Berbeda dengan daerah lain di Indonesia, penetrasi agama Islam ke bumi Minangkabau membawa perubahan dan memberi implikasi yang sangat mendasar terhadap kebudayaan Minangkabau. Perubahan dan implikasi itu bisa dilihat dari hasil pertemuan antara kaum adat dan agama di Bukit Marapalam. Pertemuan itu melahirkan kesepakatan bahwa Adat Bandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK).
Banyak penelitian yang telah dilakukan terhadap kesepakatan ini, sebagian jangan menyebutnya sebagai bentuk afirmasi orang Minang (kaum adat) pada Islam, sebagian kalangan menyebutnya sebagai jalan keluar (problem solving) dari ketegangan yang terjadi antara kaum adat dengan kaum agama (Kaum Padri) yang terjadi di Minangkabau. Terlepas dari benar salah kedua pandangan tersebut, semenjak diadakannya pertemuan di Bukit Marapalam yang melahirkan kesepakatan antara kaum adat dan kaum Padri. Semenjak itu pula secara tidak langsung Adat Basandi Alua dan Adat Basandi Adat, Syarak Basandi Syarak (ABS-SBK) diganti dengan Adat Basandi Syarak,Syarak Basandi Kitabullah dijadikan sebagai filosofi dan pandangan hidup orang Minang hingga sekarang.
Kesepakatan ini pada akhirnya berimplikasi terhadap identitas orang Minang itu sendiri, kalau sebelum lahirnya ABS-SBK, identitas orang Minang tidak pernah diembel-embeli dengan Islam, maka setelah terjadinya kesepakatan itu, Islam menjadi inheren dengan identitasorang Minang, dalam ungkapan keseharian kita sering mendengar pernyata, kalau tidak Islam berarti bukan orang Minang. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sebagai agama yang baru masuk ke bumi Minangkabau berhasil mengubah, tidak saja pandangan hidup orang Minangkabau, lebih jauh dari itu Islam berhasil mengubah identitas orang Minangkabau dengan memasukkan Islam sebagai syarat menjadi orang Minang dan menafikan golongan lain di luar Islam. Pada hal pada masa sebelum terjadinya kesepakatan di Bukit Marapalam, adat dan agama (Islam) berdiri sendiri-sendiri. Bahkan, sebelum Islam masuk ke Minangkabau, orang Minang tidak memiliki agama resmi, Hindu, Budha atau atau kepercayaan primitif seperti animisme dan lain sebagainya.
Sepintas memang tidak ada persoalan. Toh, orang Minang cukup merasa bangga dengan identitas keislamannya. Namun tanpa disadari, sesungguhnya identitas keislaman itu sendiri telah membawa orang Minang pada eksklusivisme dan keangkuhan identitas. Merasa bangga dengan identitas keislamannya sekalipun mereka tidak mengerti dengan identitas yang mereka banggakan itu. Sehingga aktualisasi dari identitas itu tidak mewujud dalam keseharian mereka. Dengan kata lain, orang Minang hari ini tidak ada bedanya dengan mereka yang lahir dan tumbuh dalam kebudayaan lain. Pertanyaannya apakah identitas Islam masih layak dilekatkan bagi orang Minang?[]
*Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal kebudayaan Gurindam Surau Tuo 2007, dimuat ulang di wesite ini alasan pendidikan
Leave a Review