981), Muhammad Radjab, Christine Dobbin, dan banyak lagi puluhan bahkan ratusan artikel yang terbit di berbagai jurnal ilmiah terbitan dalam dan luar negeri. Namun, secara umum penelitian tersebut banyak merujuk kepada sumber-sumber primer yang ditulis oleh kaum kolonial. Selain itu ada juga publikasi terbaru mengenai Perang Paderi oleh sejarawan militer G. Teitler: Het Einde van de Padrie-oorlog Het beleg en de vermeestering van Bonjol, 1834-1837; Een Bronnenpublicatie (Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 2004) yakni tentang Akhir Perang Paderi, Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837.
Disamping sumber-sumber di atas, ternyata ada salah satu sumber pribumi yang amat penting mengenai Perang Paderi yang ditulis langsung oleh Imam Bonjol adalah Naskah Tuanku Imam Bonjol. Sumber penting lainnya adalah Surat Keterangan Syekh Jalaluddin karangan Syekh Jalaluddin Fakih Saghir Tuanku Sami’ (Sufi, Ulama besar Minang di Tanah Suci abad 19), dan Memorie van Toeankoe Imam.
Baca Juga: Paderi vs Wahabi: Catatan Surau Mengenai Paham Keagamaan Ulama Paderi
Sekilas Tentang Naskah Tuanku Imam Bonjol
Naskah Tuanku Imam Bonjol ini tebalnya 318 halaman dalam bahasa Arab Melayu yang ditulis langsung oleh Tuanku Imam Bonjol dan Naali Sutan Caniago (anak bungsu Imam Bonjol) yang juga ikut terlibat dalam Perang Paderi. Naskah ini terbagi kepada tiga bagian: Bagian pertama, (dari awal sampai halaman 191) “berisi catatan-catatan harian” Imam Bonjol sendiri yang berisi tentang sejarah hidup beliau mulai dari latar belakang keluarga, kondisi negeri Bonjol dan Minangkabau saat itu, proses pembaharuan dan penyesalan, strategi gerakan Paderi, Benteng Bonjol dan perjuangan melawan penjajah, hingga ia ditawan lalu diasingkan. Catatan-catatan itu dikumpulkan oleh Naali Sutan Chaniago dan Muhammad Amin (yang ikut serta dibuang bersama Tuanku Imam Bonjol ke Ambon dan kemudian ke Manado), lalu mereka menambahkan/melanjutkannya dengan tulisan mereka sendiri (hingga halaman 318). Bagian kedua, berisi pengalaman Sutan Chaniago sendiri setelah tunduk kepada Belanda sampai ia diangkat menjadi laras alahan Panjang. Bagian ketiga (terakhir), berisi keputusan rapat tentang peralihan dari hukum adat kepada hukum sipil di Sumatra Barat.
Adapun publikasi dari Naskah Tuanku Imam Bonjol pertama kali oleh Datuk Madjolelo. Orang ini menerima naskah catatan-catatan itu dari Tuanku Bandaro Sati, Kepala Laras Bonjol, pada awal 1915. Keberadaan naskah inipun sempat dilaporkan oleh Van Ronkel dalam artikelnya pada tahun 1915. Naskah tersebut juga pernah dipamerkan dalam acara Festival Istiqlal I di Jakarta tahun 1991. Naskah tersebut pernah hilang beberapa lama tapi kemudian ditemukan kembali oleh Sjafnir Aboe Nain dan Abu Yazid dari ahli waris Imam Bonjol. Dan pada tahun 2004, Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM) di Padang menerbitkan transliterasi naskah Tuanku Imam Bonjol yang dikerjakan oleh Sjafnir Aboe Nain dkk dengan judul Naskah Tuanku Imam Bonjol (yang sedang saya pegang).
Baca Juga: Memahami Paderi dalam Buku Ayahku
Menelusuri Paham Keagamaan Tuanku Imam Bonjol
Akhir-akhir ini, ada satu kelompok yang “mengklaim” secara sepihak bahkan “memaksakan” melekatkan paham keagamaan atas Tuanku Imam Bonjol secara khusus dan ulama-ulama Paderi secara umum. Mereka dengan bangganya teriak kemana-mana mengatakan bahwa para ulama Paderi dan Tuanku Imam Bonjol itu penganut sekaligus penyebar paham salafi-wahabi di Minangkabau. Gaya “pongah” yang mereka tampilkan pada akhirnya berimbas kepada ketenangan dalam beribadah serta mengganggu keharmonisan hubungan sosial masyarakat bahkan merontokkan kejayaan pemikiran keagamaan dan filosofi keminangkabauan yang selama ini didengungkan. Lalu apakah benar ulama Paderi menganut “paham” Wahabi yang sering mengampanyekan untuk anti tasawuf, anti akidah Asy’ariyyah (Ahlussunnah wal Jama’ah), anti mazhab, anti ziarah kubur, tahlilan dan sebagainya itu?
Untuk penjelasan selanjutnya (isi penting) silahkan pantau postingan berikutnya (part 2).
Jakarta Selasa, 16 November 2021
Leave a Review