Berkata Imam Nawawi dalam al-Majmu’ pada permasalahan takbiratul ihram:
فَالسُّنَّةُ الْإِسْرَارُ بِالتَّكْبِيرِ سَوَاءٌ الْمَأْمُومُ وَالْمُنْفَرِدُ وَأَدْنَى الْإِسْرَارِ أَنْ يسمع نفسه إذا كان صحيح السمع ولا عارض عنده من لغط وَغَيْرِهِ وَهَذَا عَامٌّ فِي الْقِرَاءَةِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّسْبِيحِ فِي الرُّكُوعِ وَغَيْرِهِ وَالتَّشَهُّدِ وَالسَّلَامِ وَالدُّعَاءِ سَوَاءٌ واجبها ونفلها لا يحسب شئ مِنْهَا حَتَّى يُسْمِعَ نَفْسَهُ إذَا كَانَ صَحِيحَ السَّمْعِ وَلَا عَارِضَ هَكَذَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ الْأَصْحَابُ
المجموع للنووي
“Disunatkan sir (membaca dengan pelan) pada takbir baik bagi makmum maupun bagi orang yang salat sendirian. Minimal sir itu adalah bahwa ia perdengarkan dirinya sendiri apabila pendengarannya sehat dan tidak ada penghalang berupa keributan dan semacamnya. Dan ini berlaku umum, pada bacaan, takbir, tasbih pada ruku’ dan lainnya, tasyahud, salam dan doa, baik bacaan yang wajib maupun yang sunat, tidaklah dihitung sesuatupun dari bacaan/zikir tersebut sampai ia perdengarkan dirinya apabila pendengarannya sehat dan tidak ada penghalang. Demikianlah yang dinashkan oleh Imam Syafi’i dan sepakat para Ashab akannya”.
Imam Nawawi menjelaskan kepada kita tentang sebuah hukum yang sangat penting, bahwa syarat sah dari seluruh bacaan salat, baik yang wajib (seperti al-Fatihah) maupun yang sunat (seperti zikir ruku’) adalah hendaklah ia membacanya dengan bersuara sekira-kira terdengar oleh dirinya sendiri apabila pendengarannya sehat dan tidak ada keributan. Maka bisa dipahami bahwa tidaklah cukup membaca dalam hati saja atau membaca dengan menggerakkan bibir saja tanpa bersuara. Kalaulah ia membaca dalam hati atau menggerakkan mulut tanpa bersuara maka tidaklah sah bacaannya. Maka sudah sepatutnya kita berhati-hati terutama pada bacaan salat yang wajib.
Baca Juga: Ragam Bacaan I’tidal dalam Salat
Para ulama juga menegaskan bahwa orang yang junub, haid dan nifas (yang mana haram bagi mereka untuk membaca al-Qur’an) boleh bagi mereka membaca al-Qur’an dalam hati atau menggerakkan mulut tanpa bersuara karena kedua hal itu tidak dinamakan membaca/قراءة yang sesungguhnya. Karena membaca itu baru dinamakan membaca apabila ia bersuara sekira-kira terdengar oleh dirinya sendiri.
Meskipun kita katakan mesti bersuara, jangan sampai kita maknai bahwa bacaan itu mesti dikeraskan sehingga bisa mengganggu orang lain, karena batasannya adalah bahwa bacaan itu bisa didengar oleh diri sendiri, dan itu cukup dengan bacaan yang pelan.
Wallahu a’lam
Leave a Review