Satu hal yang harus kita syukuri dewasa ini adalah berkembangnya Lembaga-lembaga pendidikan bagi para penghafal al-Qur’an dengan baik dan massif. Baik di negara-negara Arab, maupun di tanah air; perkotaan, maupun pedesaan. Hal ini berefek positif kepada banyaknya muncul para penghafal Kalamullah berusia dini. Pada satu sisi, ini merupakan sebuah angin segar untuk kejayaan Islam, khususnya di Indonesia. Lubernya generasi muda yang menghafal al-Qur’an, akan menjadi pertanda baik untuk lahirnya generasi masa depan yang lebih berkualitas; cendekiawan nan alim; pakar agama; atau ulama.
Namun di sisi lain, di balik semua nikmat itu, terjadi secuil kegaduhan yang terjadi di pusaran para pelajar agama, khususnya di tanah air. Keinginan untuk lekas menjadi seorang penghafal al-Qur’an menyebabkan banyak penghafal al-Qur’an yang mencukupkan sampai di sana, dan tidak melanjutkan belajar agama dengan sistematis. Mereka tidak melanjutkan untuk mempelajari bagaimana memahami dan mengaplikasikan hafalan tersebut dalam disiplin ilmu agama Islam lainnya, seperti fikih; tauhid; dan tasawuf. Padahal, secara hierarkis, hafal al-Qur’an saja, hanyalah tahap awal dalam memahami agama Islam. Atau bisa dianalogikan, hafal saja, berarti masih tingkat SD. Masih banyak tingkatan-tingkatan berikutnya untuk mencapai tujuan menjadi seorang alim.
Dalam hal ini, yang jadi masalah sebenarnya, bukan pada si penghafal atau pada hafalannya, tapi mental sebagian masyarakat di tanah air yang terlalu “mengulamakan” setiap para penghafal al-Qur’an. Tak peduli apakah ia sudah benar-benar memahami hafalannya, atau hanya sekadar melekat di ingatan saja. Padahal, secara level pendidikan, si penghafal saja tersebut masih SD. Lebih parah lagi, sebagai konsekuensi dari itu semua, para hafiz Qur’an ini juga mengamini apa yang didapukkan masyarakat awam padanya. Dengan berani mereka terjun sebagai Ulama menjawab segala macam permasalahan agama. Anna M. Gade menyebut fenomena ini dengan “Perfection Makes Practice”.
Jauh sebelum ini, hal tersebut telah disinggung oleh para ulama dari zaman dahulu. Imam Abu Bakar al-Tharthusyi al-Maliky (w. 520 H) dalam kitabnya “al-Hawadits wa al-Bida’ ( الحوادث و البدع )” hlm .206 berkata:
و مما ابتدعه الناس في القرآن الاقتصار علي حفظ حروفه دون التفقه فيه .
“di antara bidah yang dilakukan orang-orang terhadap al-Qur’an adalah mencukupkan dengan hafal hurufnya saja tanpa memahaminya”.
Setali tiga uang dengan itu, seorang fakih dari mazhab Maliki, Abu Hasan al-Syadzily (pensyarah Risalah Fiqhiyah, bukan Abu al-Hasan al-Syadzily pendiri Thariqat Syadzily) juga berkata di dalam kitab “Tahqiqul Mabani (تحقيق المباني)”:
الإجماع علي أن تعلم العقائد و معرفة الشرائع آكد من تعليم القرآن …
“Para ulama telah sepakat bahwa mempelajari ilmu akidah dan mengetahui hukum-hukum syariat (fikih) lebih diutamakan dari mempelajari atau mengajarkan al-Qur’an…”
Selanjutnya, Imam Ibnu Taimiyah juga mengatakan hal senada dalam Majmu’ Fatawa-nya. Masih banyak lagi kalam-kalam ulama yang senada dengan dua ungkapan diatas.
Lalu apakah salah jika seseorang menghafal al-Qur’an tapi belum sempat mempelajari agama secara detail? Tentu tidak! Selama ia tidak merasa sebagai seorang ulama dan ikut-ikutan perihal kepakaran dalam beragama. Di Mesir, mulai dari Kairo dengan segala hiruk-pikuknya, sampai perdesaan dengan segala ketenangannya, sangat susah untuk mencari orang awam yang tidak hafal al-Qur’an. Baik anak-anak, maupun dewasa; tukang sapu; petani; dsb. bapak-bapak tukang las saja bisa maju jadi imam dan dengan lancar membaca juz 22. Tentu hal ini membuat saya sebagai seorang pelajar yang mereka hormati menjadi sangat malu.
Beranjak dari kasus di atas, fenomena itu berlanjut ke banyaknya para pelajar agama yang berkata “bahayanya hafal tanpa paham”, “hafal Qur’an saja tidak menjamin” dsb.
Baca Juga: Syekh Batuhampar yang Ahli al-Qur’an Kakek RI Proklamator Moh-hatta/
Jika dilihat dari kaca mata fikih, akidah dan tasawuf, tentu ungkapan tersebut sangat tepat, sesuai dengan yang telah dikatakan para ulama sejak dahulu. Namun ungkapan tersebut terasa sangat bias dan tidak objektif bila dilontarkan oleh seseorang yang tidak pernah menghafal al-Qur’an. Kenapa? Karena, bagaimana mungkin seseorang yang tidak pernah menghafal al-Qur’an bisa berujar tentang bahaya menghafal al-Qur’an sedangkan ia tidak pernah merasakannya?
Terasa tidak adil, karena dalam ucapan seperti itu ada unsur menjatuhkan para penghafal al-Qur’an dengan menukil ungkapan-ungkapan para ulama yang mutqin al-Qur’an bahkan Qiraat Saba’. Belum lagi jika dilihat dari segi tasawuf, besar sekali kemungkinan masuk penyakit-penyakit hati terhadapnya berupa iri, dengki, merasa lebih, sombong dsb.
Prof. Dr. Fadhilah al-Syaikh Mahmud bin Abdurrahman al-Maliki (Kajur Usul Fiqh Univ. Al-Azhar) pernah berkata dalam salah satu pengajian Usul Fikih, “yang penting paham; yang penting paham, paham apa? Apa yang kamu pahami? Atas apa pemahamanmu?” Beliau juga menyambung, “ paham dan hafal bukanlah sesuatu yang harus dipilih, bagaimana jadinya pemahaman tanpa nash (teks), karena, ketika terjadi kemusykilan, tentu kita harus menguraikannya kembali dari nash”.
Oleh sebab itu, mari berlaku adil dan seimbang tanpa harus saling menjatuhkan, sama-sama memuji dan menyadari kekurangan masing-masing. Para pelajar yang bergelut dengan turats saja (tapi tak hafal al-Qur’an) sebaiknya tidak berujar sinis tentang para penghafal al-Qur’an saja.
Begitu juga sebaliknya, kalian para penghafal saja, belajarlah! Masih banyak anak tangga yang harus dipelajari setelah itu semua. Jika memang tidak punya kesempatan untuk belajar, ikuti dan bertanyalah kepada orang yang paham turats, dan jangan terlalu cepat merasa alim. Dan jangan sekali-kali berujar merendahkan orang yang belum Allah beri karunia hafalan. Hafal al-Qur’an merupakan suatu karunia yang sangat besar, tak sedikit ulama yang mengarang kitab khusus tentang agungnya menghafal al-Qur’an, menyusun hadis-hadis seputar al-Qur’an, dsb.
Baca Juga: Tiga Cara Membaca al-Qur’an Menurut Ulama Ahli Qiraat Muqri
Hal serupa juga terjadi pada disiplin Hadis dan Fikih; atau Akidah dan Hadis. Seringkali para pelajar mengutip ungkapan Imam Ibnu Uyainah (w. 198 H) dan ulama salaf lainnya yang pernah dinukil Imam Ibnu Hajar al-Haitamy (w. 973 H) dalam kitab “al-Fatawa al-Haditsiyah”:
الأحاديث مضلة إلا للفقهاء
“Hadis itu bisa menyesatkan kecuali bagi para fuqaha’ “.
Jika dalil ini digunakan pelajar Hadis dan Fikih, dalam artian seorang faqih yang muhaddits, tentu akan terasa objektif dan adil. Namun jika hanya digunakan seorang pelajar fikih tanpa hadis, tentu akan terasa janggal.
al-Allamah Muhammad Zahid al-Kautsary (w. 1371 H) dalam kitab “Fiqh Ahlil Iraq Wa Haditsihim” menukil kalam Imam ar-Ramahurmuzy (w. 360 H) dalam kitab “al-Muhaddits al-Fashil”
عن أنس بن سرين، قال : أتيت الكوفة ،فرأيت فيها أربعة آلاف يطلبون الحديث، و أربعة مائة قد فقهوا .
“Diriwayatkan dari Anas bin Sirin, beliau berkata: aku pernah mendatangi negeri Kufah (Irak), dan aku melihat ada sebanyak empat ribu orang yang belajar hadis, dan hanya empat ratus orang yang menjadi Faqih”.
Al-Kautsary juga menjelaskan bahwa menjadi seorang faqih butuh usaha yang lebih dibanding seorang perawi. Imam al-Hafiz Hamdan bin Sahal (w. 260 H) berkata:
لو كنتُ قاضيًا لحبست كلا الفريقين : رجلًا يطلب الحديث ولا يطلب الفقه، ورجلًا يطلب الفقه ولا يطلب الحديث
“jika aku menjadi seorang hakim, aku akan memenjarakan dua golongan: pelajar yang belajar hadis tanpa belajar fikih, dan pelajar yang belajar fikih tanpa mempelajari hadis”.
Masih sangat banyak ungkapan para ulama seputar hadis dan fikih yang senada dengan dua ungkapan di atas. Begitu juga halnya antara pelajar Akidah dan Hadis. Masih sangat sering ditemukan narasi-narasi saling menjatuhkan. Fadhilah al-Syaikh Anas as-Syarfawy pernah berkata meneruskan kalam ulama tentang hadis bagi fuqaha’:
الأحاديث المتشابهات مضلة إلا للمتكلمين
“Hadis-hadis mutasyabihat bisa menyesatkan kecuali bagi mutakallimin”.
Alhasil, mari saling menghormati dan bersikap adil tanpa menjatuhkan dan merendahkan. Kita bisa bercermin ke Univ. al-Azhar dan beberapa madrasah di negeri Syam – yang merupakan madrasah-madrasah top dunia–. Semuanya masih berhasil mempertahankan semua disiplin ilmu dengan baik dan tidak terkotak-kotak menjadi lembaga yang fokus pada hafal atau paham saja. Sampai sekarang, dua cermin madrasah tersebut terus melahirkan pakar di semua bidang ilmu.
Sebagai contoh, pada suatu kali dalam kajian hadis (jarah wa ta’dil) yang diampu oleh Maulana Fadilatus Syekh Aiman al-Hajar dengan kitab الرفع و التكميل في الجرح و التعديل karangan Imam Laknawi al-Hindi (w. 1304 H) dengan tahqiqan Syekh Allamah Abu Ghuddah (w. 1417 H), datang seorang Bapak-bapak mendesak bertanya kepada beliau seputar fikih, dengan penuh senyuman dan meminta maaf, Syekh Aiman berkata: “saya hanya seorang guru hadis, silahkan bertanya ke lajnah fatwa”, padahal beliau bermazhab Syafii dan sangat gemar belajar usul fikih.
Terakhir, seperti kata Pramoedya, kita “harus adil sejak dari alam pikiran”, karena semua akan indah jika kita adil dan saling menghormati.[]
Leave a Review