Dalam literatur sanad hadis peran ketokohan Syekh Yasin al-Fadani tidak diragukan lagi dalam ilmu riwayah, di antara sahabatnya yang juga sering mengambil ijazah sanad darinya adalah Syekh Kiai H. Bahri bin Pandak [ulama Penesak kharismatik dari daerah Tanjung Atap]. Bagaimana sosok keulamaan dari Syekh Kiai H. Bahri Pandak (selanjutnya ditulis Syekh Bahri)?
Desa Tanjung Atap (Ogan Ilir) bermakam seorang Ulama Penyebar Islam di Sumbagsel tahun 1575 M., yaitu Sayyid Umar Baginda Sari. Di desa inilah Maimunah, ibu dari Syekh Bahri mengandung dan lahir pada 1916 M., semasa hidupnya ia belajar ke Sakatiga [disebut Makkah Kecil] pada seorang ulama lulusan dari Al-Azhar Cairo (1922 M.), yaitu Syekh Kiai H. Ishaq Bahsin, Syekh H. Bahri bin Bunga, Syekh Sayyidina Harun Sakatiga dan lainnya, seiring waktu (umur 11 tahun) dirinya kemudian pergi ke Banten belajar al-Qur’an dan menghafalnya dari Syekh Tubagus Ma’mun dan Kiai H. Asnawi Caringin (darinya didapat ijazah Tarekat Qadariyah Naqsabandiyah) lebih kurang 5 tahun belajar di Pesantrennya Syekh Ma’mun ini. Selain beliau ulama anak dari Kiai H. Anwar Seribandung juga pernah belajar al-Qur’an di sini, yaitu Syekh H. Daruquthni Anwar al-Hafizh.
Baca Juga: H. Anwar, Ulama Besar dari Ujung Utara Sumatera Selatan
Selepas dari Banten, Syekh Bahri kemudian memutuskan belajar ke Jambi [Sa’adatud Daren], saat itu Pesantren Jambi ini dipimpin oleh Syekh H. Abubakar Syaifuddin (era 1925). Di antara ulama Penesak yang telah dahulu belajar ke Jambi, di antaranya pendiri Pontren Nurul Islam Seribandung, pendiri Pontren Nurul Yaqin, Tanjung Atap (Kiai H. Muhammad Ali), dan pendiri Pontren Darul Falah, Tanjung Jirim (Kiai H. Umar Abul Hasan). Selanjutnya Syekh Bahri belajar ke Tanah Suci Mekah, tepatnya di Madrasah Shoulatiyah kemudian ke Madrasah Darul Ulum Mekah, di sana ia mengambil ilmu dari beberapa ulama, antara lain:
1. Sayyid Muhsin al-Musawa,
2. Syekh Mukhtar ‘Utsman Makhdum,
3. Syekh ‘Abdullah Muhammad Niyar,
4. Syekh Hasan al-Masysyath,
5. Syekh Husain bin ‘Abdul Ghani Palembang,
6. Syekh Umar bin Hamdan al-Mahrisi,
7. Sayyid ‘Alawi bin ‘Abbas al-Maliki.
Sepulang menuntut ilmu di Mekah, ia berdakwah dan mengajar di Sakatiga (Ogan Ilir) yang mana dahulu merupakan almamaternya, di antara para kiai yang juga mengajar di sana, antaranya Kiai H. A. Qori Nuri, Kiai H. Abdullah Kenalim dan lainnya. Sedangkan daerah garapan dakwahnya di antaranya di Pangkalan Lampam, Selapan, Sungai Bungin, Sungsang dan sekitarnya. Di tahun 1981, ia mendirikan sebuah pesantren yang diberi nama Ma’hadul Haramain di desanya. Selain gurunya di atas, Syekh Bahri juga mengambil ijazah Tarekat ‘Alawiyah kepada Habib ‘Abdullah bin ‘Abdul Qodir Bilfaqih Malang, sedangkan gurunya di Palembang antaranya Habib ‘Ali bin Abu Bakar al-Kaff (Kiai Yayik) belajar ilmu hikmah, dan Habib Masyhur bin Hasan al-Khirid (wafat di Cimahi), ia belajar ilmu qira’at. Ulasan panjangnya dapat merujuk peneliti muda, Ust. M. Ihsan berjudul Manaqib Syekh KH. Bahri bin Pandak (Noerfikri, 2019).
Baca Juga: Sekolah Perti di Sumatera Selatan
Kitab yang disusun Kiai H. Bahri berjudul Auradul Hakim ditulis tahun 1969 M. Pada tahun 1998 dalam usia 83 tahun, ia wafat pada malam Jum’at tanggal 28 November/15 Sya’ban 1419 H., dan dimakamkan di desanya, Tanjung Atap (Sumsel).
Lantas tertarikkah anda?[]
Indralaya (13 Februari 2020)
Tabarakallah informasinya.