Ketika saya melihat postingan di media sosial, kabar meninggalnya seorang soko guru di salah satu pesantren bernama Miftahul Ulumi Al Syariyyah Canduang, secara spontan mulut komat kamit dan hati tak karuan membilang al Fatihah. Kalimat demi kalimat beriring salam dengan desakan detak jantung yang seakan merasa kehilangan pijar lampu sebagai suluh menerangi jalan kehidupan dunia yang dikata ulama hanya sebentar dan penuh kotoran. Beliau bernama Buya Marzuki, pria kelahiran Canduang ini berpulang dalam keridhaan Allah, Tuhan yang maha kuasa. Semoga Allah selalu menyayangi, memberikan kesenangan yang selama ini beliau tahan sebagai ekspresi tirakat, dalam laku sembah sujud kepada tuhannya.
Kemudian, beberapa hari setelah itu, saya melihat kembali postingan di media sosial yang sama, audio visual, serta terpajang foto Buya Marzuki. Dalam video yang berdurasi kurang dari satu menit itu, beliau menjelaskan bahwa kehidupan dunia dapat mendapat kebahagiaan jika mempunyai 3 hal. Pertama iman, kedua ilmu, dan terakhir seni. Begitu kira kira pesan beliau.
Saya lalu termagu sambil bertanya kepada diri sendiri, dimana letak kebahagiaan ketika seni dijadikan pegangan hidup? Bukannya ia hanya sebagai instrumen memperindah kehidupan saja? Atau saya yang tidak menangkap makna tersirat yang disampaikan oleh buya tadi? Ahhh, pikiran sedikit berkecamuk dan dada semakin sesak yang berusaha menjawab misteri kata kata.
Berselang waktu yang cukup lama, baru terfikirkan, bahwa seni yang dimaksud Buya Marzuki barangkali adalah sastra. Harus kita akui, bahwa kehidupan beliau yang berlatar belakang pondok pesantren, dan mendidik santri santri, memiliki satu keunikan tersendiri bagi saya, yang dulunya juga seorang santri. keunikannya adalah dalam kultur pesantren, syair syair Arab dijadikan contoh untuk menjelaskan persoalan. Secara sadar atau tidak, sastra adalah salah satu puzzle dalam kehidupan anak siak (santri)
Sastra dalam pesantren cukup dekat dan melekat dengan kehidupan para santri. Dapat dilihat dari kitab kitab mengenai gramatika bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Balaghah, Mantiq), akan banyak ditemukan syair syair Arab yang berfungsi sebagai contoh. Otomatis, kehidupan santri yang bergelut dengan kitab kitab tersebut, sedikit banyaknya mempengaruhi watak dan karakter para santri. Ada banyak sastrawan yang lahir dari rahim pesantren salah satunya adalah Hamid Jabbar, penyair angkatan pujangga baru, yang mengalirkan nilai nilai religius-profetik dalam setiap bait bait yang diciptakannya.
Bahkan, jika kita flashback ke masa Nabi, kita akan menemukan catatan sejarah, ketika semangat perang bangkit tatkala mendengar syair. Saat perang Khandaq, Nabi Muhammad SAW juga menyandungkan puisi. Bahkan Nabi SAW memberikan penghargaan kepada Ka’ab bin Zuhair yang membacakan puisi didepan bani su’ad. Kemudian tradisi ini berlanjut di masa Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali.
Kita juga mengenal bagaimana Maulana Jalaluddin Rumi, Rabiah Al Adawiyah, Syekh Yazid Al Bustami, dan Al Hallaj mengekspresikan mahabbah (cinta) kepada Allah juga menggunakan larik larik puisi/ syair. Termasuk Imam al Bushiri mengarang syair yang menggetarkan hati, yaitu Qasidah Burdah. bahkan Ibnu Hazm, seorang ulama fikih asal Spanyol, yang mengarang kitab ternama “al mahalla”, juga menciptakan puisi cinta yang luar biasa. judulnya adalah “tauqul hamamah” (kalung burung merpati).
Di abad 19, salah seorang ulama pujangga nan ahli syair bernama Maulana Syekh Sulaiman Arrasuli juga mengarang syair syair. Di antara karangan beliau adalah kitab tsamratul ihsan fi walad sayyidil insan. kitab ini adalah kumpulan syair syair yang berisi pujian, biografi Nabi sang suri tauladan. Di lengkapi pula testimoni dari beberapa ulama juga menggunakan syair. Kenapa beliau menggunakan syair ketimbang bahasa yang lugas, tidak perlu ditanyakan. Alasannya adalah respon Syekh Sulaiman dan ekspresi kecintaannya kepada sang Nabi junjungan. Bersyair adalah menggunakan bahasa tinggi dan kadang membuat manusia menjadi romantis. Alunan romansa ini yang sedang berusaha dibangun dalam kitab yang beliau karang. Walaupun alasan ini sifatnya subyektif, hematnya sastra adalah ekspresi cinta yang bernilai tinggi.
Keadaan seperti inilah yang harus kita cari dan rajut kembali benang merahnya. Melanjutkan tradisi sastra pesantren yang selama ini beku dalam frezeer pondok, karena sebagian memandang bahwa berpuisi hanyalah menghabiskan masa dan menggugurkan cita cita. Padahal, jika menilik dan mengambil semangat bersastra yang dilakukan oleh ulama bahkan sang suri tauladan umat manusia, sastra bak barang antik yang harganya sangat tinggi dan sangat mahal.
Berangkat dari nasehat yang diberikan Buya Marzuki, ada baiknya untuk kembali membangunkan kembali dan menenggelamkannya ke alam bawah sadar bahwa untuk menjelaskan sesuatu yang selama ini dianggap suci (ajaran agama) dengan sesuatu yang bernilai tinggi (puisi). Puisi tidak serta merta kumpulan tulisan yang menjenuhkan dan membuat sakit kepala, ia lebih dari itu. Ia adalah sekumpulan kata kata yang bermetafor dan memiliki daya saing. Ibarat mata uang, ia adalah nilai yang tinggi, dan bisa menghegemoni mata uang lainnya.
Menghidupkan sastra dalam nuansa religius-profetik berarti berkontribusi dalam menyiarkan ajaran agama. Spritualitas kadangkala tercapai berkat kata kata romantis. Lihat saja caption atau story sosial anak muda yang mabuk cinta. Entah cinta kepada tuhan atau kepada manusia. Mereka bahkan tidak sungkan untuk memberitahu secuil kutipan romantis dari Maulana Rumi kepada khalayak masyarakat online dengan bahasa romantis/ puisi. Terlepas dari itu, nilai nilai spritual mereka bangkit, setelah membaca satu quote romantis dari karya ulama. Tidak menjadi masalah jika itu menjadi permulaan mereka mengelanai kesusastraan, sebagai instrumen penyebar dakwah kebaikan. Akan lebih menyedihkan jika mereka terjebak diruang stagnasi berpikir dan berkata kata layaknya ulama ulama pujangga diatas.
Selain itu, puisi religius-profetik menyelamatkan ruh puisi yang memberikan nilai moral dan etika. Karena pada hakikatnya, puisi adalah kata kata yang mengandung etika. Bahkan sekelas Amir al Qais, penyair jahiliyah, dicerca habis habisan oleh penyair jahiliyah lainnya, dikarenakan puisinya mengandung unsur seks dan melulu soal selangkangan. Apalagi zaman sekarang, disaat banyaknya puisi puisi yang berbicara soal selangkangan, puisi religius hadir sebagai tameng kesucian kata kata. Bukankah sang suri tauladan menganjurkan untuk berkata kata dengan baik? dan salah satu mengekspresikannya adalah lewat berpuisi.
Terakhir, saya akan memberikan satu puisi.
Memori Pengembaraan
ku curahkan seluruhnya kepadaMu
Wahai sang pujangga yang tak lekas padam
Tak lekas padam
Tak cepat mengurai
Tak cepat berlalu
Mengalir dalam anyaman rotan rotan masa
Oh pujangga
Naifkan aku-ku
Dalam Aku-Mu
Penulis Koh Lehong
Leave a Review