“Mintak lagu ‘Suntiang Patah Batikam’ ciek, Nakan. Jo lagu ko, takana dek ambo maso-maso bagurau dulu jo Mak Sawir di Pasa Banto,” pinta seorang penonton. Penonton lain berkomentar “Mandanga lagu-lagu Mak Sawir ko, takana di wak maso-maso tahun 70-an dulu. Maso itu amak wak acok mamuta kaset liau. Sampai kini masih ado juo koleksi kaset-kaset tu.” Menanggapi komentar ini, pembawa acara (tukang hoyak gurau) berkata, “Mantap bana, Mak. Kok dapek dirawat bana kaset-kaset tu. Itu bagian sejarah tu. Sabanta lai kito danga pulo lagu “Suntiang Patah Batikam.”
Percakapan penonton dan pembawa acara Bagurau Dendang jo Saluang di atas terjadi dalam acara live di fanpage Facebook Malam Bagurau Lawan Korona edisi Mengenang Mak Sawir pada 10 Juni 2020. Permintaan lagu dan komentar penonton ditulis di kolom komentar yang disediakan Facebook. Permintaan dan komentar itu dibacakan satu persatu oleh dua orang pembawa acara di sela-sela pertunjukan saluang dan dendang. Pada edisi Bagurau Lawan Korona edisi mengenang Mak Sawir ini tak kurang dari 500-an penonton yang aktif menonton dari awal sampai akhir. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia dari Aceh sampai Papua. Satu dua orang melaporkan sedang menonton dari luar negeri seperti Malaysia, Arab Saudi, Australia, Belanda dan lain-lain.
Acara bagurau yang diusung oleh komunitas bernama Grup Langkok (Andra, Hasan, Asro) di Taman Budaya, Padang kali ini terasa istimewa karena dalam rangka mengenang Mak Sawir Sutan Mudo, pejuang kesenian dendang saluang yang meninggal di Bukittinggi pada 9 Juni 2020. Karir Mak Sawir sebagai tukang dendang merentang sekitar setengah abad. Suaranya telah direkam dalam berbagai media, mulai piringan hitam (1972), kaset sampai file digital di youtube dan berbagai platform media digital termutakhir.
Baca Juga: Lapau Maota dan Adakah Teater di Sana
***
Mengapa Mak Sawir pantas disebut pejuang?
Mak Sawir pantas disebut begitu karena dalam kariernya yang panjang, dia konsisten dengan kesenian rakyat. Kesenian rakyat adalah seni yang lahir dari rakyat dan dihayati oleh rakyat itu sendiri. Di sini tidak diistilahkan dengan kesenian tradisional karena istilah ini sebenarnya hanyalah label yang distempelkan oleh akademisi dari sudut pandang luar untuk membedakan kesenian rakyat dari kesenian yang diimpor dari dunia modern. Seninya Mak Sawir adalah kesenian rakyat sebab dendang-dendang yang dikarang dan dilagukannya memanfaatkan gaya bahasa yang jadi jantung budaya masyarakat Minang: metafora berformat pantun. Mudah saja melihat bagaimana sesuatu dihayati masyarakat. Amati saja nilai-nilai yang berlaku dan bagaimana masyarakat membahasakannya. Mak Sawir membahasakan nilai merantau yang dihayati masyarakat Minang, misalnya, dalam bait pantun yang termuat dalam lagu “Palayaran” versi rekaman dengan Buyung Kamang (Maestro Dendang lain yang jadi kolega Mak Sawir).
Kana daerah Minangkabau
Dilingkuang ranah tigo luak
Patamu luhak tanah data
Kaduo luhak limo puluahNan katigo jo luhak Agam
Pandai-pandai anak di rantau
Pacik pituah niniak mamak
Manompang lalu indak baa
Parik urang usah diruntuah
Dek urang kok jadi buah danda
Kejeniusan Mak Sawir terletak pada kelihaiannya berimprovisasi pantun hanya dalam hitungan detik. Inspirasi pantun dia tangkap hanya dengan beberapa saat mengamati gelagat atau gurauan yang berkembang di antara penonton saat dia tampil langsung di acara bagurau. Kejeniusan ini juga dilihat dalam kepekaan Mak Sawir dalam menangkap fenomena sosial masyarakat yang kemudian dia tuangkan dalam dendangnya yang direkam di studio. Ini bisa di simak dalam lagu “Talago Biru” yang termuat dalam albumnya bersama Melati. Dalam lagu ini dia menghimbau agar orang rantau sering-seringlah menjenguk nagari, sebab di kampung masih banyak yang belum selesai.
***
Generasi Minangkabau yang menikmati dendang saluang Mak Sawir sejak tahun 1970-an dapat menyejajarkannya dengan maestro-maestro lain seperti Buyuang Kamang, Adjis Sutan Sati, Samsimar dan lain-lain. Generasi jadoel ini bisa menikmati secara langsung acara bagurau yang diadakan di berbagai lapau di seantero wilayah Minangkabau. Atau menikmati rekaman-rekaman dalam format piringan hitam atau kaset. Dua produk budaya massa yang saat ini sudah jadi barang antik.
Lalu bagaimana dengan generasi-generasi milenial yang hidup di abad 21? Generasi yang tidak bisa mengakses lagi piringan hitam atau kaset-kaset Mak Sawir? Atau generasi yang hidup di rantau? Apakah mereka masih bisa menikmati pantun-pantun Mak Sawir? Apakah mereka masih bisa merasakan sensasi bagurau di lapau-lapau yang lazim di dekade-dekade lalu? Jawabannya adalah, bisa! Teknologi media telah memungkinkan hal itu. Dalam tingkat tertentu, pengalaman dan sensasi bagurau dendang jo saluang dimungkinkan oleh berbagai platform media saat ini, terutama youtube dan spotify.
Kemungkinan inilah yang dibuktikan dunsanak-dunsanak Grup Langkok sebagai pemrakarsa acara Malam Bagurau Lawan Korona di Taman Budaya Padang. Situasi sulit akibat pandemi covid-19 justru memicu kreativitas mereka sebagai seniman. Lewat kecanggihan teknologi mereka berkreasi menciptakan bagurau online. Apa hasilnya? Hasilnya adalah acara bagurau yang dipatok 3 jam dari pukul 20:00 sampai 23:00 rata-rata disimak oleh 500 orang penonton dari berbagai benua. Dua kali dalam seminggu (Rabu dan Sabtu) sejak April 2020. Donasi pun bisa ditransfer penyumbang secara realtime tanpa harus beranjak dari tempat duduk. Komunikasi pemirsa dengan tukang hoyak berjalan interaktif dan penuh gurauan, walau lewat pesan tekstual.
Dalam edisi mengenang Mak Sawir, acara bagurau online ini memainkan lagu-lagu seperti Suntiang Patah Batikam, Riak Tanjuang Sani, Lubuak Sawo, dan lain-lain. Pembawa acara menginformasikan kepada penonton bahwa lagu-lagu itu adalah karya Mak Sawir. Penonton dari berbagai wilayah di seantero dunia tidak hanya dapat hiburan sebagai obat taragak kampung halaman, tapi juga pengetahuan.
Dampak pemanfaatan teknologi ini sebenarnya tidak main-main. Walau gagasan awal dari Grup Langkok sebagai pemprakarsa acara hanya berangkat dari coba-coba, namun kegiatan ini ternyata mampu menjangkau dua hal penting: makin mengukuhkan jasa Mak Sawir sebagai seniman rakyat di hati masyarakat Minangkabau di mana pun berada dan menunjukkan pada masyarakat bahwa media sosial tidak hanya jadi tempat pertengkaran politik maupun penyaluran nafsu narsis!
Baca Juga: Teater Mungkinkah Bergaya Lapau?
Bagaimana tidak. Jika acara bagurau ini hanya dilakukan secara biasa, tidak live virtual, paling penonton hanya puluhan orang karena terhukum ruangan. Tapi dengan di-online-kan, acara ini bisa ditonton oleh 500-an di Facebook. Ini belum lagi dihitung yang menonton live streaming di youtube. Penonton tidak hanya berasal dari radius beberapa km dari lokasi acara, tapi dari benua lain. Itu berarti ada ratusan orang, bahkan ribuan orang, yang menikmati, berpartisipasi dalam acara ini. Mereka semua sama-sama kembali menjadi rakyat Minangkabau. Kembali menjadi anak nagari yang menghayati dan menghidupi budayanya sendiri dengan cara yang nikmat. Terima kasih Mak Sawir atas dendang-dendang Mamak dan terima kasih dunsanak-dunsanak Grup Langkok yang berhasil menjinakkan teknologi buat anak nagari alam Minangkabau. []
*Anak siak Tarbiyah Islamiyah, anggota Surau Tuo Institute Yogyakarta
Leave a Review