scentivaid mycapturer thelightindonesia

Menghidupkan Garis Pantai Bandar Sepuluh

Menghidupkan Garis Pantai Bandar Sepuluh
Muara Surantih. Foto: Indrian Koto

Wilayah Bandar Sepuluh tidak dikuasai oleh seorang sultan/raja, melainkan berupa konfederasi. di mana penguasa di masing-masing wilayah saling berbagi kekuasaan tanpa menimbulkan perpecahan. Sementara perlindungan yang lebih besar diberikan Kesultanan Indrapura, dan sebelumnya Pagaruyung.

Seblumnyan Baca Menulis dari Kampung (7) Anjing Penjaga Surau

Oleh: Raudal Tanjung Banua

Saya senang tegak berlama-lama di tepi pantai, di titik mana saya dapat memandang keluasan laut dan garis pantai yang memanjang sayup.  Di titik mana saja saya tegak, pemandangan itu gampang menyergap, sebab kampung halaman saya memang memanjang di pesisir barat Sumatera. Maklumlah, daerah ini dulu merupakan Kawasan Bandar Sepuluh (bayangkan, sepuluh bandar!) yang membentang dari Batangkapas, Taluk, Taratak, Surantih, Amping Parak, Kambang, Lakitan, Pelangai, Sungai Tunu, dan Punggasan. Bandarnya muara sungai setempat yang lazim disebut batang, seperti batang Surantih atau batang Kambang.

Tak heran, banyak spot untuk berdiri menatap lanskap laut. Lebih dari itu, jika mau, bolehlah sesekali menghidupkan garis pantai ini dengan imajinasi dan referensi historis.

Meski dalam masa sekarang upaya menghidupkan garis pantai terus dilakukan dari perspektif ekonomis. Perikanan tentu menjadi andalan sejak lama. Sekalipun proses penangkapan ikan masih saja tradisional seperti menghela pukat di pantai, atau semi-tradisional dengan kapal payang dan bagan. Di kawasan Teluk Betung dan Sungai Nipah saya lihat mulai banyak yang membudidayakan rumput laut. Tapi upaya menghidupkan garis pantai dari sisi ekonomi sebenarnya relatif lambat, jika bukan ketinggalan.  

Belakangan ada fenomena menarik, yakni digarapnya sejumlah titik pantai menjadi objek wisata. Sejak proyek penanaman pohon pinus atau cemara laut sekitar tahun 2010-an berhasil merimbunkan pantai, muncullah gairah wisata itu. Pengelolanya masyarakat setempat. Belum terdengar ada bantuan ini-itu dari pihak kabupaten atau provinsi. Dalam soal pariwisata, kami di selatan biasa bilang bahwa “pariwisata tak sampai ke selatan”.  Maksudnya untuk menunjukkan secara ironis bahwa program dan proyek pariwisata Kabupaten Pesisir Selatan, sejauh ini baru sampai di utara, yakni Mandeh di Tarusan dan Carocok, Painan. Itu sama dengan candaan masa kecil saat mau Lebaran,” Tak usah beli baju baru, Lebaran kabarnya tak sampai ke mari…”

Untunglah para pemuda ranah Bandar Sepuluh tak patah arang. Beberapa tempat wisata tumbuh menjanjikan seperti Pantai Tan Sridono Taluak, Pantai Muaro Duo Taratak, Pantai Alai Surantih, Pantai Penyu Amping Parak dan Pantai Sumedang Balaiselasa. Tempat itu cukup ramai dikunjungi buat pakansi keluarga. Hanya sayang sampah masih belum tertangani dengan baik. Sampah plastik berserakan di mana-mana. Kesadaran pengunjung dan pengelola setali tiga uang alias sami mawon. Sejumlah titik juga cepat jenuh karena tak menghadirkan wahana lain di luar pemandangan laut—hal yang biasa bagi orang pesisir. Nilai tambah wisata tentu perlu, seperti di Pantai Alai yang dilengkapi permainan anak, kendaraan pantai, rumah karaoke, pusat kuliner dan lain-lain. Atau Pantai Amping Parak yang berhasil menjadikan penangkaran penyu sebagai nilai tambah, bahkan kini jadi daya tarik utama.

***

Tegak di seruas pantai Bandar Sepuluh, pikiran saya sering melayang ke mana-mana. Salah satunya adalah kesadaran bahwa tempat yang saya injak, melalui garis pantai, terhubung dengan tempat-tempat lain yang punya sejarah di pantai barat. Secara alamiah, garis pantai ini memanjang dari Lamno Aceh di utara, hingga ke Bengkunat di Lampung. Tentu melewati titik-titik penting dalam jaringan ulama dan pengembangan agama Islam, pelabuhan dan perdagangan, termasuk persentuhannya dengan kolonialisme. Titik itu, ada yang tumbuh menjadi kota maupun yang kini tinggal sebagai kampung kecil biasa, dan terlupa.

Selama berabad-abad kawasan yang luas tersebut menjadi tempat lahir dan munculnya peradaban ditandai dengan kota pelabuhan tua (purba) Barus yang sudah ada sejak abad ke-6 M. Sebelum Kerajaan Aceh Darussalam berdiri, telah lebih dulu ada Kerajaan Daya yang berpusat di Lamno. Sementara di selatan terdapat Kesultanan Indrapura yang berdiri sejak tahun 1347. Sejak abad ke-15 hingga 18, kawasan ini semarak dengan perdagangan hasil bumi seperti lada, kapur barus, damar, rotan, kulit manis, beras dan emas.

Titik-titik bersejarah di garis pantai lazimnya ditandai oleh pelabuhan yang sekaligus menjadi nama sebuah kota. Terdapat hampir selusin pelabuhan di kawasan ini, baik yang sudah ada sejak masa kuno seperti Barus, maupun yang muncul di era kejayaan kesultanan Nusantara dan masa kolonial Eropa. Sebutlah Susoh, Lobuh atau Meulaboh, Natal, Air Bangis, Tiku, Pariaman, Padang, Salido, Bandar Sepuluh, Indrapura hingga Bengkulu. Hasil bumi pelabuhan ini berasal dari pedalaman, misalnya Salak, Humbang Husandutan, Penyabungan, Ophir, Pauh, Kerinci dan Sungai Pagu. Bangsa Eropa, seperti Portugis, Prancis, Inggris, dan Belanda—terutama EIC dan VOC—menjadikan wilayah ini sebagai pusat perdagangan, jika bukan perebutan. Di lepas pantai barat Sumatera juga membentang deretan pulau dan kepulauan, seperti Simelue, Kepulauan Banyak, Mentawai hingga Enggano yang ikut berperan memasok hasil bumi.

Keramaian jalur barat ini mencapai puncaknya ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511. Banyak yang mengatakan bahwa puncak keramaian itu tercipta karena kejatuhan Malaka. Konon para pedagang menghindari Selat Malaka karena bea yang tinggi, dan setiap kali muncul serangan mendadak dari Aceh atau Jepara yang menimbulkan peperangan dan ketidakamanan. Kapal-kapal lalu membelokkan jalurnya ke pantai barat. Tanpa mengabaikan faktor tersebut, menurut saya, itu bukan penyebab utama. Melainkan daya tarik kawasan pantai barat Sumatera itu sendiri yang memang tak tertolak: kaya hasil bumi dan besar potensi sumber daya manusianya. Berbeloknya jalur niaga dan pelayaran, juga berarti kembali ke jalur lama yang berabad-abad sebelumnya dilalui kapal niaga dari jazirah Arab dan India.

Karena terbukanya jalur ini ke jazirah tanah suci dan anak benua, maka selain faktor perdagangan, di kawasan silang-budaya ini banyak lahir atau mukim ulama kenamaan seperti Abdurahman Rauf di Singkil, Hamzah Fansuri di Barus, Syekh Abdul Fatah di Natal, Syekh Burhanudin di Ulakan, Syekh Daud di Sunur, Syekh Bayang di Bayang dan seterusnya.

Secara administratif, dalam kajian-kajian historis dan kultural era kolonial tentang pantai barat Sumatera, popular dikenal sebutan Sumatera’s Weskuts. Kawasan ini disebut membentang dari Singkel di utara hingga Indrapura di selatan (Gusti Asnan, 21: 2007). Dalam peta administratif Belanda, wilayah Sumatera’s Weskuts ini terdiri dari Padang Bovenlanden (Padang Darat), Padang Bendenlanden (Padang Pesisir) dan Tapanoelie (Tapanuli) (Sartono Kartodirdjo via Mhd Nur, 2013). Ini ada kaitannya dengan peta geopolitik kawasan, di mana Aceh lebih banyak memfokuskan kekuasaannya di pantai timur dan hanya secara simbolik menempatkan perwakilannya di pantai barat. Pula, Bengkulu berada dalam kekuasaan East India Company (Inggris) sementara Lampung dan Bengkulu bagian selatan merupakan vasal Kesultanan Banten.

Kekuasaan Inggris di Bengkulu berakhir setelah lebih seabad berkuasa. Inggris mengakhiri klaim kepemilikannya setelah Traktat London (1824). Berdasarkan perjanjian ini, Belanda menguasai Bengkulu sedangkan Inggris mendapatkan Singapura yang kemudian dibangun Raffles sebagai kota modern di Asia. Di perbatasan Bengkulu, Kesultanan Indrapura memegang peranan penting dalam dinamika kesejarahan pantai barat melalui langkah-langkah “politik zig zag”-nya menghadapi Aceh, Inggris dan Belanda yang terbukti efektif untuk waktu cukup lama.

Perang Padri kemudian berlanjut (atau berbalik) dengan perang melawan kolonialisme Belanda, juga berawal dari pantai barat dengan Traktat Painan (1662) yang mengharuskan Belanda mendapat tempat di Padang untuk akhirnya masuk ke pedalaman Minangkabau (Rusli Amran, 1981).

***

Di kawasan antara Indrapura dan Padang—tempat saya berdiri sekarang—terdapat wilayah Bandar Sepuluh yang, sebagaimana disebutkan di atas, meliputi 10 pelabuhan alam. Secara kultural, wilayah ini merupakan rantau pesisir Minangkabau paling awal. Leluhur mereka turun dari Luhak nan Tuo (pusat Minangkabau), kemudian menyebar ke Rantau Kubuang Duabaleh (XII) dan Alam Surambi Sungai Pagu. Rantau Kubuang Duobaleh (XII) turun ke Tarusan dan Bayang (wilayah utara Kabupaten Pesisir Selatan) sedangkan Rantau Surambi Sungai Pagu turun ke wilayah Bandar Sepuluh—inilah asal-usul orang Bandar Sepuluh.

Yang menarik, wilayah Bandar Sepuluh tidak dikuasai oleh seorang sultan/raja, melainkan berupa konfederasi. di mana penguasa di masing-masing wilayah saling berbagi kekuasaan tanpa menimbulkan perpecahan. Sementara perlindungan yang lebih besar diberikan Kesultanan Indrapura, dan sebelumnya Pagaruyung. Kesultanan Indrapura sendiri merupakan vasal Kerajaan Minangkabau (Pagaruyung), namun berhasil mencapai kejayaannya abad ke-15-16, di mana Indrapura bisa menguasai vasal Banten di Silebar, bahkan keturunannya sempat menjadi sultan di Aceh seperti Sultan Ali dan Sultan Buyung.

Saya pikir, sudah saatnya kita menghidupkan garis pantai dengan segala perspektifnya. Potensi perikanan harus digarap maksimal dengan meningkatkan alat-alat tangkap para nelayan dan menciptakan konversi hasil laut yang lain seperti rumput laut, mutiara, dan seterusnya. Fasilitas dan infrastruktur masyarakat pesisir wajib ditingkatkan, seperti di bidang kesehatan dan pendidikan. Kehidupan sosial mereka harus lebih baik; jangan hanya diminta kewajiban politiknya, tapi abai menunaikan hak-hak sosial-politik mereka. Jika tidak, selamanya kawasan pesisir, khususnya Bandar Sepuluh, identik dengan kemiskinan dan ketertinggalan. Itu artinya sama dengan mati surinya garis pantai dalam kehidupan modern.

Di sisi lain, jika Tuan dan Puan tegak di garis pantai, sesekali hidupkanlah garis imajiner untuk mendapatkan hal-ihwal di luar panorama yang tampak: sejarah, jaringan ulama, silsilah, kota-kota, syiar agama, pelabuhan, dan segala yang pernah jaya, kini seolah lenyap digerus ombak samudera. Bayangkanlah kalau titik-titik itu kini dihubungkan kembali, meski mungkin muskil dalam bentuknya yang dulu. Tapi setidaknya bisa kita mulai dari beberapa tindakan konkret. Berkunjunglah ke kota lama, merenung di destinasinya yang tua, ziarah ke makam para ulamanya. Atau dapat melalui jelajah referensi, menghikmati literasi maritim dan gali-galilah kitab-kitab berdebu. Syukur-syukur ada yang dapat dituliskan kembali, karena sebuah kalimat pada hakikatnya adalah garis pantai, dan kata-kata ibarat titik-titik keramatnya. Walahu’alambissawab.

Selanjtnya Baca Menulis dari Kampung (9): Eksistensi Historis dan Spritual Kampung-Kampung “Masuk ke Dalam”

Raudal Tanjung Banua
Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Pernah menjadi koresponden Harian Semangat dan Haluan, Padang, kemudian merantau ke Denpasar, dan kini menetap di Yogyakarta. Buku puisinya Gugusan Mata Ibu dan Api Bawah Tanah. Sejumlah puisi di atas dipilih dari manuskrip buku puisinya yang sedang dalam persiapan terbit.