scentivaid mycapturer thelightindonesia

Mengenal Lebih Dekat Ulama Langgai, Syekh Kiramat/Ayek Kiramat Langgai

Mengenal Lebih Dekat Ulama Langgai, Syekh Kiramat/Ayek Kiramat Langgai
Foto Dok. Raudal Tanjung Banua

Di daerah kami, Surantih, Pesisir Selatan, ulama-ulama atau para leluhur kerap diberi nama panggilan khusus dikalangan masyarakat. Sedangkan nama asli beliau hanya boleh disebut oleh segelintir orang saja. Tentu ini beralasan, meski alasan yang berkembang secara temurun tersebut agak janggal. Ada beberapa masyarakat menuturkan bahwa nama asli beliau mempunyai karomah, ataupun tidak bagus lantaran pemberian nama pada masa dulu singkat dan kadang aneh-aneh. Takutnya nama itu disebut pada situasi dan kondisi yang tidak pantas. Begitulah kira-kira.

Pada masa lampau, Pesisir Selatan cukup diperhitungkan keberadaan dan sumbangsinya dalam peta perkembangan Islam di Sumatra Barat. Kabupaten yang disebut sebagai negeri rantau ini juga tak ayal memiliki ulama-ulama tersohor pada masanya. Mulai dari Syekh Munaf Bakrin atau yang lebih dikenal dengan Tuanku Lubuak, berdiam di surau yang namanya sesuai dengan gelar beliau, Surau Lubuak. Sebagai penanda, sebelum masuk halaman surau juga berdiri plang bertuliskan “Ma’had Tarbiyah wa Khalwat Thariqat Naqsyabandiyah Nurul Yaqin Ahlussunnah wal Jama’ah.” Bergeser sedikit ke Bayang, ada Syekh Buyuang Mudo Puluik-puluik. Berlanjut ke Syekh Abdul Wahab, H. Ilyas Yakub dan lainnya. Lanjut ke selatan, Batang Kapas ada surau Lubuak Nyiur dengan Syekh di Gobah.

Hampir di tiap kecamatan yang ada di Pesisir Selatan dulunya memiliki sejarah panjang kemasyhuran ulama-ulamanya. Namun pada saat ini yang masih mudah ditelusur jejak kesohorannya adalah daerah Bayang, itupun kerap dianggap samar-samar lantaran pandam pekuburan yang tak terurus dan lain sebagainya. Tokoh-tokoh kenamaan dari Pesisir Selatan itu mungkin saja nyaris dilupakan, bahkan tidak dikenal oleh orang kampungnya sendiri. Sebagaimana dalam sedikit catatan tentang Ulama pada masa silam, Pesisir Selatan lebih mudah mengembangkan literatur yang terkesan suruk dan tidak jelas dengan alasan arsip-arsip para ulama-ulama tersebut dibakar kaum pembaharuan atau hilang tak tau kemana. Entahlah.

Surantih

Dalam sedikit catatan dan petunjuk siapa dan bagaimana pergerakan keulamaan di daerah ini pada masa silam, saya coba mengumpulkan puing-puing masa lampau itu lewat tutur dan arsip dari keluarga yang bersangkutan. Tentu tidak mudah. Di Surantih, bahkan untuk percaya kepada keluarganya saja, ia butuh melihat dalam-dalam niat serta yang bersangkutan. Orang-orang mudah curiga kalau sudah menanyai hal-hal mengenai masa silam, terlebih periode-periode itu pada masa periperi (PRRI).

Saya kira dikalangan orang siak di Sumatra Barat, tak ada yang tak pernah mendengar nama kampung Langgai di hulu Surantih ini. Kampung yang berdekatan dengan Surian, Solok ini adalah sebuah kampung yang terletak di hulu Surantih, Kab. Pesisir Selatan. Masuk ke dalam pemerintahan Kecamatan Sutera, Kenagarian Gantiang Mudiak Utara. Konon, asal mula pemberian nama kampung Langgai menurut tutur masyarakat setempat ialah berawal dari menerokanya orang-orang yang turun dari Alam Surambi Sungai Pagu. Langgai dalam sejarahnya berarti “la inggan iko” sama dengan jalan yang sudah buntu.

Di sinilah seorang ulama yang kami kenal sebagai masyarakat Surantih dengan nama Syekh Kiramat Langgai. Menurut suatu tutur “Warih Nan Bajawek Pusako Nan Batolong” oleh Angku Katik Khasir (Suku Malayu) dan Ayek Bujang Salamat (Suku Caniago). Syekh Kiramat, atau lebih populer disebut Ayek Kiramat, dan juga sering disebut Ayek Daerah. Beliau seorang tokoh pujangga Islam. Yang masa-masa kecil beliau dihabiskan di Kampung Langgai Dusun Janang dalam didikkan seorang guru yang tersohor karomahnya di daerah “Ujuang Darek Kapalo Rantau Alam Minangkabau (Pasir Talang, Muaro Labuah)” dan daerah Kubuang Tigobaleh (Kabupaten Solok) yang dikenal dengan Gelar Syekh Ibadat (Ayek Ibadat). Beliau Ayek Ibadat yang menerpa dari kecil hingga remaja, bimbingan ilmu Islam yang kuat.

Sepeninggal seorang ulama yang tersohor Karomahnya itu, beliau Ayek Kiramat berniat untuk menambah kelimuan dengan ulama di hulu Bayang. Terkenal dengan ulama-ulama sandi Alam Minangkabau yang dipimpin seorang Kalifah pada masa itu, yakni Syekh Burhanudin Ulakan. Dengan adagium “Cupak Gantang Minangkabu” beliau yang bernama Syekh Bayang (Syekh Buyuang Mudo) atau disebut juga Syekh Puluik-puluik Bayang. Terkenal dengan ulama-ulama di Minangkabau, pasak nan tiado guyah, kungkuang di barih jo balabeh sebagai ilmu Nahu di pegang oleh Syekh Padang Gantiang, ilmu Bayan oleh Syekh Imam Maharajo Solok, ilmu Mantik oleh Syekh Buyuang Mudo Puluik-puluik, dan ilmu Tafsir di pegang oleh Syekh Muhammad Nasir Pasa Baru Padang sedang ilmu Ihsan di Pengang oleh Syekh Burhanuddin Ulakan, ulama alhlul adat ahlul isqi, yang tahu berlafal bermakna, bermantik, dan bama’ani.

Ayek Kiramat datang ke Bayang melalui perjalanan menyisiri bukit-bukit Ulu Langgai, Ulu Batang Kapeh, berjalan kaki hingga sampai di hulu Bayang. Masa itu, Bayang sedang dilanda banjir bandang, “aie gadang mangaricik darihnyo“. Ketikan itu, Ayek Kiramat sampai di tepian hendak menuju rumah guru yang berada di seberang sungai, saat itu bertemu pula dengan seorang teman yang hendak menyebrangi sungai juga, menuju rumah Syekh Puluik-puluik. Niat yang sudah bulat dan tekad untuk menuntut ilmu kepada Syekh Puluik-Pulik, diseberangi air yang deras, dengan untaian kata “Bismillah” berserah diri pada Allah. Air yang deras menjadi beku dan beliau bisa menyebrangi bersama temannya. Berjalan di atas air, sama hal berjalan di atas tanah yang keras tiada membasahi baju ketika itu. Saat itu teman yang beliau bawa untuk menyebrangi sangat heran namun terpukau memandang menatap wajah Syekh Kiramat. Saat sampai di rumah Syekh Pulikt-puluik, beliau barsama teman beliau, “manapiak badua rumah” Syekh Puluik-puluik. Syekh Puluik-puluik dengan senyum dan kewibawaan ulamanya menyambut dengan senang hati. Maka berkata Syekh Puluik-puluik. “Ado apo tujuan Tuan kamari? (ada apa tujuan Tuan ke sini?)” kata Syekh Puluik-puluik. Dijawab Syekh Kiramat. “Ambo datang andak mangaji jo Tuangku. (saya datang hendak mengaji dengan Tuangku.)”

Pada saat itu diterima Syekh Kiramat menjadi murid dan belajar di sana. Seiring berjalan waktu Kaji Bismillah awal dibuka berlajut pula ke al-Hamdu. “Surek dikambang bagaduru”. Lembaran demi lembaran berjalan sendiri hingga tamat tiga puluh juz al-Qur’an. Kaji tersimpan dalam dada (Hafiz al-Qur’an). Sampai waktu ketika itu kaji ditutuik (kajian ditutup). Hal yang ganjil pada saat itu, beliau tidak tinggal di rumah guru, malah mencari tempat yang jauh dari rumah guru. Lain hal dengan murid-murid yang lainnya yang lebih senang tinggal di rumah guru. Malam hari itu Syekh Puluik-puluik memperhatikan gerak-gerik murid beliau itu, Syekh Kiramat, yang tinggal jauh dari rumahnya di sebuah pondok kecil. Saat beliau memperhatikan pondok yang didiami oleh muridnya itu, keluar cahaya memancar dari pondok “nan bacewang kalangik (cahaya memancar ke langit)” membuat Syekh Puluik-puluik takjub dan menundukkan kepala bertafakur pada Allah, menyatakan kebesaran Allah ketika itu.

Pada hari-hari berikutnya Syekh Kiramat belajar ilmu Thariqat. Amalan ulama-ulama Ranah Minangkabau ketika itu yang ber’itikatkan Asy’ariyah wal Maturidiyah dan bermazhab Syafi’iyah Alhulussunah wal Jama’ah. Menerima ilmu jalan thariqat yang empat Syatariyah, Sammaniyah wa Naqsabandiyah, Syadziliyah. Sampai mendapatkan limpahan ketika itu untuk mengembangkan ilmu yang sudah didapat di Dusun Janang, Kampung Langgai ketika. Atas bimbingan gurunya Syekh Puluik-puluik, Syekh Kiramat telah diamanahkan untuk kembali dan mengembangkan ilmu agama di Langgai. Pada saat itu Syekh Kiramat tiba di Langgai, agama Islam belum sepenuhnya diamalkan oleh orang-orang Langgai. Masa itulah peran Ayek Kiramat, menyusun tatanan rukun-rukun dan amalan, baik dalam bidang Ibadah, Muamalah, Tauhid dan Tasawuf ketika itu.

Pada saat beliau kembali, beliu fokus menjalankan dan mendidik masalah Syari’at. Hingga beliau waktu itu dikenal nama Ayek Syari’at. Seorang ulama yang ta’at dalam mengerjakan amalan-amalan Syari’at, baik salat, zakat, dan sedekah lain-lain termasuk rukun-rukun Fiqih Syafi’iyah. Sedang beliau untuk masalah amalan Ihsan/Akhlak (Tasawuf) duduk dengan jalan Thariqah Samaniyyah. Tidak menutup kemungkinan tetap juga memakai amalan-amalan thariqah yang lain yang pernah beliau pelajari.

Beliau Ayek Kiramat yang meninggalkan bermacam mutiara, yang akan diwarisi oleh generasi beliau sebuah buku karangan mengenai fikih, dari torehan tangan beliau dan banyak lagi mutiara (kitab-kitab) yang lain karangan beliau sebagai ulama. Menggegerkan tanah rantau, merantak ke Darek Alam Minangkabau. Ulama yang disegani oleh kawan ataupun lawan pada awal abad 18 Masehi itu meninggalkan bekas cahaya-cahaya yang masih terjaga pada saat ini yakni cahaya-cahaya ke-Islam-an yang kuat, berkembang sebagai warisan pada masyarakat Langgai. Setiap anak yang tamat dari bangku sekolah dasar wajib menyambung ke Pondok Pesantren. Nyaris turun temurun anak-anak Kampung Langgai menyambung sekolah ke pesantren khususnya di Sumatra Barat; Bukittinggi, Padangpanjang, Pariaman, dan Pesantren di Pesisir Selatan.

Surantih dalam pengetahuan banyak masyarakat luar, lebih dikenal dengan ilmu-ilmu magis dan para dukun hebat. Langgai sendiri periode 90an ke sini kerap juga disebut sebagai kampungnya para dukun, segala yang tak berniat baik akan celaka kalau ke sana. Saya rasa fenomena seperti itu juga terjadi tempat-tempat lain. Tapi orang-orang sungguh serba mudah menyamaratakan apa yang terjadi padanya dengan kebenaran nyata sesungguhnya, sehingga cerita itulah yang berkembang, bahkan menjadi cerita turun temurun. “Kareh dukun mah, bayo tinju mah.” Kira-kira begitu.

Di lain kesempatan, saya juga sempat mencari tahu bagaimana ilmu-ilmu orang-orang terdahulu berkembang dan proses pengajarannya sehingga menjadi satu kelebihan/keahlian yang terkenal. Satu keilmuan yang disebut-sebut sebagai tinju Langgai salah satunya, apakah masuk dalam bagian pengajaran Ayek Langgai kala itu, atau hanyalah cerita belaka yang tak ada kaitannya dengan perjalanan keulamaan beliau. Di lain kesempatan, orang-orang memang nampak menyurukkan persoalan itu, semuanya serba mengelak kalau sudah mengarah ke sana. Tapi entahlah, mungkin saja ada etika dan cara-caranya. Sebagai penulis kampung, dengan ilmu seadanya saya mencoba mengurai satu-satu tutur masyarakat mengenai sejarah, ulama dan tokoh pejuang kemerdekaan pada masa silam. Sudah pasti sulit, tapi sangat memungkinkan. Pasalnya beberapa literatur mencatat itu semua, walau kadang samar, namun kadang tampak jelas pula.

Di daerah kami, seperti yang saya sebutkan di awal tulisan ini, Surantih, Pesisir Selatan, ulama-ulama atau para leluhur kerap diberi nama panggilan khusus dikalangan masyarakat. Sedangkan nama asli beliau hanya boleh disebut oleh segelintir orang saja. Sama halnya yang saya temui di Langgai, nama asli ulama ataupun guru tidak boleh disebut, bisa kualat katanya. Kecuali yang menyebutkan nama beliau-beliau itu adalah keluarganya segaris keturunan. Ayek Kiramat sendiri dikenal dengan tujuh nama panggilan, nama tersebut juga dikenal di tujuh tempat di Minangkabau. Banyak hal-hal yang tak masuk akal memang, tentang keilmuan beliau semasa hidup. Tapi bukanlah mitos belaka. Tapi tak perlu pula pembuktian hanya untuk menyatakan beliau orang besar.[]

*Refrensi: http://surautuo.blogspot.com/2012/03/menelusuri-jejak-keemasan-islam-di.html
Punago Rimbun, Zera Permana, Marewai.com

Arif Purnama Putra
Arif Purnama Putra, lahir di Surantih, Pantai Barat Sumatra. Buku tunggalnya yang telah terbit “Suara Limbubu” (JBS, Yogyakarta 2018) dan sebuah novel “Binga” (Purata Publishing, 2019). Karya-karyanya pernah dimuat beberapa media, seperti Suara Merdeka, Haluan, Solopos, Rakyat Sultra, Minggu Pagi, Tempo, Kompas.id, Bacapetra dan lainnya. Sekarang berkegiatan di komunitas Serikat Marewai, website marewai.com. Fokus membahas Sejarah dan Budaya Pesisir Selatan.